Mohon tunggu...
MOH NUR NAWAWI
MOH NUR NAWAWI Mohon Tunggu... Penulis - Founder Surenesia dan Nawanesia

Seorang pecinta dunia maritim / Pelayan dan Pengabdi Masyarakat / suka menulis, bercerita dan berdiskusi / Hubungi saya di @nawawi_indonesia dan nawawisurenesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pengawasan Terintegrasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia

29 Januari 2025   13:08 Diperbarui: 31 Januari 2025   12:18 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pesisir dan pulau2 kecil di Indonesia (sumber: SOTHEBY'S CONCIERGE AUCTIONS via KOMPAS.com)

Pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia merupakan warisan alam yang sangat berharga, baik dari segi keanekaragaman hayati, sumber daya alam, maupun budaya yang dimiliki oleh masyarakat pesisir.

Namun, kondisi pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia menghadapi berbagai permasalahan serius, mulai dari kerusakan ekosistem, eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, hingga praktik kejahatan lingkungan seperti penangkapan ikan ilegal, perusakan terumbu karang, dan pencemaran. 

Dalam konteks ini, pengawasan dan pengendalian yang efektif menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan pesisir dan pulau-pulau kecil, sekaligus menciptakan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya dan pelestarian lingkungan.

Melihat Permasalahan di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki garis pantai lebih dari 80.000 km dan lebih dari 17.000 pulau, yang sebagian besar berada di wilayah pesisir. Potensi alam yang besar ini seharusnya menjadi kekuatan ekonomi bagi masyarakat pesisir.

Namun, realitasnya pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia kini mengalami berbagai tekanan, baik dari sisi ekologis maupun sosial-ekonomi.Pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia mendapat berbagai ancaman permasalahan yang perlu dilihat secara komperehensif dengan paradigma multi dimensional.

1. Kerusakan Ekosistem Pesisir dan Lautan

Ekosistem pesisir merupakan habitat bagi beragam flora dan fauna perairan, dimana perlu adanya keseimbangan dalam pengelolaannya, karena kerusakan berdampak banyak bagi sumberdaya aquatic yang ada. Kerusakan ekosistem pesisir, seperti terumbu karang, mangrove, dan padang lamun, terjadi akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali.

Eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam seperti penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, perusakan terumbu karang oleh penambang batu karang, dan konversi lahan mangrove untuk pembangunan atau budidaya tambak ikan, memberikan dampak yang luar biasa terhadap keseimbangan ekosistem.

Menurut laporan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, sekitar 20% dari terumbu karang di Indonesia telah rusak parah, dan lebih dari 50% ekosistem mangrove di Indonesia mengalami degradasi.

2. Pencemaran Laut dan Sampah Plastik

Pencemaran laut juga menjadi ancaman besar bagi pesisir dan pulau-pulau kecil. Indonesia, yang dikenal sebagai negara dengan tingkat produksi sampah plastik terbesar kedua di dunia, menghadapi tantangan besar dalam mengatasi pencemaran laut yang semakin parah.

Pencemaran laut akibat sampah plastik menjadi salah satu isu utama di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2023, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China, dengan total 3,2 juta ton sampah plastik diperkirakan masuk ke laut setiap tahunnya.

Bali, Jakarta, dan Sulawesi Selatan merupakan daerah yang mengalami pencemaran laut yang parah, dengan sampah plastik yang mengapung di sepanjang pesisir.

Di Bali, misalnya, sampah plastik menjadi masalah serius di sepanjang pantai dan sekitar kawasan wisata, berdampak pada kualitas lingkungan laut dan pariwisata itu sendiri.

PBB (UNEP) melaporkan bahwa sekitar 60-80% sampah plastik di laut Indonesia berasal dari sampah domestik dan aktivitas perikanan yang tidak dikelola dengan baik.

3. Pelanggaran Perizinan dan Eksploitasi Sumber Daya Alam

Kasus pelanggaran perizinan di pesisir Indonesia sering kali berhubungan dengan konversi lahan pesisir menjadi tambak, pembangunan infrastruktur, atau eksploitasi sumber daya alam.

Berdasarkan Laporan KLHK 2023, terdapat sekitar 400 pelanggaran izin yang melibatkan pengusaha yang melakukan aktivitas tambak atau pembangunan infrastuktur yang tidak sesuai dengan izin lingkungan di sepanjang pesisir dan pulau-pulau kecil.

Di daerah Sulawesi, Kalimantan, dan Papua, pelanggaran terhadap izin alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak udang atau budidaya perikanan yang tidak ramah lingkungan sering terjadi. Hal ini merusak ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai penyerap karbon dan pelindung dari abrasi.

4. Budidaya Tidak Ramah Lingkungan

Budidaya perikanan dan udang yang tidak ramah lingkungan telah merusak ekosistem pesisir, terutama melalui konversi mangrove menjadi tambak dan penggunaan bahan kimia yang berlebihan.

WWF Indonesia pada laporan 2023 mengungkapkan bahwa sekitar 40% dari tambak udang di Indonesia berlokasi di kawasan mangrove yang mengalami degradasi, dan praktik budidaya yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan antibiotik berlebihan, menyebabkan pencemaran air dan kerusakan habitat alami.

Banyak tambak yang menggunakan bahan kimia untuk meningkatkan hasil budidaya, namun tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap kualitas air dan tanah di sekitar area budidaya.

5. Pariwisata Merusak Ekosistem Laut

Pariwisata di kawasan pesisir sering kali berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan, terutama terumbu karang, akibat dari aktivitas wisata yang tidak terkelola dengan baik. Bali dan Raja Ampat adalah dua destinasi utama yang mengalami kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh pariwisata masif.

Laporan WWF Indonesia 2023 menunjukkan bahwa sekitar 30% terumbu karang di Raja Ampat mengalami kerusakan akibat aktivitas wisata seperti penyelaman dan snorkeling yang tidak diawasi, serta pembangunan hotel dan fasilitas pariwisata yang mengabaikan prinsip-prinsip ekosistem berbasis keberlanjutan.

Selain itu, sampah wisatawan yang dibuang sembarangan turut memperburuk kualitas lingkungan.

6. Pemagaran Laut dan Konversi Lahan Pesisir

Pemagaran laut merupakan aktivitas menutup kases sebuah wilayah perairan untuk kepentingan tertentu, seperti untuk pengembangan usaha budidaya atau untuk reklamasi alami hingga privatisasi perairan, Kegiatan ini banyak dilakukan masyarkat kelompok tertentu terutama oleh pengusaha tambak atau pengelola kawasan pesisir untuk mengklaim wilayah laut sebagai hak milik atau untuk kepentingan ekonomi.

Pemagaran laut sering berdampak pada penurunan kualitas air, gangguan pada arus laut, dan rusaknya habitat biota laut.

Laporan Kementerian kelautan dan perikanan Tahun 2024 mengungkapkan bahwa terdapat banyak kasus pemagaran laut hingga sekitar 250 kasus pemagaran laut ilegal yang ditemukan di pesisir pantai wilayah Indonesia yang dilakukan tanpa izin dan berpotensi merusak ekosistem pesisir serta mengganggu kehidupan nelayan tradisional, dan salah satunya kasus yang viral akhir akhir ini yaitu kasus pemagaran lebih dari 30 km perairan utara Tangerang Banten

7. Reklamasi Pesisir

Reklamasi pesisir untuk tujuan pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan pelabuhan, kawasan komersial, dan perumahan, telah menyebabkan kerusakan ekologis yang signifikan.

Reklamasi Teluk Jakarta, yang telah menjadi sorotan publik, misalnya, berpotensi mengubah ekosistem pesisir yang penting, merusak mangrove, dan menyebabkan sedimentasi yang mengancam kehidupan terumbu karang di sekitar pesisir.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2022 mencatat bahwa sekitar 2.000 hektar lahan pesisir di Jakarta sudah mengalami reklamasi, sementara dampak ekologisnya, seperti hilangnya habitat mangrove dan penurunan kualitas air laut, sangat merugikan keberlanjutan ekosistem pesisir.

8. Perusakan Hutan Mangrove

Mangrove di Indonesia, yang memiliki peran penting dalam melindungi pesisir dari abrasi dan sebagai tempat berkembang biak bagi berbagai spesies laut, terus mengalami kerusakan.

Berdasarkan laporan WWF Indonesia 2023, sekitar 50.000 hektar mangrove hilang setiap tahunnya, terutama di Kalimantan dan Sumatra, akibat konversi lahan untuk tambak udang, perkebunan kelapa sawit, dan pembangunan infrastruktur.

Mangrove yang rusak menyebabkan hilangnya fungsi ekosistem penting yang menopang kehidupan pesisir dan meningkatkan kerentanan pesisir terhadap dampak perubahan iklim, seperti naiknya permukaan air laut.

9. Kekerasan Sosial dan Konflik Sumber Daya Alam

Konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam pesisir juga menjadi masalah yang semakin meningkat.

Di wilayah Sulawesi dan Papua, terdapat konflik antara masyarakat adat dan perusahaan tambak udang yang merusak lahan mereka, serta tidak memperhatikan hak-hak lokal atas sumber daya alam.

Laporan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada tahun 2022 menyebutkan bahwa lebih dari 30% konflik yang terjadi di pesisir terkait dengan pelanggaran hak atas tanah dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.

 Pentingnya Pengawasan Terintegrasi

Pengawasan yang terintegrasi menjadi hal yang krusial dalam mengatasi berbagai permasalahan tersebut.

Pengawasan terintegrasi mencakup koordinasi antara berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga masyarakat lokal, untuk memastikan bahwa semua pihak berperan aktif dalam menjaga kelestarian pesisir dan pulau-pulau kecil.

1. Kolaborasi Pemerintah Pusat dan Daerah

Pengawasan yang terintegrasi membutuhkan sinergi antara kebijakan pemerintah pusat dan implementasinya di tingkat daerah. Peran pemerintah pusat dalam merumuskan kebijakan, mengalokasikan anggaran, serta membangun kapasitas aparatur pemerintah sangat penting.

Namun, efektivitas kebijakan tersebut sangat bergantung pada bagaimana pemerintah daerah mampu menindaklanjutinya dengan baik.

Di tingkat daerah, pemerintah perlu memperkuat kapasitas pengawasan terhadap kegiatan ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan, seperti tambak ikan yang tidak ramah lingkungan, dan pengelolaan ruang laut yang terencana dan berbasis pada prinsip keberlanjutan.

2. Pemanfaatan Teknologi untuk Pengawasan

Dalam era digital, pengawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dapat lebih efektif dengan pemanfaatan teknologi. Penggunaan satelit, drone, dan sistem informasi geografis (SIG) dapat mempermudah pemantauan aktivitas di laut secara real-time.

Teknologi ini memungkinkan pengawasan yang lebih akurat dan cepat, terutama untuk memantau aktivitas ilegal seperti penangkapan ikan ilegal dan pencemaran laut.

Selain itu, teknologi ini juga dapat digunakan untuk memetakan kerusakan ekosistem yang terjadi dan merencanakan langkah-langkah pemulihan yang tepat.

Model Pengawasan Kolaboratif dengan Partisipasi Masyarakat

Pengawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tidak dapat hanya bergantung pada pemerintah atau pihak berwenang saja.

Masyarakat pesisir yang menjadi pelaku utama dalam pemanfaatan sumber daya alam pesisir juga harus dilibatkan secara aktif dalam pengawasan dan pengelolaan kawasan mereka. 

Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, dan sektor swasta dapat menciptakan model pengawasan yang lebih efektif dan berkelanjutan.

1. Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan

Masyarakat pesisir memiliki pengetahuan lokal yang sangat berguna dalam pengelolaan pesisir dan laut. Mereka bisa menjadi garda terdepan dalam mengawasi dan melaporkan kegiatan ilegal atau merusak lingkungan di sekitar mereka.

Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk membangun kapasitas masyarakat pesisir dalam hal pengawasan lingkungan dan memberikan insentif bagi mereka yang aktif menjaga kelestarian lingkungan.

Misalnya, dengan memberikan pelatihan tentang cara-cara pengelolaan pesisir yang ramah lingkungan atau memberikan akses kepada pasar bagi hasil tangkapan ikan yang ramah lingkungan.

2. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya alam dapat mengurangi ketergantungan mereka pada kegiatan yang merusak ekosistem. 

Salah satu model yang dapat diterapkan adalah pengelolaan berbasis ekowisata, di mana masyarakat pesisir dilibatkan dalam pengembangan wisata alam yang berkelanjutan, seperti penyelaman terumbu karang atau wisata observasi burung laut.

Dengan cara ini, mereka dapat memperoleh pendapatan yang lebih stabil tanpa harus merusak ekosistem pesisir.

 Keseimbangan Ekologi dan Ekonomi dalam Pengelolaan Pesisir

Mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil bukan hanya soal melestarikan lingkungan, tetapi juga mengoptimalkan potensi ekonomi yang ada tanpa merusak ekosistem.

Oleh karena itu, pengelolaan berbasis keseimbangan ekologi dan ekonomi sangat penting untuk menciptakan keberlanjutan. Salah satu contoh konkret adalah dengan mengintegrasikan konservasi alam ke dalam kegiatan ekonomi masyarakat pesisir.

1. Pemanfaatan Sumber Daya Alam secara Berkelanjutan

Pengelolaan sumber daya alam pesisir yang berkelanjutan, seperti penangkapan ikan secara selektif, budidaya perikanan yang ramah lingkungan, dan pemeliharaan terumbu karang, harus menjadi bagian dari kebijakan pengawasan yang lebih luas. Melalui pendekatan ini, masyarakat pesisir dapat memperoleh keuntungan ekonomi tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.

2. Pengembangan Ekowisata dan Pemberdayaan Ekonomi Lokal

Ekowisata menawarkan solusi yang sangat baik untuk menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi. Dengan mengembangkan sektor ekowisata, pemerintah dan masyarakat dapat menjaga kelestarian pesisir dan pulau-pulau kecil, sekaligus memberikan peluang ekonomi yang lebih berkelanjutan bagi masyarakat lokal.

Pengelolaan wisata berbasis alam, seperti wisata bahari, dapat membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah tanpa merusak lingkungan.

Pengawasan dan Pengendalian Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Untuk menghadapi kondisi permasalah pesiisr tersebut, dibutuhkan sebuah model pengawasan terintegrasi yang bersifat multi-dimensional dan berbasis pada waktu yang terencana dengan baik. Pengawasan tersebut tersebut harus mencakup aksi jangka pendek, menengah, dan panjang.

Pertama, Pengawasan Jangka Pendek, dimana pengawasan terintegrasi dalam rentang jangka pendek adalah fokus pada;

(1) Meningkatkan kapasitas pengawasan dengan melibatkan teknologi seperti satelit dan drone;

(2) Melakukan penyuluhan kepada masyarakat pesisir tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan; dan

(3) Menegakkan hukum terhadap praktik kejahatan lingkungan seperti penangkapan ikan ilegal dan perusakan terumbu karang.

Kedua, Pengawasan Jangka Menengah, dimana pengawasan terintegrasi jangka menengah untuk mengoptimalkan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dengan fokus pada;

(1) Membentuk kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk mengembangkan program pengelolaan pesisir berbasis keberlanjutan; dan

(2) Membangun infrastruktur pengelolaan pesisir yang lebih baik, seperti pembangunan tempat pembuangan sampah yang ramah lingkungan dan fasilitas pengolahan limbah.

Ketiga, Pengawasan Jangka Panjang, dimana pengawasan terintegrasi jangka Panjang mencakup upaya-upaya secara komprehensif yang fokus pada;

(1) Membangun kebijakan nasional yang mendukung pengelolaan pesisir secara berkelanjutan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan;

(2) Mengembangkan ekonomi berbasis ekowisata sebagai alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir; dan

(3) Mendorong penelitian dan pengembangan tentang cara-cara pengelolaan pesisir yang lebih baik dan berkelanjutan.

Pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia menghadapi berbagai tantangan serius terkait kejahatan lingkungan dan perusakan ekosistem.

Pencemaran laut, pelanggaran perizinan, budidaya yang tidak ramah lingkungan, pariwisata yang merusak ekosistem, pemagaran laut, reklamasi, hingga konflik sosial, semuanya menjadi isu yang perlu segera ditangani.

Penting adanya aksi penegakan hukum yang tegas, pengawasan berbasis teknologi, serta pengelolaan berbasis keberlanjutan yang melibatkan masyarakat lokal dan sektor swasta.

Dengan memperhatikan fakta bahwa Pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia menyimpan potensi besar yang harus dijaga dengan cermat.

Pengawasan dan pengendalian yang terintegrasi, melibatkan teknologi, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, serta pengelolaan berbasis keseimbangan ekologi dan ekonomi, adalah kunci untuk menciptakan keberlanjutan.

Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat memastikan bahwa pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia tetap menjadi kekayaan yang dapat dinikmati oleh generasi mendatang tanpa merusak keseimbangan alam yang ada.

Moh Nur Nawawi

Penulis buku "Merawat Pesisir, Menjaga Semesta"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun