Keesokan harinya, Kinara menemukan sesuatu yang aneh di meja belajarnya: sebuah stetoskop digital modern dengan note kecil:
"Untuk mendengar apa yang tidak bisa Papa katakan."
Kinara mengambil stetoskop itu dengan bingung. Saat ia mengenakannya, ada suara rekaman yang terputar:
"Hey, Kin. Ini Papa. Maaf Papa nggak pandai bicara seperti dokter-dokter di Grey's Anatomy kesukaanmu. Tapi mungkin... mungkin Papa bisa mulai belajar."
Setiap hari setelahnya, Kinara menemukan rekaman baru di stetoskop itu. Kadang hanya suara detak jantung pasien yang berhasil Dr. Andhika selamatkan, lengkap dengan cerita di baliknya. Kadang curahan hati seorang ayah yang canggung tentang betapa ia bangga melihat putrinya menari.
"Hari ini Papa operasi seorang penari balet berusia 60 tahun," salah satu rekaman berbunyi. "Dia bilang, jantungnya kuat karena setiap detak diselaraskan dengan musik. Mungkin itu sebabnya kamu suka menari, Kin. Kamu mewarisi irama jantung Mama."
Perlahan-lahan, jarak antara ayah dan anak itu mulai terjembatani oleh detak-detak jantung yang direkam. Kinara mulai memahami bahwa setiap kali ayahnya tidak bisa hadir di acara pentingnya, ada nyawa lain yang bergantung padanya.
Suatu hari, Kinara memberanikan diri merekam suaranya sendiri di stetoskop itu:
"Pa, tau nggak? Setiap aku tampil menari, aku selalu membayangkan setiap gerakanku adalah detak jantung. Seperti Papa yang menjahit jantung orang dengan teliti, aku juga ingin setiap gerakanku bisa menyembuhkan hati orang yang menontonnya."
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak kematian istrinya, Dr. Andhika menangis.
Ketika hari keberangkatan Kinara ke Korea tiba, Dr. Andhika tidak bisa mengantar ke bandara - ada operasi darurat. Tapi Kinara menemukan hadiah terakhir: sebuah jam tangan cantik dengan fitur monitor detak jantung.