Mohon tunggu...
Nava Dwi Elyu Sururin
Nava Dwi Elyu Sururin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ekonomi Politik Internasional: Merkantilisme dalam Perang Dagang Amerika Serikat dan Tiongkok

8 Maret 2024   10:47 Diperbarui: 29 Maret 2024   14:25 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah merkantilisme berasal dari kata Merchant yang berarti pedagang. Hal ini berarti dalam paham teori merkantilisme mengatakan suatu negara akan maju jika melakukan perdagangan dengan negara lainnya. Sumber kekayaan yang diperoleh negara berbentuk emas atau perak yang merupakan surplus dari perdagangan luar negeri. Kontak yang dilakukan dengan negara lain ini tentunya akan memunculkan suatu kebijakan yang mendorong aktivitas ekspor dan membatasi impor agar perdagangan internasional bisa berjalan dengan lancar. Merkantilisme mengatakan bahwa kemakmuran suatu negara ditentukan oleh jumlah penanaman modal dan aset yang dimiliki negara tersebut. Seorang filsuf Perancis, Jean Bodin yang membahas tentang teori uang dan harga yang meningkat karena pajak impor yang diterima dari luar negeri dan pajak impor yang dikeluarkan.


Istilah merkantilisme pertama kali digunakan saat French physiocrat Victor de Riqueti dan Marquis de Mirabeau mencemooh apa yang disebutnya "sistem merkantil" pada tahun 1750-an. Kritik ini kemudian dilanjutkan oleh Adam Smith dua puluh tahun kemudian dengan menggunakan seperempat bukunya yang berjudul Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations atau yang sekarang disebut The Wealth of Nation untuk menganalisis secara sistematis keterbatasan dan kegagalam dalam sistem perdagangan. 

Merkantilisme sendiri memang sejak awal merupakan ciptaan dari para pengkritiknya. Pada akhir abad ke 17, seorang pengusaha yang lalai dalam memperluas perdagangan dan industri menghadapi ancaman utama terhadap politik Eropa. Pemahaman pemahaman saat ini tentang kemampuan Amerika Serikat untuk bersaing dengan Tiongkok dan potensi dampaknya terhadap politik internasional merupakan ekspresi modern dari tantangan ini. Tata negara ekonomi yang berarti penggunaan alat ekonomi untuk mencapai tujuan diplomatik dan penggunaan alat komunikasi dan militer untuk mencapai tujuan ekonomi merupakan warisan dari merkantilisme.


Keuntungan bagi satu pihak tentu berarti kerugian bagi pihak lain. Dalam arti sempit , logika ini membuat beberapa merkantilis yang menunjukkan bahwa wabah penyakit atau kelaparan di suatu negara saingan meningkatkan pendapatan nasional . berbicara, hal ini dilakukan secara terbatas untuk menjaga keseimbangan perdagangan yang dirasa menguntungkan. Hal ini dilakukan dengan memastikan bahwa ekspor lebih tinggi daripada impor. Negara-negara menggunakan berbagai cara untuk menjamin keseimbangan perdagangan yang menguntungkan, termasuk peraturan yang dirancang untuk mendorong manufaktur dalam negeri di sektor tertentu, tarif, atau pembatasan lain terhadap impor barang-barang asing, dan dalam beberapa kasus, bahkan larangan hukum untuk melakukan pembayaran ke luar negeri.

Bagi Adam Smith, tindakan seperti itu tidak masuk akal. Kekayaan tidak didasarkan pada emas atau perak, melainkan pada komoditas yang dapat diperdagangkan dengan logam tersebut. Namun, dalam sudut pandang ini neraca perdagangan tidak relevan karena memungkinkan setiap negara memperoleh manfaat dari keunggulan komparatif yang meningkatkan akses perdagangan terhadap barang dan jasa.

Perang Dagang Amerika Serikat dan Tiongkok 

Landreth dan Collander mengatakan bahwa tujuan dari merkantilisme dapat dilihat dari kegiatan ekonomi yaitu produksi yang mendorong terjadinya peningkatan ekspor dan menekan konsumsi domestik. Merkantilisme mendapatkan regulasi ekonomi agar negara dapat mencapai kekuatan untuk bersaing dengan negara lainnya. Pernyataan ini semakin diperkuat dengan adanya Montaigne yang mengatakan bahwa negara tidak akan mendapatkan keuntungan tanpa ada negara lain yang dirugikan.


Ada adua jenis perjanjian perdagangan antar negara. Yang pertama adalah merkantilisme yang bersifat defensif, dimana negara-negara secara bertahap mengutamakan  kepentingan  perekonomian nasional mereka karena perjanjian tersebut mempunyai implikasi penting terhadap keamanan nasional . Kedua, merkantilisme yang agresif dan berbahaya di mana negara-negara bersaing untuk memanfaatkan peluang ekonomi global . Hal ini ditunjukkan dengan hubungan antara AS dan Tiongkok berangsur- angsur memburuk dan mengarah pada merkantilisme yang agresif di mana AS memberlakukan undang - undang proteksionisme yang mengeksploitasi semua barang tiongkok yang ingin masuk ke AS.


Munculnya proteksionisme sebagai upaya negara untuk melindungi kepentingan negara yang fokus terhadap ekonomi secara internasional dengan mengeluarkan kebijakan seperti pajak, tarif masuk, bea cukai, serta tindakan kuota. Proteksionisme menghilangkan beberapa beberapa kebijakan yang selalu mendapat kritik dari negara lain , seperti yang diterapkan pada masa pemerintahan Trump , yang memberlakukan kebijakan hambatan tarif sebagai sarana pemerintah untuk meningkatkan perdagangan luar negeri dan memberikan peluang bagi Amerika Serikat dalam perdagangannya dengan negara lain. Oleh karena itu, tujuan kebijakan perang dagang adalah menjaga stabilitas perekonomian nasional. Merkantilisme melihat bahwa hubungan perdagangan sangat penting bagi negara untuk menjaga perekonomiannya. Smith menyatakan bahwa merkantillisme adalah kemampuan suatu kelompok untuk mencapai suatu keseimbangan dagang yang menghasilkan keuntungan.


Morgenthau menjelaskan agar suatu negara dapat mencapai tujuan nasionalnya, persaingan dari negara lain harus diatasi agar negara tersebut dapat mencapai kemajuan menuju stabilitas nasional . Oleh karena itu, terdapat tindakan perang dagang antara AS dan Tiongkok yang menunjukkan bahwa kedua negara mempunyai kerjasama yang kuat, namun terhambat oleh persaingan, sehingga kedua negara melakukan berbagai upaya untuk memperkuat posisinya dalam perekonomian global. Konflik konflik yang terjadi antara kedua negara tersebut menimbulkan beragam tanggapan dari negara lain .Banyak negara-negara di dunia yang menentang kebijakan yang diterapkan Presiden Trump karena tidak hanya berdampak pada Tiongkok tetapi juga negara lain, khususnya negara-negara berkembang yang bergantung pada barang- barang Tiongkok dan AS. Dalam hal ini, negosiasi diadakan untuk menyelesaikan konflik tersebut, mengingat banyak negara lain yang ikut dirugikan.


Perang dagang ini diawali ketika Donald Trump membuat slogan kampanye yang berbunyi "Make American Great Again" pada tahun 2016 yang bertujuan menjadikan Amerika Serikat sebagai negara nomor satu di dunia. Hal ini diaplikasikan pada kebijakan luar negeri AS dengan slogan "American First". Kebijakan American First ini memiliki konsekuensi untuk mencegah adanya intervensi dari dunia internasional terhadap urusan dalam negerinya dan berusaha untuk mengurangi komitmen AS di tingkat internasional dan berfokus dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Kebijakan perdagangan Trump pada tahun 2018 dan 2019 juga lebih agresif daripada presiden sebelumnya. Dalam hal ini, Trump menetapkan kebijkan proteksionisme dan melakukan renegoisasi terhadap perjanjian perdagangan internasionalnya. Pemerintah AS juga lebih menekankan pada kerjasama bilateral daripada multilateral untuk mengurangi defisit perdagangan AS.


Ketika Trump terpilih menjadi presiden membuat perekonomian global dalam kondisi dan situasi yang panas. Ia memilih untuk menerapkan perdagangan multilateral saja. Berbeda dengan Tiongkok yang dipimpin oleh Xi Jinping yang mendukung dan tetap menerapkan perdagangan bebas. Sebagai cara untuk menghadapi  Tiongkok,  Trump mengembangkan strategi ekonomi menaikkan tarif barang - barang Tiongkok.  Lalu pada tanggal 17 Januari 2018 , Trump bertemu dengan Tiongkok dan melakukan ancaman karena menganggap tiongkok telah mencuri Hak Atas Intelektual (HAKI). Selain itu , pada tanggal 22 Januari 2018 , Trump mengumumkan tarif terhadap semua negara di dunia , kecuali kepada Kanada untuk produk panel surya sebesar 30 % dan mesin cuci sebesar 20%. Disisi lain, AS juga menetapkan tarif sebesar 25%terhadap 1.300 produk teknologi, transportasi, dan kesehatan . Namun, pada tanggal 4 Februari 2018 , Tiongkok menyatakan ketidaksetujuannya terhadap tindakan yang diambil oleh Trump , termasuk kenaikan harga sorgum impor yang bersumber dari AS sebesar US$1,1 milliar.


Perang dagang yang terjadi diantara kedua negara ini juga dipicu oleh kenaikan tarif pajak sebesar 25% dan 10% untuk aluminium pada tanggal 8 Maret 2018. Tiongkok menanggapi tindakan AS pada 22 Maret 2018 dengan pembatasan tarif impor sebesar US$3 juta untuk 128 jenis barang produksi AS , termasuk komoditas pertanian, bahan bangunan, permen, dan babi. AS mengajukan permintaan ke WTO membuat penyelesaian terhadap pelanggaran HAKI. Lalu pada tanggal 4 April 2018 Tiongkok juga menetapkan tarif sebesar US$50 miliar terhadap 106 produk AS termasuk kacang kedelai, daging sapi, dan berbagai kendaraan. Tidak hanya itu, Tiongkok juga mengajukan keluhan kepada WTO mengenai pembebanan tarif baja oleh AS.


Akhirnya kedua negara ini memutuskan untuk melakukan perundingan untuk membahas dan mencari jalan keluar atas konflik yang mereka hadapi. Akan tetapi dalam perundingan pertama yang dilakukan keduanya belum menemukan kesepakatan. Kedua negara ini juga terus melakukan kenaikan tarif dan terlihat seperti saling berbalas tarif yang tidak ada titiknya. Akibat adanya pembalasan tarif tersebut membuat kedua negara memutuskan untuk mengadakan kembali perundingan agar masalah yang dihadapi keduanya dapat terselesaikan. Amerika Serikat dan Tiongkok melakukan perundingan disaat yang bersamaan dengan pertemuan G20 pada 30 November 2018. Dalam perundingan ini dihasilkan persetujuan genjatan senjata 90 hari. Selain itu, Tiongkok akan meningkatkan investasi pada produk produk yang berkaitan dengan pertanian dan energi AS. Hasilnya, pada 24 Februari 2019, Trump kembali melanjutkan tarif barang Tiongkok senilai $200 milliar menjadi 25 % dari 10 % total. Hal ini dilakukan karena kontribusi signifikan yang diberikan kedua pihak dalam perjanjian perdagangan dengan Tiongkok.


Setelah mengalami perang dagang hampir dua tahun lamanya, pada tanggal 15 Januari 2020 akhirnya kedua negara ini mencapai kesepakatan Tahap I untuk menetapkan "masa jeda" perang yang terjadi diantara keduanya. Kesepakatan ini ditandatangani di Washington DC oleh Trump dan Liu Hie. Dalam kesepakatan ini juga dihadiri oleh para anggota parta Republik dan para pemimpin bisnis. Dengan adanya kesepakatan ini, Trump mengatakan bahwa akan menjalin hubungan yang lebih baik dengan Tiongkok.

DAFTAR PUSTAKA
Syami, Rizky Andriana. 2023. Perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok dalam Perspektif Ekonomi Politik Internasional. http://repositori.unsil.ac.id/11248/


Sonia Agusti Parbo. 2020. Negosiasi Perang Dagang Amerika Serikat dan Tiongkok. https://e-journal.trisakti.ac.id/index.php/medek/article/download/7102/6595


Carnegie Endowment for Internasional Peace. 2017. Trump's National Security Strategy: A New Brand of Mercantilism?. https://carnegieendowment.org/2017/08/17/trump-s-national-security-strategy-new-brand-of-mercantilism-pub-72816

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun