"Supaya kita selalu terhubung," tulis ayahnya. "Setiap kali kamu merindukan Papa, cek detak jantungmu. Somewhere in Jakarta, ada jantung lain yang berdetak dalam irama yang sama."
Enam bulan kemudian, saat Kinara tampil dalam showcase pertamanya di Korea, ia memakai jam itu. Di tengah-tengah penampilannya, ia melirik monitor detak jantungnya dan tersenyum - 120 BPM, sama persis seperti yang tertera di jam ayahnya di Jakarta.
Dan di ruang operasi di Jakarta, Dr. Andhika tersenyum di balik maskernya, merasakan detak yang sama. Karena terkadang, cinta seorang ayah tidak selalu ditunjukkan dengan kata-kata atau kehadiran fisik. Kadang, cinta itu hadir dalam bentuk detak jantung yang diselaraskan, dalam rekaman suara yang canggung, atau dalam sebuah stetoskop digital yang menjembatani jarak.
Karena pada akhirnya, cinta - seperti detak jantung - tidak perlu selalu terucap untuk bisa dirasakan. Ia hanya perlu terus berdetak, dalam irama yang sama, menghubungkan dua hati yang mungkin terpisah jarak, tapi tidak pernah benar-benar terpisah.
Sekarang, setiap kali ada yang bertanya pada Kinara tentang hubungannya dengan ayahnya, ia akan mengeluarkan stetoskop digitalnya dan tersenyum:
"Kami berkomunikasi dalam bahasa yang berbeda. Papa dengan detak jantungnya, aku dengan tarianku. Tapi somehow... kami selalu menemukan irama yang sama."
Dan di suatu tempat di Jakarta, seorang dokter bedah masih merekam cerita-cerita jantung untuk putrinya, menambahkan titik demi titik dalam garis yang menghubungkan mereka, membuktikan bahwa cinta seorang ayah, seperti detak jantung, akan terus berlanjut , dalam irama yang mungkin tidak sempurna, tapi selalu setia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H