Mohon tunggu...
Moh Nur Nawawi
Moh Nur Nawawi Mohon Tunggu... Nelayan - Founder Surenesia

Seorang pecinta dunia maritim / Pelayan dan Pengabdi Masyarakat / suka menulis, bercerita dan berdiskusi / @nawawi_indonesia nawawisurenesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ratifikasi Konvensi Internasional Bidang Perikanan Tangkap Diharapkan Jadi Solusi Permasalahan Pelaut Kapal Ikan Indonesia

27 Juni 2020   08:20 Diperbarui: 27 Juni 2020   08:19 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara-negara di dunia telah menunjukkan semangat dalam rangka mengatasi permasalahan di sektor perikanan seperti upaya memberantas IUUF (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing) serta menjamin kesejahteraan serta kesetaraan nasib bagi para pekerja disektor perikanan khususnya sektor penangkapan ikan. Semangan bersama itu diwujudkan dnegan itikad baik dengan adanya konvensi-konvensi internasional yang masing-masing diprakasai oleh tiga badan PBB, yaitu FAO, ILO, dan IMO. 

Konvensi-konvensi bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup pekerja serta melindunginya dari berbagai macam perbudakan dan penindasan kerja serta sebagai upaya mempersulit para pelaku kejahatan perikanan berkelit memanfaatkan celah dalam peraturan perikanan nasional maupun regional, serta mengatasi masalah sosial yang terkait. Konvensi-konvensi yang diharapkan mampu membuat sektor perikanan international menjadi kondisi yang lebih baik itu diantaranya.

Yang pertama adalah Port State Measures Agreement (PSMA), yang merupakan konvensi antar negara-negara anggota FAO (Food and Agriculture Organization) untuk memperkuat kontrol pelabuhan (ikan) dalam mencegah ikan hasil penangkapan secara ilegal untuk memasuki pasar global. Konvensi ini berlaku sejak 2016.

Berikutnya adalah Standard Training and Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personel (STCW-F) 1995. Konvensi STCW-F, 1995 merupakan konvensi internasional yang mengatur tentang standar pelatihan, sertifikasi, dan dinas jaga bagi awak kapal penangkap ikan. Konvensi ini berlaku sejak 2012

Yang ketiga adalah Work in Fishing Convention No. 188 (C188). Konvensi yang diprakarsai oleh ILO (International Labour Organization) ini berlaku sejak tahun 2017, menjadi acuan standar kelayakan kondisi kerja dalam industri perikanan.

Yang ke empat  adalah Cape Town Agreement (CTA) yang diprakarsai IMO (International Maritime Organization) pada tahun 2012. CTA merupakan kesepakatan politik (diplomatik) 58 negara anggota IMO, yang berisi, salah satunya, melaksanakan Konvensi Torremolinos (Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessels, 1977), yang mengatur standar keselamatan untuk kapal penangkap ikan yang mencakup desain, konstruksi, dan peralatan.

Selain itu, CTA juga memuat sejumlah aturan rinci yang harus diadopsi negara anggota IMO untuk melindungi keselamatan awak kapal penangkap ikan. Namun CTA akan berlaku (enter into force) jika sudah diratifikasi oleh 22 negara anggota IMO, dengan jumlah agregat 3600 kapal penangkap ikan yang berukuran panjang 24 meter atau lebih.

Pentingnya sebuah ratifikasi konvensi international termaktup dalam UUD 1945 Pasal 11 Ayat 1 menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Perihal perjanjian dengan negara lain atau perjanjian internasional, kemudian untuk menjabarkan pasal undang-undang dasar tersebut lebih lanjut diatur dalam sebuah regulasi dibawahnya yaitu UU Nomor 24 tahun 2000.

Dalam UU Nomor 24 Tahun 2000, Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. 

Indonesia sebagai negara yang sudah tentu memiliki hubungan dengan negara-negara lain, sering kali terikat dalam suatu perjanjian di berbagai bidang termasuk disektor maritim dan perikanan dimana sektor tersebut berkaitan erat dengan berbagai sektor seperti ketenaga kerjaan, penegakan hukum, industri hingga perdagangan internatsional. Perjanjian internasional dalam lingkup kerja sama dilakukan oleh Indonesia baik secara bilateral, regional maupun multilateral.

Dengan luasnya perairan Indonesia yang sudah pasti diikuti oleh melimpahnya sumberdaya didalamnya tentunya sektor perikanan tangkap menjadi sektor yang harus dikelola dengan baik, baik pengelolaan secara berkelanjutan maupun pengolaan pemanfaatan berbasis peningkatan kualiatas sumberdaya manusia serta peralatan serta infrastrukturnya. 

Permasalahan illegal fishing, perbudakan dikapal ikan, tingkat keselamatan pekerja kapal ikan yang rendah, minimnya asuransi bagi pekerja kapal ikan dan masih banyak lagi permasalahan disektor ini tentunya harus menjadi perhatian berbagai pihak baik pemerintah maupun sektor-sektor terkait seperti pengusaha, lembaga non pemerintah hingga para pelaut kapal ikan itu sendiri.

Kebijakan internasional telah banyak dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja perikanan tangkap. Secara umum pekerja perikanan tangkap masuk dalam kategori perlindungan pekerja migran yang diatur dalam International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families 2000  yang mengatur perlindungan dan ketentuan dasar bagi pekerja migran dan keluarganya. 

Namun, pengaturan secara khusus terkait pekerjaan di bidang perikanan ini telah diatur dalam berbagai kebijakan internasional yang disusun oleh International Labour Organization (ILO), International Maritime Organization (IMO) dan  Food and Agriculture Organization (FAO).

Didalam negeri kebijakan nasional yang ada masih terlihat memberikan celah terjadinya pelanggaran. Disisi lain yang sangat penting adalah meningkatkan kapasitas dan kemampuan pekerja perikanan tangkap atau para pelaut kapal ikan Indonesia agar mampu meningkatkan daya saing dan juga meningkatkan kapasitasnya agar mampu memberikan manfaat positif bagi keluarganya. 

Dalam artian  konteks perlindungan harus bisa dilihat secara menyeluruh, karena bukan saja perlindungan terhadap hak-hak dasar, tetapi juga perlindungan untuk dapat mengembangkan kemampuan.

Kasus yang marak terjadi harusnya menjadi tamparan bagi kita semua untuk fokus pada upaya pencegahan agar tidak terjadi permasalahan seperti yang santer dipemberitaan adalah perbudakan dikapal ikan yang dialami oleh pelaut kapal ikan indonesia yang bekerja dikapal ikan asing serta yang tidak boleh luput dari perhatian kita semua adalah kurang optimalnya penciptaan lapangan pekerjaan disektor perikanan tangkap didalam negeri.

Banyak Indikasi yang terjadi dilapangan yang berhubungan erat dengan nasib para pelaut kapal ikan kita yang bekerja diluar negeri. Indikasi-indikasi tersebut diantaranya, 

(1) kerentanan pekerjaan hal ini banyak terjadi karena pelaut yang direkrut umumnya tidak memiliki kecakapan serta pengetahuan bahasa asing, minim wawasan hukum, tidak punya banyak pilihan mata pencaharian. 

(2) Penipuan baik lewat dokumen maupun secara verbal, dimana umumnya calon pelaut direkrut dengan iming-iming pekerjaan yang layak dan dibayar dengan baik. Namun kondisi dilapangan justru sebaliknya. 

(3) Pembatasan gerak. Fakta dilapangan menyebutkan selama bekerja di atas kapal penangkap ikan, ruang gerak pelaut kita dibatasi. Mereka seperti terisolasi. Komunikasi yang minim terkendala karena lokasi pekerjaan ditengah laut selain itu para agen yang memberangkatkan juga tidak memberikan akses komunikasi serta informasi yang baik bagi keluarga pelaut yang bekerja dikapal ikan asing. 

(4) Kekerasan, para pelaut kapal ikan banyak yang mendapatkan perlakukan kekerasan selama bekerja dikapal ikan, kekerasan bisa berupa kekerasan fisik maupun verbal dalam bentuk ancaman. Hingga kekerasan dalam hal menahan dokumen-dokumen penting, seperti paspor serta nomor kontak. 

(5) Penahanan gaji atau pemotongan gaji. Secara umum para pelaut kapal ikan indonesia dikapal asing mengalami pemotongan gaji oleh oknum-oknum terkait seperti perusahaan agency yang memberangkatkan mereka dan oknum dikapal ikan itu sendiri. 

(6) kondisi kerja tak layak. Maksud dari tidak layak disini selain kondisi lokasi kerja yang tidak sesuai standar pelayaran serta kapal perikanan juga tidak adanya jaminan keamanan serta keselamatan bagi para pelaut kapal ikan kita yang bekerja dikapal asing. 

Selain itu sistem kerja yang melebihi batas waktu yang seharusnya dilakukan manusia untuk bekerja juga menjadi faktor utama ketidak layakan tersebut.

Ratifikasi konvensi internasional disektor perikanan tangkap adalah salah satu solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan diatas. 

Dari keempat konvensi internasional tersebut Indonesia baru meratifikasi dua konvensi yaitu Port State Measures Agreement (PSMA) dan Standard Training and Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personel (STCW-F) 1995 sedangkan Work in Fishing Convention No. 188 (C188) dan Cape Town Agreement (CTA) padahal kedua konvensi tersebut sangat berhubungan erat dengan nasib pelaut kapal ikan karena konvensi tersebut lebih fokus mengatur pada pekerja serta tempat kerja pelaut kapal ikan yaitu kapal ikan itu sendiri.

Work in Fishing Convention, 2007 (C-188) diadopsi pada Konferensi Perburuhan Internasional (ILC) ke-96 Organisasi Perburuhan Internasional ILO pada 2007. 

Tujuan Konvensi ini adalah untuk memastikan bahwa para nelayan memiliki kondisi kerja yang layak di atas kapal penangkap ikan dengan memperhatikan persyaratan minimum untuk bekerja di kapal; kondisi layanan; akomodasi dan makanan; keselamatan dan perlindungan kesehatan kerja; perawatan medis dan jaminan sosial. Ini berlaku untuk semua nelayan dan kapal penangkap ikan yang terlibat dalam operasi penangkapan ikan komersial.

Sedangkan Cape Town Agreement 2012 (IMO-CTA) adalah konvensi yang menggantikan Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessel 1977 dan Torremolinos Protocol 1993. 

Dimana Tujuan  konvensi ini adalah untuk meningkatkan keselamatan kapal perikanan yang sedang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut melalui pengaturan desain, konstruksi, dan perlengkapan untuk kapal perikanan berukuran 24 m atau 300 GT atau lebih, termasuk prosedur dalam keadaaan darurat serta harmonisasi pelaksanaan inspeksi oleh negara bendera dan negara pantai. 

Selain itu, IMO-CTA juga mendorong transparansi dalam hal pengoperasian kapal perikanan, kondisi awak kapal sektor perikanan, dan standar-standar keselamatannya.

Indonesia yang merupakan negara penyuplai pekerja  sektor perikanan terbesar kedua di dunia, tentunya sangat berkepentingan untuk memberikan perlindungan dan menjaga keselamatan pelaut kapal ikan yang bekerja di sektor perikanan khususnya yang bekerja dikapala luar negeri. 

The International Labor Organization (ILO) menyebutkan bahwa pekerjaan menangkap ikan laut adalah salah satu profesi yang paling berbahaya di dunia dengan data perkiraan korban sekitar 24.000 jiwa per tahun. 

Dengan demikian, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk meratifikasi aturan-aturan internasional yang memberi jaminan atas keselamatan pelaut kapal ikan Indonesia yang bekerja di kapal-kapal perikanan.

*). Penulis adalah Pelaut kapal ikan yang pernah bekerja di Kapal ikan Long Line dan telah bekerja di industri perikanan khususnya perikanan tangkap sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun