Kebetulan pula, sebagai perwira KNIL, Hamid Al-Qodrie memiliki kedekatan dengan bekas tentara KNIL fenomenal pimpinan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) Raymond Westerling. Pada 22 Desember 1949 Westerling bertemu dengan Hamid dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Soekarno sebagai Presiden RIS. Westerling mengaku memiliki pasukan APRA berjumlah 15.000 personel. Ia meminta Hamid menjadi komando dari APRA.
Mulanya Hamid tak setuju, namun melihat gelagat akan bubarnya RIS, Sultan Hamid II berubah pikiran. Ia pun menyanggupinya pada 10 Januari 1950 di Hotel Preanger, Bandung.
Namun sebelum menerima pasukan, ternyata APRA telah bergerak menyerang Bandung tanpa sepengetahuannya. Mungkin karena sudah kepalang tanggung, Hamid memerintahkan Westerling dan rekannya menyerang sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950, tepat pukul 19.00.Â
Ia menginginkan semua Menteri ditangkap kecuali Menhan Sultan Hamengkubuwono IX, Sekjen Ali Budiardjo, dan Kepala Staf Angkatan Perang RIS (APRIS) Kolonel TB Simatupang yang harus ditembak mati ditempat. Sebab ketiga orang memiliki keinginan kuat sebagai unitaris dan membubarkan negara bagian RIS.
Namun Sultan Hamid II mengaku keinginannya berubah dan ingin mencabut perintah serangan tapi tak dapat mengabari Westerling dan rekannya karena ia tidak mengetahui keberadaan mereka. Serangan kepada Dewan Menteri RIS pun gagal karena sidang selesai lebih awal pada pukul 18.35.
Sumber : Historia [Akrobat Gagal Sultan Ketujuh]
Meski gagal, sejak Februari 1950, Kepolisian RI telah mendata orang-orang yang dekat dengan Westerling. Ia pun ditangkap pada 5 April 1950 oleh Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata.
Begitulah sejarah singkat dari petualangan politik Sultan Hamid II. Ia adalah federalis 100 persen, bahkan siap mempertahankan konsep federal dengan kudeta berdarah. Jasanya sebagai pembuat lambang Garuda Pancasila tak bisa dipungkiri lagi dan memang telah menjadi catatan sejarah.Â
Namun bukan berarti kita tak bisa objektif, keinginannya untuk tak inginkan RI kembali menjadi NKRI, kedekatan dengan Belanda, hingga rencana kudeta yang gagal tentu menjadi alasan kuat mengapa AM Hendropriyono menyebutnya sebagai pengkhianat dan tak panntas menjadi Pahlawan Nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H