Mohon tunggu...
Negara Baru
Negara Baru Mohon Tunggu... Freelancer - Tentang Saya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi Sudut Pandang Baru Negara Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sultan Hamid II: Loyalis RIS Pencipta Garuda Pancasila

15 Juni 2020   19:35 Diperbarui: 17 Juni 2020   14:30 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sultan Hamid II (kiri) dan Sri Sultan Hamnegkubuwono IX (tengah). tirto.id


Garuda Pancasila, lambang Republik Indonesia. Berbentuk Burung Garuda yang menoleh ke kanan. Bulu di badannya menyimbolkan tanggal kemerdekaan Indonesia. 

Ia mengenakan perisai dengan simbol sila-sila yang ada di Pancasila. Garuda itu juga mencengkeram pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika -- Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Informasi ini tentunya sudah menjadi pengetahuan yang lumrah di masyrakat. Namun tak banyak yang tahu cikal bakal Garuda Pancasila. Tak banyak yang tahu bahwa Garuda Pancasila dirancang oleh bekas perwira Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang juga seorang Sultan di Kesultanan Pontianak bernama Syarif Abdul Hamid Al-Qodrie atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II.

Nama Sultan Hamid II akhir-akhir ini menjadi viral di media sosial lewat pernyataan Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono. Mertua KSAD Andika Perkasa itu menyebutkan bahwa Sang Sultan adalah pengkhianat bangsa. Ia mengatakan hal tersebut lantaran banyak pesan lewat WhatsApp dan medsos terkait pengusulan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional.

Pernyataan Hendropriyono mendapatkan bantahan dari Ketua Yayasan Sultan Hamid II, Amsari Dimyati. Ia berpendapat bahwa Sultan Hamid II adalah seorang pejuang yang turut mengisi kemerdekaan RI. Banyak jasanya untuk memperjuangkan Republik ini. Salah satu wujudnya adalah dengan merancang lambang Burung Garuda Pancasila.

Sumber : Vivanews [Hendropriyono Klaim Sultan Hamid II Pengkhianat Bangsa Dibantah Keras]

Perdebatan tentunya membuat publik bertanya-tanya. Mengapa Mantan Kepala BIN dengan tegas mengatakan perancang lambang negara sebagai pengkhianat? Apakah hal itu pula yang menyebabkan Hamid Al-Qodrie jarang disebut namanya dalam sejarah? Marik kita telisik sekilas kisahnya.

Sebagai putra mahkota Kesultanan Pontianak, Hamid Al-Qodrie megenyam Pendidikan yang jauh berbeda dari kebanyakan Bumiputera. Di saat Bumiputera hanya dapat bersekolah di Hollandsche Inlandsche School (HIS), Hamid muda dapat mengenyam pendidikan sekolah dasar elit Europe Lager School (ELS) di Yogyakarta bersama anak-anak Belanda maupun anak-anak bangsawan Jawa. 

Pendidikan elitnya kemudian berlanjut ke Hogare Burger School (HBS) di Malang. Usai Pendidikan di Malang, ia sempat menjadi mahasiswa di Techniek Hogeschool Bandung (ITB), namun hanya setahun sebelum akhirnya masuk ke Akademi Militer Breda. Setelah lulus, ia menjadi anggota KNIL dengan pangkat Letnan.

Dalam kepemimpinannya sebagai Sultan Pontianak ia beristrikan orang Belanda bernama Marie van Delden, putri dari seorang Kapten Belanda bernama van Delden. Hamid juga diberi pangkat titular Kolonel dari Kerajaan Belanda. 

Sebuah hal yang lazim terjadi pada feodal lokal Indonesia di era kolonial. Ia bahkan menjadi Ajudan Istimewa Ratu Belanda, sehingga pangkatnya naik menjadi Jendral Mayor pada 1946. Padahal dalam perpangkatan KNIL reguler, ia seharusnya hanya berpangkat letnan satu.

Secara pandangan bernegara, Sultan Hamid II adalah federalis sejati. Hal ini pula yang menyebabkannya berbeda pandangan dengan pihak yang menginginkan NKRI sesuai cita-cita proklamasi. 

Itulah mengapa saat Konferensi Malino Juli 1946, pembentukan negara Kalimantan buatan Belanda yang rencananya akan dipimpin Sultan Hamid II sebagai Wali Negara Kalimantan terbentur dengan tandingannya, yakni Sultan Parikesit dari Kesultanan Kutai. Pemerintah Hindia-Belanda akhirnya menyetujui Negara Kalimantan Timur dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat.

Tandingan tersebut sekaligus membuktikan bahwa Sultan Hamid II lebih menginginkan bentuk negara federal. Sebab Sultan Parikesit yang menjadi pencegah Sultan Hamid II menguasai satu Negara Kalimantan, memiliki kedekatan dengan Sutan Sjahrir yang menginginkan Kalimantan Timur sebagai kendaraan politik kelompok republikan menghadapi kelompok federalis.

Secara logika, keistimewaan yang ia dapatkan serta latar belakang lingkungan menyebabkannya lebih dekat dengan pemerintahan kolonial ketimbang republik. Oleh karena itulah, saat Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949 ia menjadi perwakilan Bijeenkomst Federaal Overlag (BFO), sebuah forum negara federal bekas wilayah Hindia Belanda yang dianggap sebagai sekumpulan negara boneka buatan Belanda untuk memperlemah posisi Republik.  

Sumber : Tirto [Eks Letnan KNIL Merancang Garuda Pancasila]

Hasil dari KMB adalah RI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda. Sebagai perwakilan dari BFO yang telah menjadi bagian dari RIS, tentunya Sultan Hamid II, suka tidak suka, harus menjadi bagian dari pemerintahan.

Selama masa perjuangan kemerdekaan, RI tentunya belum sempat memikirkan perihal lambang negara. Mantan perwira KNIL tersebut akhirnya ditunjuk Presiden Soekarno sebagai Menteri Negara Zonder (Tanpa) Portofolio yang bertujuan merancang lambang negara dan menyiapkan gedung parlemen RIS. Sebagai sesama pengenyam Pendidikan di ITB, Soekarno meyakini bahwa Hamid memahami ilmu dalam menggambar struktur lambang. Tugas itu ia laksanakan dengan membentuk kepanitiaan teknis lambang negara RIS bersama tokoh-tokoh nasional lainnya.

Lambang Garuda Pancasila pun lahir tahun 1950 di Hotel Des Indes, Jakarta dan disetujui parlemen pada 11 Februari 1950.

Sumber : Era [Keseriusan Sukarno Soal Lambang Negara hingga Tunjuk Menteri Zonder Portfolio]

Sejak awal mula pembentukan RIS di tahun 1949, Indonesia mengalami masa sulit karena banyaknya demonstrasi menuntut pembubarannya dan kembali ke bentuk negara kesatuan RI. RIS dianggap tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi dan hanya akan mengutamakan kepentingan Belanda. Terlebih lagi, mayoritas anggota kabinet adalah pendukung NKRI. Gelagat ini tentunya mengancam keberadaan negara federal Indonesia. Apalagi di RIS ia hanya menjabat Menteri tanpa Portfolio yang wewenangnya sangat terbatas dan selesai setelah penetapan lambang negara.

Kebetulan pula, sebagai perwira KNIL, Hamid Al-Qodrie memiliki kedekatan dengan bekas tentara KNIL fenomenal pimpinan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) Raymond Westerling. Pada 22 Desember 1949 Westerling bertemu dengan Hamid dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Soekarno sebagai Presiden RIS. Westerling mengaku memiliki pasukan APRA berjumlah 15.000 personel. Ia meminta Hamid menjadi komando dari APRA.

Mulanya Hamid tak setuju, namun melihat gelagat akan bubarnya RIS, Sultan Hamid II berubah pikiran. Ia pun menyanggupinya pada 10 Januari 1950 di Hotel Preanger, Bandung.

Namun sebelum menerima pasukan, ternyata APRA telah bergerak menyerang Bandung tanpa sepengetahuannya. Mungkin karena sudah kepalang tanggung, Hamid memerintahkan Westerling dan rekannya menyerang sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950, tepat pukul 19.00. 

Ia menginginkan semua Menteri ditangkap kecuali Menhan Sultan Hamengkubuwono IX, Sekjen Ali Budiardjo, dan Kepala Staf Angkatan Perang RIS (APRIS) Kolonel TB Simatupang yang harus ditembak mati ditempat. Sebab ketiga orang memiliki keinginan kuat sebagai unitaris dan membubarkan negara bagian RIS.

Namun Sultan Hamid II mengaku keinginannya berubah dan ingin mencabut perintah serangan tapi tak dapat mengabari Westerling dan rekannya karena ia tidak mengetahui keberadaan mereka. Serangan kepada Dewan Menteri RIS pun gagal karena sidang selesai lebih awal pada pukul 18.35.

Sumber : Historia [Akrobat Gagal Sultan Ketujuh]

Meski gagal, sejak Februari 1950, Kepolisian RI telah mendata orang-orang yang dekat dengan Westerling. Ia pun ditangkap pada 5 April 1950 oleh Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata.

Begitulah sejarah singkat dari petualangan politik Sultan Hamid II. Ia adalah federalis 100 persen, bahkan siap mempertahankan konsep federal dengan kudeta berdarah. Jasanya sebagai pembuat lambang Garuda Pancasila tak bisa dipungkiri lagi dan memang telah menjadi catatan sejarah. 

Namun bukan berarti kita tak bisa objektif, keinginannya untuk tak inginkan RI kembali menjadi NKRI, kedekatan dengan Belanda, hingga rencana kudeta yang gagal tentu menjadi alasan kuat mengapa AM Hendropriyono menyebutnya sebagai pengkhianat dan tak panntas menjadi Pahlawan Nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun