Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia no: M.01.PW-07-03 tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan: "tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya mendekati kebenara materiil.....". Dalam sebuah persidangan terutama persidangan kasus tindak pidana korupsi, pengungkapan kesalahan diperlukan bukti-bukti yang cukup untuk menentukan sanksi bagi terdakwa. Penuntut umum harus dapat membuktikan kesalahan tersebut atas tuntutan yang diajukannya. Pentingnya bukti-bukti di ruang sidang, dapat membuktikan sah atau tidaknya terdakwa melawan hukum. Terdapat dua unsur yang dikemukakan oleh Edward Coke yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu Actus Reus dan Mens Rea. Kedua unsur tersebut erat kaitannya dalam penentuan tindak hukum, penting sebagai landasan penuntut umum maupun hakim di dalam persidangan.
Apa itu Konsep Actus Reus dan Mens Rea?
Suatu perbuatan akan dianggap melanggar hukum dan diberikan sanksi, harus memenuhi dua elemen, yaitu pertama Actus Reus merupakan hakikat dari pelanggaran hukum itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, disebut elemen eksternal. Kedua, Mens Rea merupakan kondisi kebatinan pelaku saat melakukan perbuatannya, disebut elemen internal. Konsep Actus Reus muncul dari perbuatan lahiriah sedangkan Mens Rea muncul dari dalam diri kebatinan.
Dalam proses hukum tindak pidana, Actus Reus biasanya menjadi elemen pertama yang harus dibuktikan sebelum mengevaluasi aspek lain seperti niat atau kondisi mental pelaku. Selanjutnya, Mens Rea mencakup unsur subjektif seperti kehendak (willens) dan kesadaran (wetens) dari pelaku mengenai akibat dari tindakannya. Kehendak ini sering dihubungkan dengan adanya kesengajaan atau kelalaian.
Berbagai tindak pidana yang terjadi memiliki beberapa pemicu, yaitu:
- Maksud (Intention):Â sebuah tindak pidana yang pelakunya sadar akan perbuatannya dan melakukan tindakan tersebut untuk mencapai tujuan tertentu. Keinginan untuk mencapai tujuan dengan cepat meskipun cara yang ditempuh melanggar hukum. Contoh: Seorang pejabat publik dengan sengaja memanipulasi anggaran proyek infrastruktur untuk menggelembungkan harga (mark-up) dan menyalurkan sebagian dana tersebut ke rekening pribadinya.
- Sembrono (Recklessness):Â Tindakan yang tidak memperdulikan terhadap risiko atau konsekuensi dari tindakan yang dilakukan, walaupun pelaku menyadari betul kemungkinan efek negatif yang akan diterimanya. Ketidakpedulian ini juga berdampak terhadap masyarakat atau negara. Contoh: Seorang pejabat menyetujui penyaluran dana bantuan sosial tanpa memeriksa dokumen penerima, meskipun ia tahu ada kemungkinan data penerima yang tidak benar. Sebagai hasilnya, dana tersebut disalahgunakan oleh oknum lain.
- Motif Jahat (Malice): Tindakan yang diambil dengan tujuan negatif, biasanya untuk melukai atau merugikan orang lain. Contoh: Seorang pejabat tinggi negara memberikan kontrak pengadaan barang kepada perusahaan milik keluarganya, sekaligus memonopoli pasar agar pesaing tidak mendapatkan akses proyek serupa, sehingga terjadi konflik kepentingan yang disengaja.
- Kesadaran Penuh (Willful): Tindakan yang dilakukan secara sadar dan disengaja, tanpa adanya unsur paksaan dari luar. Keyakinan bahwa sistem hukum lemah, Pelaku merasa aman dari hukuman. Contoh: Seorang bupati memanfaatkan kekuasaannya untuk menyerahkan aset pemerintah kepada perusahaan swasta dengan imbalan suap. Ia melakukannya dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri.
- Pengetahuan (Knowledge): Kesadaran pelaku bahwa tindakan yang dilakukan adalah salah atau melanggar hukum, tetapi tetap dilakukan. Pemahaman atas celah hukum, Pelaku memahami bagaimana memanfaatkan aturan untuk melindungi tindakannya. Contoh: Seorang bendahara menyadari bahwa alokasi biaya perjalanan kerja akan dipakai untuk kepentingan pribadi atasannya. Walaupun menyadari bahwa tindakan itu keliru, ia tetap melanjutkan proses pencairan dana dan menyusun laporan yang tidak benar.
- Kelalaian (Negligence): Ketidakpedulian atau kegagalan untuk memenuhi standar tindakan yang diperlukan, yang mengakibatkan kerugian. Kurangnya kesadaran hukum membuat Pelaku tidak memahami sepenuhnya bahwa tindakan tertentu dapat dikategorikan sebagai korupsi. Contoh: Seorang pemimpin proyek kurang memperhatikan pekerjaan dari kontraktor, yang mengakibatkan pemalsuan dalam spesifikasi bahan bangunan (menggunakan material yang tidak memenuhi standar). Akibatnya, gedung yang dibangun runtuh, dan kerugian negara semakin besar.
Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi sering kali terjadi karena kombinasi niat buruk, kesempatan, dan kelemahan dalam sistem pengawasan. Oleh karena itu, elemen-elemen mens rea ini perlu dibuktikan secara jelas dalam proses hukum untuk memastikan keadilan bagi pelaku dan masyarakat dan diimbangi elemen Actus Reus.
Mengapa konsep Actus Reus dan Mens Rea penting diterapkan dalam pembuktian tindak pidana korupsi di Indonesia?
Konsep Actus Reus dan Mens Rea memiliki peran yang sangat krusial dalam pembuktian kejahatan korupsi di Indonesia, sebab kedua elemen ini menjadi landasan hukum pidana yang bertujuan untuk menjamin adanya keadilan dalam pertanggungjawaban pidana. Berikut alasan mengenai relevansi dan pentingnya penerapan unsur tersebut:
1. Pembuktian Kejahatan yang Jelas
- Actus Reus mengacu pada tindakan fisik atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa, misalnya penerimaan suap atau penggelapan dana publik.
- Mens Rea mengacu pada niat jahat atau sikap batin terdakwa saat melakukan tindak pidana tersebut. Dalam konteks korupsi, hal ini mencakup kesengajaan untuk merugikan keuangan negara atau memperoleh keuntungan pribadi dengan cara melawan hukum
2. Asas Kesalahan sebagai Dasar Pemidanaan
- Asas dalam hukum pidana menyatakan bahwa "tiada pidana tanpa kesalahan." Artinya, meskipun tindakan terdakwa memenuhi unsur Actus Reus, tetapi tanpa unsur Mens Rea, tindakannya tidak dapat dipidana.
- Konsep ini penting untuk membedakan antara tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan melanggar hukum dan tindakan yang terjadi akibat kelalaian yang tidak disengaja
3. Mencegah Kekaburan Norma Hukum
- Kehadiran kedua elemen ini menghindari munculnya ketidakjelasan norma atau penafsiran ganda dalam pelaksanaan hukum. Aturan hukum yang jelas dan tegas (lex certa) sangat penting agar proses pembuktian bisa berlangsung sesuai dengan asas keadilan dan prinsip-prinsip hukum pidana.
4. Penggunaan Alat Bukti
- Dalam tindak pidana korupsi, alat bukti sering kali melibatkan bukti elektronik, seperti penyadapan atau dokumen digital. Pembuktian Mens Rea menjadi kunci untuk membedakan antara tindakan yang dilakukan demi kepentingan umum (contoh, whistleblower) dengan niat jahat untuk kepentingan pribadi.
5. Pertanggungjawaban Pidana yang Berkeadilan
- Konsep Mens Rea menegaskan bahwa hanya individu yang benar-benar memiliki niat jahat yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Ini relevan dalam kasus di mana tindakan korupsi melibatkan lebih dari satu pihak dengan peran dan niat berbeda.
Penerapan konsep Actus Reus dan Mens Rea dalam kejahatan korupsi membantu menciptakan proses hukum yang transparan dan adil, serta menjamin bahwa hanya orang yang secara hukum bersalah yang dapat dihukum. Ini mencerminkan tujuan utama dari sistem hukum pidana untuk memastikan keadilan dan juga menjaga kepastian hukum.
Bagaimana penerapan konsep Actus Reus dan Mens Rea oleh aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dan penuntutan kasus korupsi di Indonesia?
Perbedaan penerapan Actus Reus dan Mens Rea memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap hasil vonis dalam kasus pidana, termasuk kasus korupsi, di Indonesia. Dalam kasus korupsi, apabila hanya Actus Reus yang terbukti tanpa adanya Mens Rea, pelaku dapat dilepaskan dari tanggung jawab pidana. Hal ini disebabkan prinsip hukum pidana yang mendasarkan pemidanaan pada pembuktian kedua elemen tersebut secara lengkap. Namun, jika Mens Rea terbukti, vonis dapat lebih berat karena menunjukkan bahwa pelaku tidak hanya melakukan tindakan terlarang, tetapi juga memiliki niat untuk melakukannya demi keuntungan tertentu. Kesalahan fokus pada salah satu elemen dapat menyebabkan vonis tidak sesuai harapan, baik terlalu ringan maupun tidak dapat dijatuhkan sama sekali.
Kasus PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) (dulu bernamakan PT Duta Graha Indah)
Pada 24 Juli 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan perusahaan PT NKE terlibat dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek pembangunan, salah satunya pembangunan RS Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009-2010. Penetapan perusahaan ini sebagai tersangka adalah hasil pengembangan dari penyidikan yang sama dengan tersangka Dudung Purwadi, Direktur Utama PT DGI dan Made Meregawa, pejabat pembuat komitmen. Perbuatan ini diduga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 25, 953 miliar.
PT NKE juga dianggap telah memperkaya diri sendiri atau sebagai sebuah perusahaan sejumlah Rp 24,778 miliar. Selain itu, diduga juga memperkaya Muhammad Nazarudin beserta perusahaan yang dipimpin olehnya, yaitu PT Anak Negeri, PT Anugerah Nusantara, dan Grup Permai sebanyak Rp 10,290 miliar. Atas tindakannya, jaksa KPK meminta PT NKE membayar denda sebesar Rp 1 miliar. PT NKE juga diminta membayar uang pengganti tambahan sejumlah Rp 188.732.756.416. Jaksa juga meminta agar hak PT NKE untuk ikut lelang proyek pemerintah dicabut selama dua tahun.
Vonis yang dijatuhkan hakim kepada PT NKE lebih rendah dari tuntutan jaksa. Terdapat beberapa alasan yang disampaikan oleh majelis hakim dalam putusan. Uang pengganti ditentukan berdasarkan keuntungan perusahaan dari delapan proyek yang didapat melalui bantuan Muhammad Nazaruddin, sebesar Rp 240 miliar. Setelah itu, dikurangi uang sebesar Rp 51,3 miliar yang telah disetorkan ke kas negara atas pelaksanaan putusan pengadilan terhadap terpidana mantan Direktur Utama PT DGI Dudung Purwadi. Majelis hakim juga mempertimbangkan replik dari penuntut umum bahwa uang pengganti Rp 188 miliar dikurangi dengan jumlah commitment fee yang dibayarkan terdakwa kepada Nazaruddin dan rekan-rekannya sekitar Rp 67 miliar.
Majelis hakim memvonis PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) denda Rp700 juta dalam agenda pembacaan vonis di PN Tipikor Jakarta. PT NKE terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus lelang proyek pembangunan rumah sakit khusus infeksi dan pariwisata Universitas Udayana tahun anggaran 2009-2010. Selain hukuman uang Rp700 juta, hakim juga memerintahkan perusahaan untuk membayar ganti rugi sebesar Rp85 miliar. Jika pembayaran denda itu gagal, aset perusahaan akan diambil alih setelah satu bulan keputusan sah. Hukuman lain yang diberikan majelis hakim yang dipimpin Diah kepada NKE adalah pencabutan hak perusahaan mengikuti lelang proyek pemerintah selama enam bulan.
Dapat disimpulkan, PT NKE didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Daftar Pustaka
Mallarangeng, A. B., Mustari, Firman, & Ali, I. (2023). Pembuktian Unsur Niat Dikaitkan Dengan Unsur Mens Rea Dalam Tindak Pidana Korupsi. Legal Journal of Law, 2 (2), 11-24. Â https://jurnal.lamaddukelleng.ac.id/index.php/legal/article/view/69
Prasetyo, Aji, E., Lasmadi, S., & Erwin. (2024). Pertanggungjawaban Pidana Dan Penerapan Mens Rea Dalam Tindak Pidana Intersepsi Di Indonesia. Jurnal Hukum Responsif, 15 (2), 303-304. https://ejournalugj.com/index.php/Responsif/article/view/9467/4231
Adhari, A. & Joshua, B. E. (2021). Analisis Ketiadaan Niat (Mens Rea) Dalam Pemidanaan Pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 844/PID.B/2019/PN.JKT.PST. Jurnal Hukum Adigama, Vol 4 Nomo, 3930--3952. https://journal.untar.ac.id/index.php/adigama/article/download/17975/9947
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H