"Selamat datang di Toko Seandainya."
Suara itu datang dari wanita tua berkacamata bulan separuh yang berdiri di balik konter antik. Namanya Bu Kemuning - setidaknya itu yang tertulis di name tag kuningannya. Toko ini tidak seperti yang kubayangkan. Tidak ada pintu masuk yang jelas, aku hanya... tiba-tiba ada di sini.
"Kamu pasti bingung," dia tersenyum, seolah membaca pikiranku. "Semua pelanggan pertama kali selalu begitu. Mari, biar kutunjukkan koleksi kami."
Aku mengikutinya menyusuri lorong-lorong dengan rak kayu tinggi yang tampak tak berujung. Setiap rak memiliki label yang bersinar redup dengan tulisan tangan yang elegan.
"Di sini," Bu Kemuning menunjuk ke sebuah rak bertanda 'Cinta Yang Hampir', "adalah seksi paling populer kami."
Aku melihat deretan botol kristal berisi kabut berwarna merah muda. Setiap botol memiliki label dengan deskripsi detail:
"Senja di Halte Busway - Momen ketika kamu hampir menyatakan perasaan pada gadis berjaket merah itu. Includes: jantung berdebar, hujan rintik, dan bus yang terlambat 5 menit. Harga: 3 malam tidur gelisah + 5 skenario alternatif."
"Bagaimana cara... membayarnya?" tanyaku ragu.
Bu Kemuning tersenyum misterius. "Oh, kamu sudah membayarnya sejak lama. Setiap kali kamu terbangun di tengah malam dan membayangkan 'bagaimana jika waktu itu...', itu adalah cicilan."
Kami bergerak ke seksi berikutnya. 'Karir Yang Bisa Jadi'. Disini, ada map-map kerja yang tidak pernah ditandatangani, id card perusahaan yang tidak pernah dipakai, dan gelas kopi dengan logo startup yang tidak pernah diluncurkan.
"Ini best seller minggu ini," Bu Kemuning mengambil sebuah amplop coklat. "Tawaran kerja impian yang tidak pernah diambil. Lengkap dengan bayangan gaji yang lebih besar dan meja kantor dengan view city lights. Harga: 12 LinkedIn scroll tengah malam plus 3 update status mantan teman kuliah yang sukses."
Aku menelan ludah. Terlalu familiar.
"Dan ini," dia menunjuk ke seksi 'Petualangan Yang Tertunda', "untuk mereka yang selalu bilang 'nanti saja'."
Rak ini dipenuhi peta-peta usang, tiket yang tidak pernah digunakan, dan guide book yang masih terbungkus plastik. Ada satu item yang menarik perhatianku: sebuah ransel traveling yang terlihat hampir nyata.
"Gap Year Yang Tak Jadi - Termasuk: 15 foto Instagram orang lain di Machu Picchu, 4 guide book berdebu, dan satu set 'tunggu kondisi stabil'. Warning: Mungkin memicu spontaneous flight booking."
"Tapi yang paling berat," Bu Kemuning berbisik, menuntunku ke seksi paling belakang, "ada di sini."
Seksi 'Momen Keluarga' terlihat berbeda. Tidak ada label harga yang jelas, hanya foto-foto yang mulai memudar dan kursi kosong di meja makan.
"Ini..." suaraku tercekat.
"Ya," Bu Kemuning mengangguk lembut. "Semua 'kapan-kapan' yang tidak sempat, semua 'maaf' yang tidak terucap, semua 'aku sayang' yang tertahan."
Aku meraih sebuah bingkai foto. Di dalamnya, bayangan samar diriku dan ayah yang tidak pernah sempat kuajak mancing.
"Berapa... harganya?"
"10 malam menatap foto lama, plus satu draft pesan yang tak terkirim," Bu Kemuning menjawab pelan. "Tapi biasanya orang membayar lebih."
"Apa... ada garansi? Atau kebijakan return?"
Bu Kemuning menggeleng. "Sayang sekali, seperti waktu, penyesalan tidak bisa dikembalikan. Setiap pembelian bersifat final, seperti keputusan yang sudah lewat."
Aku mengangguk mengerti. "Lalu, apa yang membuat orang tetap membeli?"
"Karena kadang," dia tersenyum bijak, "hanya dengan mengakui harga dari sebuah 'seandainya', kita bisa mulai membayar untuk 'sekarang'."
Aku melihat sekeliling sekali lagi. Toko ini penuh, tapi anehnya sunyi. Hanya ada suara detik jam dan bisikan-bisikan samar 'coba waktu itu...'
"Jadi," Bu Kemuning menatapku, "apa yang ingin kamu beli hari ini?"
Aku memandang bingkai foto di tanganku, lalu ke ponselku. Ada nomor yang sudah lama tidak kukubungi.
"Mungkin... tidak hari ini," jawabku pelan.
Bu Kemuning tersenyum lebih lebar. "Ah, pelanggan yang bijak. Kamu tahu, kadang keputusan terbaik di Toko Seandainya adalah untuk tidak membeli apa-apa."
Ketika aku berbalik untuk pergi, aku mendengar suaranya sekali lagi:
"Tapi ingat, kami selalu buka. Di antara 'sudahlah' dan 'coba waktu itu', kamu akan selalu menemukan kami. Toko Seandainya - karena setiap pilihan yang tidak diambil layak diabadikan."
Aku melangkah keluar - atau mungkin terbangun, aku tidak yakin. Yang kutahu, ponselku ada di tangan, dan aku sedang mengetik pesan:
"Pak, gimana kabar Bapak di Surga, Kangen. Maafin ya Pak sampai nggak sempat ngajak mancing ! "
[End]
PS: Toko Seandainya menerima pembayaran dalam bentuk waktu, memori, dan keberanian untuk memulai lagi. Karena terkadang, harga termahal dari sebuah 'seandainya' adalah tidak pernah mencoba sama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H