Mohon tunggu...
Neil Semuel Rupidara
Neil Semuel Rupidara Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Neil adalah dosen di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia dan Kajian Organisasi di Universitas Kristen Satya Wacana. Saat ini menjabat sebagai Rektor UKSW.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pandemi Covid-19 dan "New Normal" dalam Pedagogi Pendidikan Tinggi

7 Juli 2020   23:07 Diperbarui: 7 Juli 2020   23:07 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Juga telah dijelaskan sebelumnya bahwa, sebuah ide atau dalam hal ini praktik baru perlu diterima (baik) oleh aktor-aktor. Sebuah ide yang diterima baik akan diinternalisasi oleh sistem kognitif setiap individu, membentuknya menjadi sebuah mekanisme kognitif baru, membentuk pemahaman yang dipraktikkan hingga membentuk regularitas perilaku baru, pada tingkat individu. Untuk menjadi sebuah atribut bersama dalam tatanan sosial, maka diperlukan interaksi-interaksi alami atau yang dibentuk melalui tindakan-tindakan bertujuan yang disengaja yang bekerja secara konstan untuk membangunnya menjadi mekanisme-mekanisme kelembagaan baru. Dalam proses yang demikian, logika dan mekanisme bekerja resiprokal untuk menjadikan suatu praktik baru pada akhirnya dapat menjadi pola hidup kolektif.

Sebelum menganalisis lebih jauh, penulis perlu mengintroduksikan sebuah perkiraan rasional yang pernah diajukan menyangkut transformasi pendidikan ke dominasi ruang digital karena penilaian dominasi teknologi digital. Almarhum Prof. Clayton Christensen (Harvard Business School), pengembang teori inovasi disruptif, melontar sebuah pandangan kontroversial yang memrojeksikan separuh dari 4000an college dan universitas di Amerika akan bangkrut dalam 10 hingga 15 tahun (forbes.com, 11 September 2018). Alasan rasionalnya, pendidikan daring akan lebih murah dan efektif (cnbc.com, 30 Agustus 2018). Universitas dan college karenanya tidak bisa menyelenggarakan pendidikan secara tradisional lagi jika tidak ingin didisrupsi oleh perkembangan teknologi baru. Namun, Christensen lalu ditantang bertaruh uang senilai 1 juta dolar AS oleh Mark Zupan, Rektor Universitas Alfred, akankah universitasnya bangkrut sebagaimana diramalkan Christensen. Setidaknya Forbes (11 Sept 2018) mencatat bahwa setelah 5 tahun usia prediksi Christensen, belum ada satupun college di AS, khusus yang bermotif swasta, non-profit, yang bangkrut. Padahal sebaliknya, makin banyak jumlah universitas yang terlibat di Coursera, edX, XuetangX, Udacity, dan FutureLearn. Makin banyak pula jumlah matakuliah online yang ditawarkan di platform-platform pembelajaran digital itu. Demikian juga makin banyak mahasiswa yang mengambil perkuliahan di sana (classcentral.com, 11 Desember 2018; iblnews.org, 23 Desember 2018).

Gambaran di atas menunjukkan bahwa sampai sebelum wabah Covid-19 menjadi masalah serius bagi warga dunia, sekalipun teknologi pembelajaran terus berkembang dan menyedot pengguna dalam jumlah yang tidak kecil, tradisi-tradisi lama di dunia pendidikan tinggi di kampus-kampus universitas dan college, termasuk di negara yang maju teknologinya seperti AS, belum dapat ditumbangkan begitu saja oleh kemajuan teknologi itu sendiri. Namun, di masa pandemi ini, tidak sedikit universitas di AS yang guncang secara finansial dan ada yang direncanakan akan ditutup (cnbcnews.com, 7 April 2020). Jadi, bukan kemajuan teknologi dan kekuatan disruptifnya yang bisa mengguncang dunia pendidikan tinggi, paling tidak sampai saat ini, tetapi Covid-19 lah yang sanggup melakukan itu. Namun, ini tidak otomatis berarti bahwa pandemi ini akan sanggup mengubah dunia pendidikan tinggi dalam hal melakukan transformasi ke digital learning. Mengapa?

Sekalipun diwarnai dengan sifat menyenangkan terkait penggunaan aplikasi baru seperti Zoom, praktik perkuliahan online ibarat memiliki tumpukan masalah yang juga menggunung. Sekalipun mau tidak mau diterima dan dipraktiikan, ia telah diikuti juga dengan keluhan-keluhan yang tidak sedikit. Salah satu keluhan pelaku perkuliahan daring adalah pertambahan beban biaya untuk membeli paket data untuk mengakses perkuliahan secara online akibat harus bekerja dan belajar dari rumah. Perkuliahan dengan menggunakan model video conferencing menyodot tidak sedikit pulsa. Atas kendala ini baik pemerintah maupun perguruan tinggi mencari solusi dengan bekerjasama dengan perusahaan provider internet, terutama karena alasan pandemi. Sejumlah perguruan tinggipun berinisiatif membantu mahasiswa-mahasiswanya dalam hal ini. Namun, situasi ini dan solusi sementara itu tentu tidak bisa dipertahankan akan tetap sama pasca pandemi. Pasca pandemi, masalah beban biaya akan menjadi beban mahasiswa secara individual. Kecuali bahwa biaya dan harga paket internet dapat ditekan dan turun drastis barulah itu akan membantu pelaksanaan perkuliahan daring, dari sisi mahasiswa.

Problem lain adalah, bahwa di masih banyak daerah infrastruktur teknologi informasi bersifat relatif terbatas. Ini ditengarai telah mengganggu jalannya perkuliahan daring (jawapos.com, 2o Maret 2020). Belum lagi ketersediaan perangkat komputer atau laptop personal yang masih terkendala pada banyak mahasiswa.

Namun, itu adalah persoalan-persoalan periferal pedagogi, sekalipun berpengaruh. Bagaimana dengan yang lebih substantif pada aspek-aspek pedagogis itu sendiri?

Untuk memberikan gambaran ini, juga mengingat evaluasi pedagogi online ini lebih dari sekedar menilai kebaruan dan menariknya metode ceramah di atas aplikasi video conferencing Zoom tetapi evaluasi kritis atas efektivitas pedagogi daring ini, maka penulis mengangkat sejumlah evidence dari konteks negara-negara yang sudah lebih maju teknologi pembelajarannya dan yang para pengajarnya telah melakukan evaluasi kritis atas pedagogi online untuk mengungkapkan betapa tidak mudah diterimanya praktik pengajaran online ini. 

Sejak 18 Maret 2020, penulis diajak terlibat dalam sebuah grup para pengajar yang harus menyesuaikan pola perkuliahannya ke platform daring selama masa pandemi. Pendiri grup ini menamakan grup ini Pandemic Pedagogy. Grup ini beranggotakan 30 ribu orang dosen dari berbagai negara yang berbagi desain dan pelaksanaan serta pengalaman terkait pengelolaan praktik pengajaran yang berjarak (remote teaching). Bukti-bukti empiris dari grup itulah yang terutama dipakai dalam tulisan ini.  

Sekalipun ada tidak sedikit hal-hal positif atau baik dalam proses sharing pengalaman dan pemikiran di grup itu, ternyata ada banyak sekali pula komplain atas pengalaman pelaksanaan online education. Ada dan tidak sedikit ekspresi keluhan itu yang dirumuskan dalam bentuk satire. Misalnya, seorang teman menulis bahwa remote teaching itu "mudah", sambil ia menggugatnya dengan mengatakan juga bahwa kemudahan itu tampak misalnya pada cara penilaian yang mengandung rasa kasihan. Juga, pengajarannya terpaksa harus dilakukan dengan menjawab 500 email setiap hari plus mengikuti 3 kali rapat melalui zoom, pun sambil mengurusi anak-anaknya (yang masih kecil) yang membuat rumahnya berantakan karena mereka pun belajar di/dari rumah.

Seorang dosen lain mengungkapkan pengalamannya menanti kiriman tugas-tugas mahasiswa yang tidak sampai-sampai kepadanya (melalui email atau fasilitas learning management system yang dipakai universitas), sekalipun telah lewat deadline. Keterlambatan penyerahan tugas terjadi akibat berbagai macam alasan kondisi mahasiswa sekembali ke rumahnya. Seseorang dosen menceritakan, seorang mahasiswa belum mengirimkan tugas dan karena kebetulan tinggalnya tidak begitu darinya, mahasiswa itu dikunjungi dan didapatinya sedang merawat ibunya yang terkena Covid-19. Ada yang bahkan mendapati mahasiswanya lah terkena Covid-19. Ada mahasiswa yang beralasan tidak membawa pulang buku atau materi yang diperlukan untuk mengerjakan tugas. Dosen yang lain menemukan kenyataan bahwa mahasiswanya tidak memiliki komputer atau laptop di rumahnya. Bandingan dengan kasus-kasus di Indonesia adalah setara dengan yang daerahnya tidak tersedia jaringan internet dan bahkan suplai listrik. Bukti-bukti itu menunjukkan bahwa gangguan dalam pelaksanaan perkuliahan online tidaklah sedikit.

Bentuk keluhan lainnya yakni, jika sebagian orang di Indonesia begitu terkesan dengan perkuliahan melalui video conference Zoom, sebuah pemosting lain di grup itu sekalipun ia memosting sikap positif (with love, gratitude, and hope) dalam penyelenggaraan kuliah daring di semester yang berjalan, ia lalu menyertakan sebuah foto seseorang yang mengangkat sebuah kertas bertuliskan, "I can't wait to never use Zoom again." Mengapa ada sikap yang demikian? Cerita dari seorang teman yang lain mungkin dapat dikaitkan dengan penolakan seperti itu. Dalam sebuah pengalaman penggunaan Zoom, ketika sesi kegiatan online sedang berlangsung, tiba-tiba para peserta dikejutkan oleh Zoombombing berupa pemutaran video perlakuan tidak pantas pada seorang anak. Ada ragam bentuk Zoombombing yang memunculkan rasa marah atau frustrasi dalam pengalaman kegiatan daring.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun