"Maksudnya?"
"Coba lihat dinding itu," Bu Maya menunjuk ke dinding yang dipenuhi tulisan tangan. "Itu adalah 'Dinding Pertanyaan'. Setiap pengunjung boleh menulis pertanyaan mereka di sana."
Radit membaca beberapa tulisan: "Mengapa aku selalu merasa tidak cukup?" "Apakah kesuksesan yang kukejar ini milikku atau ekspektasi orang lain?" "Bagaimana cara melupakan masa lalu?" "Kenapa aku takut pada kesunyian?"
"Notice something?" tanya Bu Maya.
Radit mengangguk pelan. "Semua pertanyaan ini... sebenarnya adalah jawaban."
"Exactly. Pertanyaan yang kita ajukan sering kali mengungkapkan lebih banyak tentang diri kita daripada jawaban yang kita cari."
Sejak hari itu, Radit mulai mengunjungi The Question Mark setiap minggu. Tidak lagi untuk mencari jawaban, tapi untuk belajar bertanya.
Minggu pertama, pertanyaannya sederhana: "Kenapa saya selalu merasa harus sempurna?" Bu Maya memberinya secangkir teh hitam tanpa gula. "Kadang kita perlu merasakan pahitnya untuk menghargai manisnya ketidaksempurnaan."
Minggu kedua: "Bagaimana kalau semua yang saya capai selama ini salah?" Kali ini, sebuah minuman dengan dua layer yang tidak tercampur. "Tidak ada yang salah atau benar. Hanya pilihan, dan pembelajaran dari setiap pilihan."
Minggu ketiga: "Siapa saya sebenarnya tanpa semua pencapaian ini?" Segelas air putih dengan hiasan setangkai bunga yang perlahan-lahan mekar dalam air hangat. "Sometimes, we need to strip everything away to see what blooms naturally."
Perlahan-lahan, Radit mulai memahami. Setiap pertanyaan yang ia tulis adalah cermin yang memantulkan bagian dirinya yang selama ini tersembunyi. Ketakutannya akan kegagalan, obsesinya dengan kesempurnaan, keraguannya akan pilihan hidup - semuanya terkuak dalam pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan.