Mohon tunggu...
Nazmi Syahida
Nazmi Syahida Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Learning to love the process

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Trauma dan Kehilangan Penyebab Munculnya Anxiety

27 Februari 2024   16:01 Diperbarui: 27 Februari 2024   18:58 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Sepekan lalu, akhirnya aku pergi ke psikiater untuk mendapatkan diagnosa terbaru dari permasalahan yang terjadi padaku setahun lalu. Hasilnya tetap sama, bahkan sepertinya bertambah parah, yaitu mixed anxiety and deppresive disorder. 

Aku harus mulai mendapatkan pengobatan minimal selama 6 bulan, dan melakukan konsultasi setiap 10 hari sekali. Membayangkannya saja sudah melelahkan bukan? 

Tapi entah kenapa ada rasa syukur atas hal ini. Mungkin seperti perasaan lega karena telah bercerita pada psikiater dan bukan lagi self diagnosis. Ya, itu lebih baik. 

Penyebab kondisi mentalku memburuk ada 2 hal dalam kasusku, yaitu trauma dan kehilangan di masa lalu. 

Trauma ini ternyata menurutku sesuatu yang lumayan sepele jika dibayangkan. Dulu saat kecil tepatnya sejak duduk di sekolah dasar, aku selalu dibanding-bandingkan dengan ke dua kakaku yang pintar, sedangkan aku tidak sepintar mereka yang selalu mendapat juara 1 di kelas. Keduanya bahkan aktif mengikuti lomba di sekolah, ataupun menjadi perwakilan sekolah. 

Sebenarnya bukan aku saja, banyak dari setiap anak yang semasa kecilnya sering dibanding-bandingkan dengan kakak, bahkan tetangga, benar kan? 

Mungkin bagiku di masa lalu, itu adalah luka yang hingga kini tumbuh membesar. Sebelum akhirnya aku pun mendapat juara 1, aku sempat mendapat nilai 0 saat kelas 1 SD. Seingatku, aku hanya mengisi beberapa jawaban salah dan 90% sisanya aku mengosongkan jawabanku. Bahkan, aku sempat tidak mau sekolah sampai menangis sesampainya di sekolah. Aku mengingatnya cukup jelas, karena hal itu cukup memalukan bagiku. 

Tapi entah karena hal apa, aku mulai berubah  dan belajar dengan tekun. Aku mulai mengejar ketinggalan, secara perlahan aku masuk rangking 5 besar di kelas, lalu 3 besar, dan akhirnya dapat juara 1. Aku juga mengikuti beberapa perlombaan di kelas. Meski tidak mendapat juara, tapi cukup memuaskan untukku. 

Perasaan ingin membuktikan nilaiku bisa lebih besar dari kakaku masih bertahan hingga kuliah. Aku bertekad mendapat IPK melebihi nilai-nilai mereka. Ya, akhirnya hal itu terwujud. Tanpa disadari, aku berjuang atas hal itu. 

Bahkan, aku bergabung dengan OSIS, aktif di BEM kampus pun karena aku melihat ke dua kakaku. Mereka bukan hanya pandai dalam nilai akademik, tetapi non akademik. Keduanya kerap menjadi leader dalam suatu kelompok, padahal mereka seorang perempuan. 

Aku tentu tak mau kalah. Masih kuikuti jejak kakak-kakaku. Aktif di organisasi, menumpukan berbagai sertifikat, hingga bisa menjadi leader. Sebetulnya, semua hal itu adalah nilai positif bukan? Tapi tanpa disadari ada luka yang tadinya kecil malah membesar. 

Lalu, penyebab yang ke-2 adalah Kehilangan. 

Tidak mudah untukku menulis ini. Tapi akan kucoba. 

2021 lalu, aku telah kehilangan Ayahku. Seseorang yang menjadi pedoman hidupku. Seseorang yang bisa kuajak diskusi tentang politik dan kehidupan itu pergi. Menyisakan luka yang cukup dalam hingga kini. 

Atas kepergiannya, ibuku kini sendirian. Berat untukku dan untuknya. Aku mulai merasakan ada tanggung jawab atas kebahagiaan ibuku. Aku mulai membantu ekonominya meski tidak seberapa. Aku mulai merasakan cemas atas kebahagiaan ibuku. 

"Bagaimana kondisinya jika dia sendirian saat aku pergi bekerja, bagaimana caraku bisa membuatnya senang, bagaimana jika nanti aku menikah, bagaimana aku mengurus kesehatannya, dll" 

Pertanyaan itu terus bertubi-tubi hingga membuatku cemas berlarut. 

Kehilangan ayah yang menjadi penopang nafkah kami tidaklah mudah. Aku mulai merasakan ada tanggung jawabku disana untuk menggantikan posisinya sekarang. Aku yang harus mulai mencari rupiah demi bisa membahagiakan ibuku. 

Kedua penyebab itu menjadi emosiku bertumpuk menjadi luka dan kecemasan. 

Aku mulai berdamai dengan anxiety, meski harus berjuang dengan menangis setiap saat secara tiba-tiba. Mari berproses untuk lebih baik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun