Secara umum, hukum berijtihad itu adalah wajib, artinya seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara' dalam hal-hal yang syara' sendiri belum menetapkannya secara jelas dan pasti. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Alquran: "Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang- orang yang mempunyai wawasan." (Q.S al-Hasyr: 2).
Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan (faqih) untuk mengambil i'tibar ini sesudah Allah menjelaskan malapetaka yang menimpa ahli kitab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik. Cara mengambil i'tibar itu merupakan salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam ayat ini Allah menyuruh mengambil i'tibar, artinya Allah juga menyuruh ijtihad, dan perintah tersebut para dasarnya adalah wajib.
Pada ayat lain disebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya). dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S an-Nisa: 59).
Sesuatu yang diperdebatkan, yaitu sesuatu yang belum ditetapkan Allah secara jelas dan tegas dalam Alquran maka Allah menyuruh untuk mengembalikan kepada Allah dan Rasul, berarti menghubungkan hukumnya kepada apa yang pernah ditetapkan oleh Allah dalam Alquran atau yang ditetapkan Rasul dalam as-Sunnah.
Cara seperti ini disebut dengan istilah qiys (analogi), sedangkan qiyas itu merupakan salah satu bentuk ijtihad. Oleh karena itu, perintah Allah mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul berarti perintah untuk berijtihad dan setiap perintah pada prinsipnya adalah wajib.
Imam al-Syafi'i (150 H-204 H), penyusun pertama usul fikih, dalam kitabnya yang berjudul al-Rislah, ketika menggambarkan kesempurnaan Alquran menegaskan: "Maka tidak terjadi satu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya".Â
Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Alquran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu.
Pernyataan Imam al-Syafi'i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad di samping Alquran dan Sunah Rasulullah ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis tidak tegas pengertiannya, sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Alquran dan Sunah seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.Â
Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Alquran dan Sunah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI