Mohon tunggu...
Ndaru Hatmoko
Ndaru Hatmoko Mohon Tunggu... Human Resources - HR

Hobi indexing, liat orang beraktifitas di ruang publik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Titik-titik dalam Garis Lurus

24 Desember 2024   08:29 Diperbarui: 24 Desember 2024   08:47 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dr. Andhika adalah seorang dokter bedah jantung di salah satu rumah sakit ternama Jakarta. Setiap hari, ia menghabiskan rata-rata enam jam di ruang operasi, menyelamatkan jantung-jantung yang bermasalah. Namun ironisnya, satu jantung yang paling dekat dengannya - jantung putri tunggalnya, Kinara - justru yang paling sulit ia pahami.

"Papa hari ini nggak bisa dateng ke graduation SMP kamu ya, Kin. Emergency surgery," ucapnya lewat voice note WhatsApp, pagi itu.

Kinara, 15 tahun, hanya membalas dengan emoji thumbs up. Sudah biasa. Sejak ibunya meninggal lima tahun lalu karena kanker, komunikasi dengan ayahnya seolah hanya berupa titik-titik morse - terputus-putus, singkat, dan sering kali sulit diartikan.

Yang Kinara tidak tahu, setiap kali Dr. Andhika melakukan operasi jantung, ia selalu membayangkan pasiennya adalah putrinya sendiri. Setiap jahitan ia lakukan dengan presisi sempurna, seolah-olah ia sedang menjahit masa depan Kinara.

"Dokter Andhi," sapa Bi Minah, asisten rumah tangga yang sudah seperti nenek bagi Kinara, suatu pagi. "Nona Kinara dapat beasiswa dance ke Korea."

Dr. Andhika mengangguk sambil menyesap kopinya. "Sudah saya transfer uang untuk tiket dan akomodasinya."

"Bukan itu maksud saya, Dok. Nona Kinara... dia butuh tanda tangan persetujuan orangtua. Dan mungkin... sedikit dukungan moral?"

Malam itu, hal yang jarang srkali dilakukan, Dr. Andhika masuk ke kamar putrinya. Dinding-dindingnya dipenuhi poster grup K-pop dan foto-foto Kinara menari. Ada satu sudut yang menarik perhatiannya: sebuah papan mood board berisi timeline impian Kinara - dari kompetisi dance tingkat nasional hingga membuka academy dance sendiri.

Di mejanya, ada sebuah notebook terbuka. Dr. Andhika tidak bermaksud membaca, tapi satu kalimat menangkap matanya:

"Sometimes I wonder if Papa's heart is as precise as his surgical cuts."

Keesokan harinya, Kinara menemukan sesuatu yang aneh di meja belajarnya: sebuah stetoskop digital modern dengan note kecil:

"Untuk mendengar apa yang tidak bisa Papa katakan."

Kinara mengambil stetoskop itu dengan bingung. Saat ia mengenakannya, ada suara rekaman yang terputar:

"Hey, Kin. Ini Papa. Maaf Papa nggak pandai bicara seperti dokter-dokter di Grey's Anatomy kesukaanmu. Tapi mungkin... mungkin Papa bisa mulai belajar."

Setiap hari setelahnya, Kinara menemukan rekaman baru di stetoskop itu. Kadang hanya suara detak jantung pasien yang berhasil Dr. Andhika selamatkan, lengkap dengan cerita di baliknya. Kadang curahan hati seorang ayah yang canggung tentang betapa ia bangga melihat putrinya menari.

"Hari ini Papa operasi seorang penari balet berusia 60 tahun," salah satu rekaman berbunyi. "Dia bilang, jantungnya kuat karena setiap detak diselaraskan dengan musik. Mungkin itu sebabnya kamu suka menari, Kin. Kamu mewarisi irama jantung Mama."

Perlahan-lahan, jarak antara ayah dan anak itu mulai terjembatani oleh detak-detak jantung yang direkam. Kinara mulai memahami bahwa setiap kali ayahnya tidak bisa hadir di acara pentingnya, ada nyawa lain yang bergantung padanya.

Suatu hari, Kinara memberanikan diri merekam suaranya sendiri di stetoskop itu:

"Pa, tau nggak? Setiap aku tampil menari, aku selalu membayangkan setiap gerakanku adalah detak jantung. Seperti Papa yang menjahit jantung orang dengan teliti, aku juga ingin setiap gerakanku bisa menyembuhkan hati orang yang menontonnya."

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak kematian istrinya, Dr. Andhika menangis.

Ketika hari keberangkatan Kinara ke Korea tiba, Dr. Andhika tidak bisa mengantar ke bandara - ada operasi darurat. Tapi Kinara menemukan hadiah terakhir: sebuah jam tangan cantik dengan fitur monitor detak jantung.

"Supaya kita selalu terhubung," tulis ayahnya. "Setiap kali kamu merindukan Papa, cek detak jantungmu. Somewhere in Jakarta, ada jantung lain yang berdetak dalam irama yang sama."

Enam bulan kemudian, saat Kinara tampil dalam showcase pertamanya di Korea, ia memakai jam itu. Di tengah-tengah penampilannya, ia melirik monitor detak jantungnya dan tersenyum - 120 BPM, sama persis seperti yang tertera di jam ayahnya di Jakarta.

Dan di ruang operasi di Jakarta, Dr. Andhika tersenyum di balik maskernya, merasakan detak yang sama. Karena terkadang, cinta seorang ayah tidak selalu ditunjukkan dengan kata-kata atau kehadiran fisik. Kadang, cinta itu hadir dalam bentuk detak jantung yang diselaraskan, dalam rekaman suara yang canggung, atau dalam sebuah stetoskop digital yang menjembatani jarak.

Karena pada akhirnya, cinta - seperti detak jantung - tidak perlu selalu terucap untuk bisa dirasakan. Ia hanya perlu terus berdetak, dalam irama yang sama, menghubungkan dua hati yang mungkin terpisah jarak, tapi tidak pernah benar-benar terpisah.

Sekarang, setiap kali ada yang bertanya pada Kinara tentang hubungannya dengan ayahnya, ia akan mengeluarkan stetoskop digitalnya dan tersenyum:

"Kami berkomunikasi dalam bahasa yang berbeda. Papa dengan detak jantungnya, aku dengan tarianku. Tapi somehow... kami selalu menemukan irama yang sama."

Dan di suatu tempat di Jakarta, seorang dokter bedah masih merekam cerita-cerita jantung untuk putrinya, menambahkan titik demi titik dalam garis yang menghubungkan mereka, membuktikan bahwa cinta seorang ayah, seperti detak jantung, akan terus berlanjut ,  dalam irama yang mungkin tidak sempurna, tapi selalu setia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun