Di sebuah kota kecil yang dikelilingi pegunungan asri, terdapat sebuah gedung tua yang dikenal sebagai Gedung Arjuna. Bangunan itu sudah lama tak berpenghuni, namun tetap berdiri kokoh walau dengan dinding-dinding retak dan cat yang mengelupas. Walau begitu, tidak ada yang berani mendekatinya apalagi masuk.Â
Konon, gedung tersebut dulunya merupakan sebuah panti asuhan yang terbakar habis sekitar 30 tahun yang lalu. Seluruh penghuni di dalamnya tewas, kecuali seorang anak laki-laki bernama Ananta. Saat kejadian Ia ditemukan di luar gedung, dengan pakaian dipenuhi abu serta darah, dengan ekspresi kosong di wajahnya. Tidak ada yang tahu bagaimana ia selamat.
Beberapa tahun setelah kejadian tersebut Ananta menghilang secara misterius tanpa kabar sedikitpun. Sejak saat itu Gedung Arjuna tetap menjadi simbol kutukan bagi penduduk kota. Mereka percaya bahwa gedung itu "Hidup" dan menyimpan dosa-dosa orang-orang yang pernah tinggal di dalamnya.Â
Surya, seorang penulis yang sedang berjuang menemukan identitas dirinya, datang ke kota itu untuk menulis kisah misteri tentang Gedung Arjuna. Ia percaya, di balik legenda gelap itu pasti ada kebenaran yang bisa ia ungkapkan kepada dunia. Penduduk kota memperingatinya untuk tidak terlalu dekat dengan gedung itu.Â
"Tidak ada yang keluar dengan selamat dari sana," kata Pak Anton, pemilik penginapan tempat Surya menginap.
Namun, rasa penasaran Surya lebih besar daripada rasa takutnya. Ia yakin bahwa kisah tentang Gedung Arjuna akan menjadi karya besar pertamanya.
Di pagi yang dingin, Surya berjalan menuju Gedung Arjuna. Ia membawa senter, buku catatan, dan kamera. Begitu ia membuka pintu utama gedung itu, aroma apek dan basah langsung menyerbu hidungnya.
Ruangan pertama adalah aula besar dengan lantai kayu yang sudah lapuk. Di dinding, ada lukisan-lukisan anak-anak yang menggambarkan keluarga dan rumah, namun semuanya terlihat suram, seperti melambangkan kesepian.
Di ujung aula, ia melihat sebuah pintu yang sedikit terbuka. Ketika ia mendekat, ia mendengar suara langkah kaki kecil.
"Halo?" panggilnya.
Tidak ada jawaban.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu itu, dan ia melihat lorong panjang yang diterangi oleh lampu-lampu redup yang tampaknya masih berfungsi. Di ujung lorong, ada sebuah pintu besi besar.
Ketika Surya berjalan melewati lorong itu, ia mendengar suara-suara anak-anak yang bermain dan tertawa. Namun, ketika ia menoleh, lorong itu kosong.
"Halusinasi?" gumamnya.
Ia mencoba mengabaikannya dan terus berjalan menuju pintu besi. Di atas pintu itu, ada sebuah tulisan besar: "Pintu Terakhir."
Ketika ia hendak membuka pintu itu, sebuah suara memanggil namanya.
"Surya!"
Ia berbalik dengan cepat, tapi tidak ada siapa pun. Jantungnya berdegup kencang. Ia yakin bahwa tidak mungkin ada orang lain di gedung ini.
Â
Saat ia memegang gagang pintu besi, bayangan-bayangan aneh mulai memenuhi pikirannya. Ia melihat seorang anak laki-laki kecil, duduk di sudut ruangan, menangis. Anak itu terlihat sangat familiar, tapi Surya tidak bisa mengingat di mana ia pernah melihatnya.
Ketika pintu terbuka, ruangan di baliknya adalah aula lain yang lebih kecil, dengan deretan tempat tidur bertingkat yang tampaknya bekas asrama. Namun, yang membuat Surya terkejut adalah dinding-dinding di ruangan itu penuh dengan coretan yang sama: "Bebaskan aku!"
Ia merasakan dingin yang menusuk tulang.
Di sudut ruangan, ia melihat seorang pria tua dengan rambut acak-acakan dan pakaian lusuh. Pria itu sedang duduk di lantai, menggambar sesuatu di atas debu.
"Anda siapa?" tanya Surya, mencoba menenangkan dirinya.
Pria itu menoleh. Wajahnya penuh kerutan, tapi matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam.
"Aku adalah Ananta," jawabnya pelan.
Surya terkejut. Ananta adalah satu-satunya orang yang selamat dari kebakaran itu. Tapi bagaimana ia bisa berada di sini selama ini?
"Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Surya.
"Aku menjaga mereka," jawab Ananta sambil menunjuk ke arah tempat tidur.
Surya melihat bayangan samar-samar anak-anak di setiap tempat tidur, dengan tatapan kosong menembus dinding.
"Mereka tidak bisa pergi," lanjut Ananta. "Dan aku tidak bisa meninggalkan mereka."
Surya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Semakin lama ia berada di sana, semakin banyak ingatan samar yang muncul di pikirannya. Ia melihat kilasan-kilasan masa kecilnya: gedung itu, anak-anak yang tertawa, dan api besar yang melalap segalanya.
"Aku pernah di sini," bisiknya pada dirinya sendiri.
Ananta menatapnya tajam. "Kamu lebih dari sekadar pernah di sini. Kamu adalah bagian dari ini."
Tiba-tiba, Surya teringat semuanya. Ia adalah salah satu anak di panti asuhan itu. Ia adalah teman dekat Ananta, dan mereka berdua pernah mencoba kabur dari panti asuhan yang penuh kekerasan itu.
Namun, malam kebakaran itu, ia yang secara tidak sengaja memulai api saat mencoba menyalakan lilin di lorong. Ia berhasil keluar, tapi semua anak lainnya terjebak di dalam.
"Semua ini salahku," kata Surya dengan air mata mengalir di pipinya.
Ananta mengangguk pelan. "Mereka tidak menyalahkanmu. Mereka hanya ingin bebas. Tapi untuk itu, kamu harus memaafkan dirimu sendiri."
Surya merasa berat untuk melakukannya. Namun, ketika ia menutup matanya dan memohon maaf kepada semua jiwa yang terperangkap, ia merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti dirinya.
Ketika ia membuka matanya, ruangan itu kosong. Tidak ada Ananta, tidak ada anak-anak, dan dinding yang sebelumnya penuh coretan kini bersih.
Surya keluar dari Gedung Arjuna dengan hati yang lebih ringan. Ia menyadari bahwa menghadapi masa lalu adalah satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari rasa bersalah yang telah membelenggunya selama ini.
Malam itu, ia menulis kisah tentang Gedung Arjuna. Bukan sebagai tempat kutukan, tetapi sebagai tempat pembelajaran. Ia menulis bahwa kadang, hantu yang paling menakutkan adalah bayangan masa lalu kita sendiri.
Dan hanya dengan keberanian untuk memaafkan diri sendiri, kita bisa benar-benar bebas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI