Mentari masih malu menampakkan diri. Hanya rembulan yang tersenyum di pagi itu. Beberapa jama'ah masjid masih tenang lantunan pengajian. Dan di teras masjid, ada Ani dan Nana yang istirahat setelah jogging.Â
"Hhh, capek juga ya". Ucap Ani
"Bangett, padahal masih jam setengah 6". Balas Nana
"Kita ngapain nih? Ngga asik kalo cuma duduk-duduk doang". Ujar Ani sembari melihat jamaah mesjid dari luar.Â
Ani dan Nana terdiam sejenak. Mereka saling bertatapan. Dan mata Ani mengarah ke kotak infaq yang terletak di luar mesjid. Seolah paham dengan kode yang di beri Ani, Nana pun bersuara
"Kotak infaq nya diapain? Kita curi? Nanti digebukin gimana?"Â
"Ya enggak lah, mumpung kotaknya infaq nya diluar, kita bawa aja ke belakang taman, disana kan ada beberapa kuburan hehe". jawab Ani melepas keraguan Nana.Â
"Terus?". Nana masih belum bisa mencerna rencana Ani
"Kayak prank gitu loh Na, nanti jama'ah bingung kenapa kotak infaq ada di kuburan, nanti mereka pasti mikirnya ada hantu". Â
Nana mengangguk setuju dengan penjelasan Ani. Dan mereka pun segera melancarkan aksinya. Nana mengawasi sekitar, dan Ani mengambil kotak infaq.Â
Mereka segera pergi menuju ke tempat pemakaman yang tidak jauh dari mesjid. Sembari menunggu jama'ah mesjid keluar, mereka memutuskan pergi ke taman yang tidak jauh dari masjid.Â
Mentari mulai tersenyum meski malu malu. Jama'ah masjid sudah mulai keluar dari mesjid. Dan Pak Hidayah, Ketua RT sudah menggenggam lembaran uang untuk di masukkan ke infaq. Namun, ia tidak melihat ada kotak infaq disana.Â
"Asrii, dimana kotak infaq nya? Apakah sudah dipindahkan?" Tanya Pak Hidayah pada Pak Asri, pengurus masjid tersebut.
"Tidak pak, kotak infaq biasanya selalu disini". Sanggah Pak Asri.Â
Jama'ah lain yang ingin berinfak juga kebingungan. Banyak yang bingung dengan hilangnya kotak infaq secara tiba-tiba. Beberapa jama'ah mulai heboh. Ada yang bilang dicuri, dipindahkan, bahkan ada yang bilang dicuri tuyul.Â
Ani dan Nana tertawa menyaksikan kejadian tersebut dari jauh.Â
"Panik ngga tuh". Ujar Nana
Dan mereka tertawa riang kembaki.Â
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya dengan pakaian kokonya berlari ke arah mesjid. "di dekat sana ada kotak infaq." Ujarnya sambil menormalkan deru napasnya.Â
"Dimana pak? Jelas jelas dong". Balas salah seorang warga.
"Di kuburan dekat taman". Jawab bapak tersebut sembari menunjuk ke arah kuburan.Â
Dan jama'ah masjid yang didominasi pria paruh baya pergi menuju ke lokasi yang ditunjukkan.Â
Ani dan Nana yang melihat itu, segera mengikuti rombongan jama'ah. Tidak sabar untuk mendengar warga yang kebingungan dan ketakutan.Â
"Loh? Kok pindah sih? Ke kuburan juga". Tanya Pak Hidayah kebingungan. Dan segera mengangkat kotak infaq tersebut menuju masjid kembali.
Masyarakat yang menyaksikan itu menjadi panik. Beragam kalimat yang keluar dari mulut bapak bapak itu. Ani dan Nana kembali sembari menahan senyum jahilnya dan menuju taman.Â
Dan siapa duga? Saat kejadian tadj ada seorang anak kecil yang melihat kejadian tersebut. Ilyas. Itu namanya.
Saat Ilyas kembali dari kamar kecil, ia melihat dua gadis remaja mengangkat kotak infaq tersebut.
Ilyas pun mengikuti Ani dan Nana ke taman. Meskipun ia masih kecil, ia cukup paham bahwa tidak boleh menjadi orang jahil.Â
"Kak, hmm masalah kotak infaq tadi ulah kakak ya?". Tanya Ilyas lembut.
"Iya"
"Ngga"
Ani dan Nana menjawab dengan serentak namun jawabannya tidak serasi. Nana keceplosan meng"iya"kan pertanyaan dari Ilyas.Â
"Kata ayah, ngga boleh jadi jahil kak, apalagi sampai buat resah orang orang". Ilyas berkata dengan lembut namun cukul menusuk bagi Ani dan Nana.Â
"Jadi kotak infaq itu memang kakak yang pindahin kan?". Tanya Ilyas lagi. Ani dan Nana pun hanya memberi anggukan. Di taman yang masih sepi itu, mereka merasa bersalah dan malu karena diingatkan oleh seorang anak kecil. Disaat remaja sepertinya jahil, ada anak yang dididik cukup baik oleh orang tuanya. Ani dan Nana sangat malu.
"Kakak ngga mau mintak maaf? Itu Ayah sama Pak Asri". Ucap Ilyas menunjuk Pak Hidayah dan Pak Asri yang berjalan menuju taman.
"Ilyas, yuk pulang". Ajak pak Hidayah pada Ilyas.Â
Ani dan Nana masih bungkam. Terlalu malu untuk berkata. Namun sebuah kesalahan harus lah tetap di pertanggung jawabkan. Tidak ada kata terlambat untuk meminta maaf. Meminta maaf bukan berarti kita mempunyai terlalu rendah, tetapi membuktikan bahwa kita mampu mengalahkan ego yang merasuki tubuh kita.
"Pak, sebelum nya kami meminta maaf sebesar-besarnya, sebenarnya kotak infaq yang tiba tiba berada di kuburan itu salah kami. Kami tidak ingin mencuri. Hanya ingin bersenang-senang di pagi ini. Sebenarnya sangat salah karena menjadikan kepanikan warga sebagai sumber untuk senang, kami sangat merasa bersalah untuk itu pak". Ucap Nana bersungguh sungguh atas ucapan maafnya.
"HOO, KAMU YA?". suara Pak Asri sedikit meninggi.Â
"Tahan Ri". Ucap Pak Hidayah.
"Selagi kamu tau kesalahan kamu, sadar bahwa itu salah, dan berjanji tidak akan mengulangi nya, saya maafkan. Saya cukup senang kalian mau mengaku atas apa yang kalian lakukan. Yaudah, saya maafkan, tapi jangan diulang ya". Ucap pak Hidayah tersenyum tipis.Â
"Terimakasih pak". ucap Ani dan Nana kompak.
Pak RT, Pak Asri, Ilyas segera berbalik pulang. Dan begitu juga dengan ani dan Nana. Pulang dalam rasa yang masih bersalahÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H