Mohon tunggu...
Neil Semuel Rupidara
Neil Semuel Rupidara Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Neil adalah dosen di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia dan Kajian Organisasi di Universitas Kristen Satya Wacana. Saat ini menjabat sebagai Rektor UKSW.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pandemi Covid-19 dan "New Normal" dalam Pedagogi Pendidikan Tinggi

7 Juli 2020   23:07 Diperbarui: 7 Juli 2020   23:07 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Salah satu penuturan pengalaman yang lebih substantif berkenaan dengan hambatan pedagogi daring diungkapkan oleh seorang dosen yang mengajarkan matakuliah analisis teks secara kritis. Teman itu mengungkapkan bahwa apa yang lazimnya dilakukannya di dalam kelas dalam memandu mahasiswa untuk dapat terfokus menganalisis isi teks tidak dapat dicapainya sekalipun ia telah mencoba beberapa cara untuk membantu mahasiswa dalam menggunakan metodologi kritik teks yang dipakainya. Dalam situasi seperti itu, tidak sedikit dosen yang menyadari benar sulitnya melakukan evaluasi dan penilaian perkuliahan dibanding dengan standard yang lazim dipakainya saat perkuliahan normal. Mereka memandang bahwa harus ada pengertian dan pengorbanan tertentu yang harus dilakukan para dosen atas situasi tidak normal yang dihadapi para mahasiswa maupun dosen.

Karena dikirimi sebuah email tentang polling tentang kegiatan perkuliahan daring oleh lembaga pemeringkatan universitas, QS, penulis ikut memberikan vote pada polling dengan pertanyaan, apakah kinerja mahasiswa dalam pembelajaran daring lebih baik dari perkuliahan normal. Hasil polling QS tersebut sampai dengan 12 Mei 2020 menunjukkan 79% voters mengatakan, tidak.

Namun, di tengah sikap-sikap frustasi itu, seorang pengajar yang lain mengucap syukur atas keberhasilan dua mahasiswanya meraih penghargaan Dekannya, "amidst all this craziness!"

Jika saja penyelenggaraan perkuliahan online berwajah ganda seperti yang diungkapkan di atas, bagaimanakah pertanyaan pokok dalam tulisan ini harus dijawab. Bahwa ada hal-hal baik yang diapresiasi dari online education selama masa pandemi ini. Namun, ada tidak kalah atau bahkan lebih banyak keberatan terhadap pengalaman pengajaran dan pembelajaran daring. Jika sikap kedua lebih dominan, maka jika masa pandemi ini berakhir, apakah yang akan terjadi? Logisnya, banyak orang akan mengekspresikan rasa gembiranya karena telah keluar dari tekanan situasi dan kemungkinan mereka akan mengompensasi itu dengan sepuas-puasnya melakukan apa yang justru tidak dapat dilakukannya selama masa pandemi. Orang akan dan telah merindukan untuk kembali melakukan apa yang dulunya biasa dilakukannya dan keluar dari masa pandemi adalah sebuah kemenangan untuk kembali kepada kenormalan lama. Alih-alih berharap munculnya new normal, orang mungkin akan balik kepada old normals.

Lalu, tidakkah akan tersisa ciri-ciri kenormalan baru yang justru sudah terbentuk selama masa pandemi ini dalam membentuk kebiasaan-kebiasaan baru ke depan? Kemungkinan tetap ada, adalah fair untuk menilai demikian. Orang telah cukup terbiasa menyelenggarakan perkuliahan daring. Jika karena sesuatu tugas ke luar kota membuat perkuliahan tidak lazimnya tidak bisa dilakukan, kini dosen masih bisa mengorganisasikan perkuliahan berjarak dengan menggunakan Zoom atau Google Meet atau fasilitas video conference yang lain. Namun, tentu itu tergantung kondisinya. Bilamana dosen ada di tempat, hampir mustahil perkuliahan daring dilakukan. Mengapa? Karena selama masa pandemi, kuliah daring telah lebih bersifat menggantikan kuliah tatap muka fisik. Posisinya either or, ini atau itu. Pembelajaran daring tidak diposisikan dan belum bersifat komplementer terhadap perkuliahan dalam kelas. Ini juga tercermin dari dominannya pola penggunaan online lecturing daripada variasi pemanfaat features pembelajaran daring yang tersedia. Bahkan, sumber daya belajar di dunia internet yang melimpah pun tampaknya tidak termanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, jika perkuliahan di kelas yang seperti biasa dapat dilaksanakan, maka perkuliahan daring akan bukan merupakan opsi utama.

Di sisi lain, mahasiswa mungkin masih tetap dapat melakukan diskusi-diskusi kelompok secara daring sekalipun tidak berjumpa langsung secara fisik. Pengenalan akan fasilitas meetings yang disediakan oleh kemajuan teknologi akan mengatasi kendala jarak untuk berjumpa secara fisik. Namun, bilamana perkuliahan atau pembelajaran hanya bergantung kepada metode ceramah yang berpusat kepada kegiatan para dosen, maka fasilitas-fasilitas teknologi pembelajaran dari yang relaif kaya itu belum akan optimal dimanfaatkan mahasiswa.

Di atas kemungkinan itu, maka pandemi Covid-19 diragukan akan membentuk new normals di sektor pedagogi pendidikan tinggi, apalagi bisa membongkar tatanan pendidikan tinggi dan menggantikannya secara total dengan model pendidikan daring. Apa yang terjadi di negara-negara maju yang telah dimungkinkan oleh kemajuan teknologinya untuk beralih ke model pendidikan di ruang virtual pun tetap belum dapat menggeser terlalu jauh tradisi-tradisi pendidikan tingginya adalah sebuah bukti masih kuatnya institusi pendidikan tinggi menjaga tradisi-tradisinya. Pengalaman-pengalaman baru yang telah ada dan telah berkembang di masa pandemi Covid-19 bagaimanapun akan menjadi memori kelembagaan yang pada suatu waktu mungkin menstimulasi perubahan kelembagaan yang diharapkan dapat terjadi. Ini terutama dapat terjadi bilamana prasyarat-prasyarat kelembagaan bagi berlangsungnya transformasi fundamental itu telah terpenuhi dan karenanya kondisinya dinilai telah matang untuk menghasilkan perubahan tatanan dunia pendidikan tinggi. Yang baru bakal datang, dengan begitu yang lama bakal tumbang. Namun, itu belum akan terjadi dalam waktu dekat ini.

Penutup

Sebuah tatanan kelembagaan memiliki trajektorinya, dari ketiadaan, prakondisi awal yang memungkinkan, berlangsungnya proses-proses kelembagaan yang memadai, hingga terbentuk dan memapannya sebuah keteraturan sosial. Sebuah tatanan yang sudah mapan sebaliknya membutuhkan terpaan proses-proses pembongkaran yang konstan dari waktu ke waktu agar melemahkan legitimasi tatanan lama untuk suatu waktu ia ditinggalkan.

Krisis besar seperti pandemi Covid-19 dapat dan bagaimanapun telah dapat membongkar banyak tradisi, termasuk tradisi pedagogi di sekolah dan universitas. 

Namun, sejauh ini perubahan yang diakibatkan oleh pandemi ini harus dinilai terjadi untuk sementara waktu. Perubahan yang bersifat sementara seperti ini masih sulit untuk disebut pasti akan membentuk tradisi-tradisi baru. Akan tetapi, agar hal-hal baik tertentu yang telah terbentuk selama masa pandemi ini dapat bertahan, diperlukan usaha-usaha sengaja oleh para aktor untuk memertahakan kebiasaan-kebiasaan baru di masa pandemi itu agar tetap terus berlangsung dan menjadi kebiasaan yang lebih permanen. Suatu waktu secara alamiah, ia akan mementuk new normals yang lebih fundamental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun