Mohon tunggu...
Negara Baru
Negara Baru Mohon Tunggu... Freelancer - Tentang Saya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi Sudut Pandang Baru Negara Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Iwan Fals, Omnibus Law, dan PHK

21 Februari 2020   20:24 Diperbarui: 22 Februari 2020   16:23 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo. ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY


"Pesangon yang engkau kantongi. Tak cukup redakan gundah" -- Iwan Fals / PHK

Penggalan lirik lagu PHK yang dinyanyikan Iwan Fals tersebut mewakilkan keresahan para buruh saat mendapatkan pesangon setelah menerima surat pemutusan hubungan kerja.

Meski lagu ini diluncurkan pertama kali pada tahun 1987, namun ternyata kondisi buruh kini tak jauh berbeda dibandingkan 33 tahun yang lalu. Apalagi semenjak pemerintah berencana mengganti salah satu aturan terkait pesangon yang tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 156 yang mengatur tentang pesangon diubah di RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Berdasarkan pasal itu, para pekerja berhak memperoleh pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak (cuti tahunan yang belum diambil, biaya pulang, penggantian rumah, dan pengobatan). RUU Cipta Kerja menghapus kewajiban perusahaan untuk membayar uang penggantian hak tersebut.

Penghitungan uang penghargaan masa kerja juga dikebiri. Pekerja yang telah mengabdi di perusahaan selama 24 tahun tak lagi bisa mendapatkan uang penghargaan berupa 10 bulan gaji. RUU Cipta Kerja hanya mengatur uang penghargaan hingga waktu kerja selama 21 tahun.

Sumber : DPR [UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Sumber : CNBC Indonesia [RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ....TENTANG CIPTA KERJA]

Kita semua tentu memandang bahwa pengaturan pesangon dalam RUU sangat merugikan para buruh. Oleh karena itu, pemerintah berencana mewajibkan perusahan besar mengalokasikan bonus kepada pekerjanya. Maksimal 5 kali upah bagi mereka yang telah mengabdi ke perusahaan selama 12 tahun.

Namun harus diingat, semua ketentuan ini hanya berlaku bagi karyawan tetap. RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 dari UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang jenis pekerja kontrak. Apabila RUU tersebut disahkan, maka hal yang bisa terjadi adalah perusahaan akan cenderung mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak. Bayangkan, kerja kontrak seumur hidup dan tak dapat pesangon.

Sumber : Kompas [Uang Penghargaan yang Dipangkas hingga Bonus untuk Pekerja, Ini Fakta-fakta Omnibus Law Cipta Kerja]

Pemerintah seharusnya memiliki alasan kuat menerbitkan RUU ini. Akan tetapi, alasan yang diberikan tidak memuaskan. Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah beralasan diubahnya UU Ketenagakerjaan karena tingkat kepatuhan pembayaran kompensasi oleh perusahaan terhadap pekerja yang terkena PHK masih sangat rendah. Ida menilai bahwa besaran pesangon yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 masih terlalu tinggi.

"Ternyata UU 13 2013 itu cukup tinggi ya pesangonnya. Karena cukup tinggi, data kami menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan terhadap UU ini rendah, karena ternyata perusahaan-perushaan tidak mampu membayarnya," tutur Ida pada 20 Februari 2020.

Ia memaparkan bahwa berdasarkan data Kemnaker 2019, ada 536 persetujuan bersama PHK. Dari total tersebut hanya 147 persetujuan bersama yang membayarkan kompensasi pesangon sesuai UU, sedangkan sisanya, yakni 384 persetujuan tidak melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai UU Ketenagakerjaan.

Sumber : Kompas [Banyak Perusahaan Tak Bayar Kompensasi Sesuai Aturan, Ini Kata Menaker]

Berdasarkan pemaparan Menaker, kita menemukan fakta bahwa meski sebagian besar perusahaan tidak membayarkan kompensasi pesangon sesuai UU, namun pembayaran kompensasi itu tetap berdasarkan kesepakatan antara buruh dengan perusahaan.

Seperti yang terjadi dalam kasus PHK 2505 orang pekerja pabrik PT Foster Electronic Indonesia dan PT Unisem Batam. PT Foster telah menutup perusahaannya sejak Juni 2019 lalu, sedangkan PT Unisem memangkas karyawannya secara bertahap dari September 2019 hingga Maret 2020. Kedua perusahaan terpaksa melakukan PHK karena mengalami kerugian dan harus menutup perusahaan.

Urusan pesangon telah diselesaikan oleh Foster, sedangkan berdasarkan pemberitaan bulan Agustus 2019 lalu, PT Unisem baru merampungkan kesepakatan kompensasi dengan beberapa serikat buruh yang menjadi pekerja di sana.

Berdasarkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial Tanjung Pinang, Serikat buruh dan Presdir Unisem Mike McKerreghan telah menyepakati rumusan uang PHK.

Rincian hitungan minimal kompensasi pesangonnya adalah dua kali pesangon, satu kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang memiliki nilai 15% dari pesangon.

Sumber : Katadata [Dua Pabrik Elektronik di Batam Bangkrut, 2.500 Pekerja Kena PHK]

Berdasarkan paparan tersebut, maka kita dapat ambil kesimpulan bahwa besaran pesangon yang diberikan ke pekerja Unisem merupakan kesepakatan antara perusahaan dan serikat buruh. Perusahaan yang melepaskan karyawan secara massal tentu harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit.

Apabila regulasi yang digunakan persis dengan UU Ketenagakerjaan bisa jadi perusahaan tidak mampu membayarnya. Terlebih lagi dalam kasus perusahaan yang merugi dan akan tutup.

Oleh karena itu dilakukanlah kesepakatan antara serikat pekerja dengan pihak perusahaan melalui jalur bipartit. Keputusan ini pun valid ditandai dengan turut terlibatnya Pengadilan Hubungan Industrial.

Urusan PHK memang perkara yang tidak mengenakkan. Namun dengan adanya kesepakatan itu, baik pihak perusahaan maupun pihak karyawan sama-sama mendapatkan kepastian dan keadilan. UU Ketenagakerjaan pun bisa menjadi patokan dalam menentukan standar kesepakatan pesangon.

Oleh karena itu, apabila RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang merugikan kepentingan buruh disahkan, hal yang dikhawatirkan adalah para buruh akan mendapatkan pesangon yang kemungkinan besar jauh di bawah nilai sebelum RUU disahkan. Bahkan bisa lebih kecil dari pesangon kesepakatan yang biasanya terjadi antara buruh dengan perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun