Mohon tunggu...
Ndaru Hatmoko
Ndaru Hatmoko Mohon Tunggu... Human Resources - HR

Hobi indexing, liat orang beraktifitas di ruang publik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dinding - dinding Pertanyaan

29 Desember 2024   00:26 Diperbarui: 29 Desember 2024   00:26 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Question MArk. Sumber : Bing Image

Di Bilangan Blok M Jakarta yang sekarang mulai menggeliat lagi setelah muncul MRT, ada sebuah kafe unik bernama "The Question Mark". Tidak ada menu di sini. Yang ada hanya selembar kertas kosong dan sebatang pensil di setiap meja. Para pengunjung diminta menulis pertanyaan - apa saja - dan barista akan membuat minuman berdasarkan interpretasi mereka atas pertanyaan tersebut.

Radit, seorang konsultan manajemen yang terkenal dengan kemampuan problem-solvingnya, awalnya menganggap konsep ini konyol. Tapi suatu hari, setelah presentasi yang gagal total, ia tersasar ke kafe ini.

"Pertanyaan Anda?" tanya sang barista, seorang wanita tua dengan rambut putih yang dipanggil Bu Maya.

"Saya bahkan tidak tau apa yang saya mau tanyakan," Radit tertawa getir.

"Ah," Bu Maya tersenyum. "Itu pertanyaan yang sangat bagus."

Lima belas menit kemudian, Bu Maya kembali dengan secangkir minuman berwarna gradasi - dari gelap di dasar hingga jernih di permukaan.

"Apa ini?"

"Ini adalah 'The Unknown' - specialty kami untuk mereka yang berani mengakui bahwa mereka tidak tau apa yang ingin mereka tanyakan."

Radit menyesap minumannya. Rasanya... kompleks. Setiap tegukan memberikan rasa berbeda.

"Aneh ya?" Bu Maya duduk di hadapannya. "Kita menghabiskan begitu banyak waktu mencari jawaban, tapi jarang sekali mempertanyakan pertanyaan kita sendiri."

"Maksudnya?"

"Coba lihat dinding itu," Bu Maya menunjuk ke dinding yang dipenuhi tulisan tangan. "Itu adalah 'Dinding Pertanyaan'. Setiap pengunjung boleh menulis pertanyaan mereka di sana."

Radit membaca beberapa tulisan: "Mengapa aku selalu merasa tidak cukup?" "Apakah kesuksesan yang kukejar ini milikku atau ekspektasi orang lain?" "Bagaimana cara melupakan masa lalu?" "Kenapa aku takut pada kesunyian?"

"Notice something?" tanya Bu Maya.

Radit mengangguk pelan. "Semua pertanyaan ini... sebenarnya adalah jawaban."

"Exactly. Pertanyaan yang kita ajukan sering kali mengungkapkan lebih banyak tentang diri kita daripada jawaban yang kita cari."

Sejak hari itu, Radit mulai mengunjungi The Question Mark setiap minggu. Tidak lagi untuk mencari jawaban, tapi untuk belajar bertanya.

Minggu pertama, pertanyaannya sederhana: "Kenapa saya selalu merasa harus sempurna?" Bu Maya memberinya secangkir teh hitam tanpa gula. "Kadang kita perlu merasakan pahitnya untuk menghargai manisnya ketidaksempurnaan."

Minggu kedua: "Bagaimana kalau semua yang saya capai selama ini salah?" Kali ini, sebuah minuman dengan dua layer yang tidak tercampur. "Tidak ada yang salah atau benar. Hanya pilihan, dan pembelajaran dari setiap pilihan."

Minggu ketiga: "Siapa saya sebenarnya tanpa semua pencapaian ini?" Segelas air putih dengan hiasan setangkai bunga yang perlahan-lahan mekar dalam air hangat. "Sometimes, we need to strip everything away to see what blooms naturally."

Perlahan-lahan, Radit mulai memahami. Setiap pertanyaan yang ia tulis adalah cermin yang memantulkan bagian dirinya yang selama ini tersembunyi. Ketakutannya akan kegagalan, obsesinya dengan kesempurnaan, keraguannya akan pilihan hidup - semuanya terkuak dalam pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan.

Suatu hari, saat ia menulis pertanyaan barunya, Bu Maya menggeleng.

"Hari ini, coba sesuatu yang berbeda," katanya. "Alih-alih menulis pertanyaan baru, coba baca lagi semua pertanyaan lamamu. Lihat bagaimana mereka berubah."

Radit membaca kembali dinding pertanyaannya: "Kenapa saya selalu merasa harus sempurna?" sekarang terasa seperti pengakuan akan kelelahan mengejar standar yang tidak realistis. "Bagaimana kalau semua yang saya capai selama ini salah?" menjadi refleksi tentang keberanian untuk mendefinisikan ulang kesuksesan. "Siapa saya sebenarnya?" tidak lagi terasa menakutkan, tapi seperti undangan untuk eksplorasi diri.

Singkat cerita, sekarang The Question Mark kini menjadi tempat favorit bagi mereka yang lelah mencari jawaban di luar. Di dindingnya, pertanyaan-pertanyaan terus bertambah dan setiap pertanyaan adalah jejak perjalanan seseorang menemukan diri.

Radit masih datang setiap minggu. Tapi kini, alih-alih menulis pertanyaan baru, ia lebih sering duduk diam, menikmati secangkir 'The Unknown', dan mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam dirinya.

Di meja kerjanya, ia memasang sebuah quote kecil:

"Kita mencari jawaban di luar, Padahal pertanyaan itu sendiri adalh kunci untuk menemukan diri kita. Karena dalam setiap pertanyaan yang kita ajukan, Tersimpan cerita tentang siapa kita Dan ingin menjadi seperti apa kita."

Dan Bu Maya? Dia masih di sana, meracik minuman yang tidak menjawab pertanyaan, tp membantu para pencari untuk mendengar pertanyaan mereka dengan lebih jelas.

Karena terkadang, jawaban terbaik bukanlah jawaban sama sekali, melainkan pertanyaan yang lebih dalam yang membawa kita pulang ke dalam diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun