Pemerintah kembali melontarkan gagasan kebijakan yang memantik perdebatan: libur sekolah selama satu bulan penuh pada Ramadhan 2025. Usulan ini mendapat respons beragam dari berbagai kalangan, mulai dari orang tua, tenaga pendidik, hingga pakar pendidikan. Sebagian menilai langkah ini sebagai bentuk penghormatan terhadap umat Muslim yang menjalankan ibadah puasa. Namun, ada pula yang mempertanyakan dampaknya terhadap efektivitas pembelajaran dan kelangsungan akademik siswa. Â
Lantas, apakah kebijakan ini merupakan langkah strategis atau justru kebijakan populis yang berisiko menimbulkan masalah baru?
Manfaat Libur Sebulan: Waktu Optimal untuk Beribadah Â
Pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa libur panjang selama Ramadhan memungkinkan siswa lebih fokus dalam menjalankan ibadah tanpa terganggu oleh tuntutan akademik. Puasa sering kali memengaruhi tingkat energi dan konsentrasi seseorang, sehingga mengurangi beban akademik dinilai sebagai langkah bijak. Â
Selain itu, momentum ini bisa dimanfaatkan untuk memperkuat pemahaman agama di lingkungan keluarga. Siswa memiliki lebih banyak waktu untuk mengikuti kegiatan keagamaan, seperti kajian Islam, tadarus Al-Qur'an, dan berbagai aktivitas yang mendukung penguatan nilai-nilai spiritual. Â
Jika berkaca pada beberapa negara mayoritas Muslim seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, mereka telah menerapkan sistem libur panjang saat Ramadhan. Jika Indonesia mengambil kebijakan serupa, bukan tidak mungkin hal ini akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan antara pendidikan dan kehidupan keagamaan siswa. Â
Namun, apakah manfaat ini cukup untuk mengorbankan satu bulan penuh dalam kalender akademik? Apakah kebijakan ini benar-benar solusi atau hanya reaksi sesaat?
Risiko dan Tantangan: Gangguan pada Kurikulum dan Disiplin BelajarÂ
Di sisi lain, kebijakan ini juga menuai kritik karena dinilai berpotensi mengganggu jalannya sistem pendidikan nasional. Dalam kurikulum saat ini, setiap semester memiliki target materi yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Jika satu bulan penuh siswa tidak menerima pembelajaran formal, bagaimana cara mengejar ketertinggalan materi? Â
Salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah pemberian tugas tambahan setelah liburan, yang justru bisa membebani siswa dan tenaga pengajar. Jika beban akademik menumpuk usai Ramadhan, apakah itu tidak bertentangan dengan tujuan awal kebijakan ini, yakni memberikan kenyamanan bagi siswa selama bulan puasa? Â
Selain itu, tidak semua siswa menjalankan ibadah puasa. Bagi mereka yang ingin tetap produktif, libur panjang justru bisa menjadi bumerang, yang mengarah pada penurunan motivasi belajar. Jika tidak ada mekanisme pengganti yang jelas, risiko siswa menjadi kurang disiplin dalam belajar semakin besar. Â Ditambah lagi, tidak semua orang tua siap mendampingi anak-anak mereka untuk tetap belajar di rumah selama liburan panjang.
Dari sisi tenaga pengajar, kebijakan ini juga menambah tantangan tersendiri. Guru harus menyusun strategi baru agar kurikulum tetap berjalan sesuai target. Beberapa pihak mengusulkan pembelajaran daring sebagai solusi alternatif, tetapi efektivitasnya masih dipertanyakan, terutama bagi siswa di daerah dengan akses internet terbatas.
Solusi Alternatif: Fleksibilitas Jam Belajar Selama RamadhanÂ
Alih-alih menerapkan libur penuh, pemerintah bisa mempertimbangkan opsi yang lebih fleksibel. Salah satu solusinya adalah mengurangi durasi jam belajar selama Ramadhan tanpa benar-benar menghentikan kegiatan akademik. Misalnya, sekolah tetap berjalan dengan jadwal yang lebih singkat, sehingga siswa tetap menerima pembelajaran tanpa merasa terbebani. Hal ini akan memungkinkan siswa untuk tetap mendapatkan pendidikan yang berkualitas tanpa harus mengorbankan waktu ibadah mereka.
Selain itu, metode pembelajaran berbasis proyek atau tugas mandiri bisa menjadi alternatif agar siswa tetap memiliki kegiatan akademik selama bulan puasa. Dengan pendekatan ini, mereka tetap terlibat dalam aktivitas belajar tanpa harus datang ke sekolah setiap hari. Pemerintah juga perlu memperkuat infrastruktur pembelajaran daring agar siswa tetap bisa mengakses materi pendidikan dari rumah. Jika kebijakan libur panjang ini benar-benar ingin diterapkan, perlu ada strategi matang untuk memastikan kualitas pendidikan tetap terjaga.
Kesimpulan: Bijak dalam Menentukan KebijakanÂ
Kebijakan libur sebulan penuh di bulan Ramadhan memang memiliki tujuan baik, yakni memberikan kenyamanan bagi siswa Muslim dalam menjalankan ibadah. Namun, dampaknya terhadap kelangsungan akademik juga harus dipertimbangkan dengan cermat. Â
Alih-alih menerapkan kebijakan yang berpotensi menghambat pencapaian kurikulum, pemerintah sebaiknya mencari solusi yang lebih seimbang. Fleksibilitas jam belajar atau metode pembelajaran berbasis tugas bisa menjadi alternatif yang lebih efektif dibandingkan libur penuh. Â
Pada akhirnya, kebijakan ini lebih dari sekadar keputusan untuk memberikan libur atau tidak. Ini adalah soal bagaimana negara dapat memastikan pendidikan tetap menjadi prioritas tanpa mengabaikan aspek sosial dan keagamaan. Keputusan yang diambil sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan aspek keagamaan, tetapi juga memastikan bahwa sistem pendidikan tetap berjalan dengan baik. Jika tidak dikelola dengan bijak, kebijakan ini bisa menjadi bumerang yang justru merugikan siswa di masa depan. Â
Lantas, bagaimana menurut Anda? Apakah libur sebulan penuh selama Ramadhan adalah keputusan yang tepat, atau justru berpotensi menimbulkan masalah baru?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI