Suatu hari, saat ia menulis pertanyaan barunya, Bu Maya menggeleng.
"Hari ini, coba sesuatu yang berbeda," katanya. "Alih-alih menulis pertanyaan baru, coba baca lagi semua pertanyaan lamamu. Lihat bagaimana mereka berubah."
Radit membaca kembali dinding pertanyaannya: "Kenapa saya selalu merasa harus sempurna?" sekarang terasa seperti pengakuan akan kelelahan mengejar standar yang tidak realistis. "Bagaimana kalau semua yang saya capai selama ini salah?" menjadi refleksi tentang keberanian untuk mendefinisikan ulang kesuksesan. "Siapa saya sebenarnya?" tidak lagi terasa menakutkan, tapi seperti undangan untuk eksplorasi diri.
Singkat cerita, sekarang The Question Mark kini menjadi tempat favorit bagi mereka yang lelah mencari jawaban di luar. Di dindingnya, pertanyaan-pertanyaan terus bertambah dan setiap pertanyaan adalah jejak perjalanan seseorang menemukan diri.
Radit masih datang setiap minggu. Tapi kini, alih-alih menulis pertanyaan baru, ia lebih sering duduk diam, menikmati secangkir 'The Unknown', dan mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam dirinya.
Di meja kerjanya, ia memasang sebuah quote kecil:
"Kita mencari jawaban di luar, Padahal pertanyaan itu sendiri adalh kunci untuk menemukan diri kita. Karena dalam setiap pertanyaan yang kita ajukan, Tersimpan cerita tentang siapa kita Dan ingin menjadi seperti apa kita."
Dan Bu Maya? Dia masih di sana, meracik minuman yang tidak menjawab pertanyaan, tp membantu para pencari untuk mendengar pertanyaan mereka dengan lebih jelas.
Karena terkadang, jawaban terbaik bukanlah jawaban sama sekali, melainkan pertanyaan yang lebih dalam yang membawa kita pulang ke dalam diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H