Mohon tunggu...
nbaityzhr
nbaityzhr Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Love life

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Metode Hukum Islam (Ijtihad) dalam Menjawab Perkembangan Peristiwa Hukum

11 Agustus 2020   11:07 Diperbarui: 11 Agustus 2020   10:56 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh       : Nurbaiti

Prodi Jinayah (Hukum Pidana Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera

Hukum Islam secara umum mencakup syariah dan fiqih bahkan terkadang mencakup usul Fiqih atau dasar-dasar fiqih. Syariah merupakan sumber atau landasan fiqih, Sedangkan fiqih merupakan pemahaman terhadap Syariah. 

Secara umum syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah yang belum dicampuri daya Nalar atau ijtihad, sedangkan fiqih adalah hukum Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap Syariah atau pemahaman terhadap Nash baik Alquran maupun sunnah.

Karakteristik hukum Islam sebagai suatu sistem hukum tersendiri, yang berbeda dengan berbagai sistem hukum yang ada di dunia. Di antara karakteristik hukum Islam ini ada yang merupakan produk dari watak hukum Islam itu sendiri, dan ada yang disebabkan oleh evolusinya dalam mencapai tujuan yang diridhoi Allah. 

Secara umum Muhammad Yusuf Musa mengemukakan enam karakteristik dasar dari hukum Islam yang pertama, dasar-dasar nya yang umum berasal dari Wahyu Allah, kedua, aturan-aturan hukum Islam dibuat dengan dorongan agama dan moral, ketiga, balasan hukum Islam didapatkan di dunia dan akhirat, keempat, kecenderungan hukum Islam komunal, kelima, dapat berkembang sesuai dengan lingkungan, waktu, dan tempat, dan keenam,  tujuan hukum Islam mengatur dan memberikan kemudahan bagi kehidupan privat dan publik dan membahagiakan dunia seluruhnya.

ljtihad sepadan dengan kata kesanggupan (al wus'), kekuatan (al-thaqat), dan berat (al-masyaqqat). Secara bahasa, ijtihad didefinisikan secara berbeda oleh ulama. Ahmad Ibn Ahmad Ibn Ali al-Muqri al-Fayumi (w. 770 H) menjelaskan bahwa ijtihad secara etimologi adalah pengerahan, kesanggupan, dan kekuatan mujtahid dalam melakukan pencarian supaya sampai pada sesuatu yang dituju dan selesai hingga ujungnya. 

Sejalan dengan definisi di atas, Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al- Syaukani menjelaskan bahwa arti etimologi dari ijtihad adalah pembicaraan mengenai pengarahan dalam mengerjakan pekerjaan apa saja.

Definisi ijtihad secara bahasa yang disusun oleh Ahmad Ibn Ahmad Ibn Ali al-Muqri al-Fayumi dan Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani masih bersifat umum. Mereka mengatakan, bahwa pengerahan kemampuan dalam rangka menyelesaikan pekerjaan atau persoalan disebut ijtihad, tanpa mempertimbangkan kualitas (berat atau ringan) pekerjaan yang dilakukan atau persoalan yang diselesaikan. 

Oleh karena itu, Muhammad Salam Madkur mengubah arti ijtihad secara etimologi. Menurut Muhammad Salarn Madkur, arti ijtihad secara etimologi adalah pengerahan kemampuan (mujtahid) dalam menyelesaikan sesuatu yang berat.

Pekerjaan yang termasuk ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan dalam mengerjakan atau menyelesaikan persoalan berat. Oleh karena itu, mengerahkan kemampuan untuk mengerjakan persoalan yang ringan atau mengerahkan kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ringan tidaklah termasuk ijtihad. 

Akan tetapi, standar atau ukuran untuk menentukan kualitas pekerjaan atau persoalan sehingga dapat diklasifikasikan menjadi berat, sedang dan ringan, tidak ditentukan oleh ulama. Dalam ilmu yang bersifat kualitatif, cukup sulit menentukan kualitas pekerjaan atau persoalan. 

Oleh karena itu, bisa jadi menurut ulama tertentu, persoalan yang sedang diselesaikannya termasuk ringan; sedangkan dalam pandangan ulama lainnya, persoalan tersebut termasuk berat. 

Akibatnya adalah bahwa penyelesaian persoalan tersebut menurut satu ulama adalah bagian dari kegiatan ijtihad; sedangkan dalam pandangan ulama lainnya, penyelesaian persoalan tersebut tidaklah dapat dikatakan telah melakukan kegiatan ijtihad.

Dalam sebuah hadits disebutkan, "Telah menceritakan kepada kami Mu'adz Ibn Jabal ia berkata: Tatkala Rasulullah mengutusku ke Yaman ia bersabda: "Jangan memutuskan sesuatu, kecuali dengan yang telah diketahui; jika kamu ragu-ragu dalam suatu masalah, kamu harus menunggu hingga persoalan itu jelas bagimu; atau tulislah surat kepadaku mengenai masalah itu". (HR. Ibn Majah).

Berdasarkan hadis yang mengisahkan tentang Mu'adz Ibn Jabal di atas, mengenai keniscayaan berijtihad, maka ruang lingkup ijtihad hanya dapat diterapkan pada wilayah-wilayah yang belum jelas tersirat dalam Alquran dan Sunah. Singkatnya, tidak ada ijtihad di dalam Alquran dan Sunah yang sudah jelas, eksplisit (la ijtihda ma'a al-nassh)".

Secara generik, ruang lingkup itu dapat terjadi pada beberapa hal sebagai berikut:

Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nas Al-quran dan sunah secara jelas;

Masalah-masalah baru yang hukumnya belum dijimak oleh ulama atau aimatu al-mjtahidin;

Nas-nas zhanni dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan;

Hukum Islam yang ma'qulu al- ma'na/ta'aqulli (kualitas hukumnya/illat-nya dapat diketahui mujtahid).

Berbicara tentang hukum berijtihad, yang dimaksud adalah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, karena yang berwenang melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih. 

Secara umum, hukum berijtihad itu adalah wajib, artinya seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara' dalam hal-hal yang syara' sendiri belum menetapkannya secara jelas dan pasti. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Alquran: "Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang- orang yang mempunyai wawasan." (Q.S al-Hasyr: 2).

Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan (faqih) untuk mengambil i'tibar ini sesudah Allah menjelaskan malapetaka yang menimpa ahli kitab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik. Cara mengambil i'tibar itu merupakan salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam ayat ini Allah menyuruh mengambil i'tibar, artinya Allah juga menyuruh ijtihad, dan perintah tersebut para dasarnya adalah wajib.

Pada ayat lain disebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya). dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S an-Nisa: 59).

Sesuatu yang diperdebatkan, yaitu sesuatu yang belum ditetapkan Allah secara jelas dan tegas dalam Alquran maka Allah menyuruh untuk mengembalikan kepada Allah dan Rasul, berarti menghubungkan hukumnya kepada apa yang pernah ditetapkan oleh Allah dalam Alquran atau yang ditetapkan Rasul dalam as-Sunnah.

Cara seperti ini disebut dengan istilah qiys (analogi), sedangkan qiyas itu merupakan salah satu bentuk ijtihad. Oleh karena itu, perintah Allah mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul berarti perintah untuk berijtihad dan setiap perintah pada prinsipnya adalah wajib.

Imam al-Syafi'i (150 H-204 H), penyusun pertama usul fikih, dalam kitabnya yang berjudul al-Rislah, ketika menggambarkan kesempurnaan Alquran menegaskan: "Maka tidak terjadi satu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya". 

Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Alquran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu.

Pernyataan Imam al-Syafi'i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad di samping Alquran dan Sunah Rasulullah ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis tidak tegas pengertiannya, sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Alquran dan Sunah seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. 

Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Alquran dan Sunah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun