Mohon tunggu...
Noura Nahdliyah
Noura Nahdliyah Mohon Tunggu... Guru -

Alumnus Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Jago bermimpi. Penikmat Novel. Penikmat Film. Suka menulis. Selalu iri dengan mereka-mereka yang pandai menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepatu Zahid

27 Januari 2018   20:13 Diperbarui: 27 Januari 2018   20:38 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu Zahid pulang ke rumah dengan wajah sedih. Ia melempar sepatu yang baru saja ia lepas. Ibu yang sedang memasak di dapur kaget akibat suara dari lemparan sepatu tersebut.

"Siapa yang masuk rumah ndak pakai salam, ya?", tanya ibu dari dapur. Ibu berjalan menghampiri Zahid yang duduk di muka pintu.

"Ayo dilepas bajunya, mas. Sepatu yang dilempar itu jelek loh. Coba ditaruh di tempat yang benar pasti rapi", kata Ibu.

Zahid menjabat tangan Ibu dan mengucapkan salam. "Assalamualaikum, Ibu". Setelah itu ia menempatkan sepatunya di rak sepatu dan melepas tasnya dengan muka cemberut. Setelah cuci kaki dan tangan, ia berganti pakaian.

Ibu merasa ada yang aneh dengan anak laki-lakinya itu. Setelah menyiapkan makan siang untuk Zahid, Ibu memanggilnya. Zahid kemudian duduk di kursi makan dan siap melahap makan siangnya. Namun, lagi-lagi ada yang tidak beres dengan wajahnya.

"Ada apa, mas? Bagaimana sekolahnya hari ini? Menyenangkan bukan? Ibu lihat ada yang berbeda dengan wajahnya mas Zahid. Coba cerita sama Ibu." Ibu mencoba mendekati Zahid.

"Bu, Zahid mau sepatu baru.", ujarnya.

"Loh, kan liburan kemarin Ayah sudah membelikannya untukmu"

"Tapi itu kan liburan kemarin, Bu. Sudah lama", rengek Zahid.

"Sepatunya mas rusak?", tanya Ibu.

"Ndak."

"Lalu?"

"Bu, Zahid pengen seperti teman-teman. Setiap tahun mereka berganti sepatu, tas, seragam. Sedangkan Zahid, kalau tidak benar-benar rusak tidak akan dibelikan. Zahid malu, Bu". Ia menangis.

Disaat yang sama, Ayah datang.

"Alhamdulillah Ayah sudah datang. Ayo kita sapa Ayah.", ajak Ibu.

"Assalamualaikum, Ayah. Selamat Siang", sapa mereka bersamaan.

Zahid menggandeng tangan Ayahnya dan menggiringnya duduk di meja makan.

"Ayah, Zahid mau cerita", kata Zahid.

"Sebentar, Ayah cuci tangan dan kaki dulu ya", jawab Ayah.

Andi menunggu Ayahnya di meja makan.

Setelah Ayahnya kembali, Zahid menatap lekat mata Ayahnya. Ibu hanya melirik mereka. Zahid kemudian menceritakan cerita yang sama kepada Ayah. Ayah tersenyum lalu memegang pundak anak laki-lakinya itu.

"Nak, dengarkan Ayah. Ada dua macam orang di dunia ini. Yang pertama adalah orang yang butuh. Yang kedua adalah orang yang ingin. Kebutuhan harus dipenuhi karena memang sangat dibutuhkan. 

Jika tidak dipenuhi maka ada salah satu yang harus menanggung akibatnya. Misalnya makanan. Kita butuh makan. Jika tidak dipenuhi maka kita kelaparan. Kita butuh sekolah. Jika tidak dipenuhi maka kita tidak memiliki ilmu yang cukup untuk menjalani kehidupan kita sehari-hari. Nah, selanjutnya adalah keinginan. 

Kita menginginkan untuk memiliki sesuatu. Namun, belum tentu kita benar-benar membutuhkannya. Contohnya ketika Ayah pergi jalan-jalan ke pasar dan sedang ada diskon alat pancing besar-besaran. 

Ayah menginginkannya. Namun, Ayah tau jika alat pancing di rumah masih bagus dan bisa dipakai. Ayah tidak akan menghabiskan waktu Ayah untuk antri membeli alat pancing diskonan karena Ayah memang belum membutuhkannya. Sekarang Ayah tanya, Zahid butuh sepatu atau hanya ingin seperti teman-teman?"

Zahid terdiam. Nampaknya ia berfikir.

"Ya, Ayah. Zahid mengerti. Tapi, Yah...", ia masih kurang puas.

"Besok pagi libur, kan? Ayo ikut Ayah". Ayah mengajak Zahid ke suatu tempat.

Malam itu, Zahid tidak dapat tidur. Ia penasaran akan dibawa kemana ia oleh Ayah. Apakah ia akan diajak ke Toko Sepatu atau kemana. Berbagai bayangan tempat berkeliling di kepalanya.

Pagi yang cerah, Ayah menaiki motornya. Zahid sudah siap di belakang Ayah dengan senyum ceria. Dari dalam, Ibu keluar sembari membawa kardus berisi buku bacaan yang sudah lama tidak dibaca. Ayah menerima kardus dari Ibu.

"Sampaikan salam Ibu ke Bu Rosmala ya, Ayah. Ibu belum bisa ikut ke sana hari ini".

Ayah mengangguk dan tersenyum.

Zahid heran. Bu Rosmala adalah pemilik rumah baca di samping terminal Joyoboyo. Setiap bulan, keluarga Zahid memang datang ke sana untuk menyumbangkan buku-buku atau uang. 

Tidak jarang mereka juga membawa makanan dan pakaian bekas. Andi Kaget. Untuk apa Ayah mengajaknya ke sana. Padahal minggu kemarin mereka sudah ke sana. Dalam pikirannya, ia membayangkan Ayah akan mengajaknya ke toko sepatu.

Sesampainya di rumah baca, Ayah dan Zahid segera menemui Bu Rosmala dan memberikan buku-buku itu. Kemudian Zahid bermain dengan anak-anak jalanan yang memang sudah dikenalnya. 

Mereka biasanya belajar bersama di rumah baca milik Bu Rosmala tersebut. Setelah puas bermain, Ayah mengajak Zahid duduk di bawah pohon yang menghadap ke arah saung tempat anak-anak tersebut belajar.

"Nak, coba lihat mereka. Mereka butuh ilmu tapi mereka tidak punya cukup uang untuk mencari ilmu di sekolah. Karena merasa butuh, mereka datang kemari untuk mendapatkan ilmu yang mereka butuhkan. 

Di sini gratis. Mereka tidak perlu biaya untuk bisa membaca dan menulis. Sekarang coba Zahid lihat baju mereka. Apakah mereka tidak ingin baju bagus dan mahal? Mereka ingin. Tapi mereka belum butuh itu karena mereka sudah punya baju layak pakai yang setiap kali disumbangkan di rumah baca ini oleh relawan-relawan. 

Nah, Ayah tanya lagi. Zahid butuh sepatu baru atau ingin seperti teman-teman yang punya sepatu baru?". Ayah menegaskan.

"Ya, Ayah. Zahid paham". Ia mengangguk dan tersenyum.

"Ayo, Ayah. Kita pulang. Zahid mau bercerita pada Ibu tentang kegiatan kita hari ini", lanjutnya dengan semangat.

"Zahid masih ingin Ayah belikan sepatu buat Zahid?", tanya Ayah sekali lagi. "Mampir ke toko sebelah, yuk!", goda Ayah.

"Tidak, Ayah. Nanti saja kalau sepatu Zahid sudah berlubang". Zahid tertawa riang.

Ayah memeluk anak laki-lakinya itu. Mereka pulang dengan tertawa riang.

Noura N

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun