Lalu, penyebab yang ke-2 adalah Kehilangan.Â
Tidak mudah untukku menulis ini. Tapi akan kucoba.Â
2021 lalu, aku telah kehilangan Ayahku. Seseorang yang menjadi pedoman hidupku. Seseorang yang bisa kuajak diskusi tentang politik dan kehidupan itu pergi. Menyisakan luka yang cukup dalam hingga kini.Â
Atas kepergiannya, ibuku kini sendirian. Berat untukku dan untuknya. Aku mulai merasakan ada tanggung jawab atas kebahagiaan ibuku. Aku mulai membantu ekonominya meski tidak seberapa. Aku mulai merasakan cemas atas kebahagiaan ibuku.Â
"Bagaimana kondisinya jika dia sendirian saat aku pergi bekerja, bagaimana caraku bisa membuatnya senang, bagaimana jika nanti aku menikah, bagaimana aku mengurus kesehatannya, dll"Â
Pertanyaan itu terus bertubi-tubi hingga membuatku cemas berlarut.Â
Kehilangan ayah yang menjadi penopang nafkah kami tidaklah mudah. Aku mulai merasakan ada tanggung jawabku disana untuk menggantikan posisinya sekarang. Aku yang harus mulai mencari rupiah demi bisa membahagiakan ibuku.Â
Kedua penyebab itu menjadi emosiku bertumpuk menjadi luka dan kecemasan.Â
Aku mulai berdamai dengan anxiety, meski harus berjuang dengan menangis setiap saat secara tiba-tiba. Mari berproses untuk lebih baik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H