"Diba kenapa tega sekali sama Bapak dan Ibu? Kenapa Diba bohong ke Ibu dan Bapak?"
Dahiku mengerut. "Diba bohong soal apa, Pak?"
"Selama ini, Diba sering minta uang buat praktikum, tapi sebenernya bukan untuk praktikum, 'kan? Diba sering bolos kuliah, Diba sering ninggalin salat, Diba udah jarang ngaji." Bapak menjelaskan dengan terbata, tatapannya memancarkan kekecewaan yang teramat dalam.
Bagaimana bisa Bapak tahu? Apakah Syifa selama ini melapor pada Bapak dan Ibu?
"Jangan salahin orang lain, Diba. Bapak sama Ibu minta kamu jaga diri baik-baik di sana, apa itu susah? Diba udah capek ya, sama aturan dari Bapak sama Ibu?"
Aku menggeleng cepat. "Nggak, Pak."
"Bapak kecelakaan karena tadi waktu di mobil buka handphone, ada nomor yang ngirim foto kamu lagi main, kebanyakan sama anak cowok, laporan juga kamu nggak salat dan selalu pulang Magrib."
Diam. Aku tidak tahu aku harus apa. Situasi ini sama sekali tidak pernah aku pikirkan sama sekali. Siapa yang mengirim itu semua?
"Namanya Vania, nomor yang ngirim laporan tentang kamu. Diba ... jangan jauh dari Allah, Nduk. Terlalu jauh dari-Nya itu cuma bikin luka. Luka di dunia dan juga di akhirat kelak. Luka itu sakit, Nduk. Bapak sama Ibu nggak mau kamu kesakitan karena jauh dari Allah."
Air mataku kembali berlinang. Bahkan setelah Bapak tahu tentang kebenaran yang terjadi padaku ... beliau tetap mengutamakan aku. Bapak tidak marah padaku, Bapak hanya takut Allah marah padaku. Bapak ... bagaimana bisa tetap memikirkan yang terbaik untukku? "Bapak, maafin Diba. Ibu, maafin Diba."
Bapak tersenyum sendu. Rasanya sakit melihat senyuman itu. Apakah ini salah satu luka yang Bapak sebutkan? "Bapak sama Ibu mau yang terbaik sama kamu. Bisa janji sama kami buat nggak jauh dari Allah, Nduk?"