Mohon tunggu...
Muhammad Naufal Hisyami
Muhammad Naufal Hisyami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan

Saya adalah taruna utama politeknik ilmu pemasyarakatan angkatan 55

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Artikel Penelitian Hukum Normatif

11 September 2023   10:27 Diperbarui: 11 September 2023   10:34 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tulisan kali ini saya mencoba untuk melakukan review terhadap tiga artikel yang menggunakan metode penelitian hukum normatif. Artikel yang akan saya review merupakan artikel yang dipublikasikan pada tahun 2022 dan 2023. Berikut adalah review dari masing-masing jurnal :

Jurnal 1  

Reviewer                       : Muhammad Naufal Hisyami Putra Widyaningtyas

Dosen Pembimbing : Markus Marselinus Soge, S.H., M.H.

Judul                               : KAJIAN HUKUM PENERAPAN KETENTUAN HUKUMAN MATI DALAM UNDANG - UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

Penulis                           : Grenaldo Ginting

Jurnal                              : Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam

Volume & Tahun        : Vol. 5 No. 1 – April 2023

Link Artikel Jurnal    : https://ejournal.insuriponorogo.ac.id/index.php/almanhaj/article/view/2442 

Pendahuluan/ Latar Belakang                

Jurnal yang berjudul “KAJIAN HUKUM PENERAPAN KETENTUAN HUKUMAN MATI DALAM UNDANG - UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI” ini membahas langsung kepada topik yang dibahas oleh penulis, sehingga dalam hal ini pembaca akan lebih mudah untuk paham.

Pendahuluan pada jurnal ini berangkat pada kenyataan bahwa korupsi merupakan masalah nasional yang proses penanggulangannya terus diupayakan, dan salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui pembaruan materi-materi hukum, dalam hal ini peraturan undang-undang. Korupsi merupakan suatu fenomena sosial yang merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang. Hal ini menjadi penting mengingat dampak dari tindak pidana korupsi yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dalam berbagai aspek, dan proses penanggulangannya telah dilakukan berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan tentang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu dalam jurnal ini penulis lebih menyoroti Undang-undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-Undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, diantaranya ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Perumusan ancaman pidana mati dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia selalu menjadi polemik yang menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Terlepas dari hal tersebut, ancaman pidana mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sepertinya tidak bermakna apapun karena penerapannya diabaikan oleh aparat penegak hukum. Hal ini berhubungan dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (2), maka penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut sifatnya adalah fakultatif. Artinya meskipun tindak pidana korupsi dilakukan dalam “keadaan tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dapat saja tidak dijatuhi pidana mati. 

Konsep/Teori dan Tujuan Penelitian

Konsep atau teori dalam penelitian ini adalah korupsi sebagai suatu masalah yang harus diatasi. Penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi harus dilakukan tidak terkecuali hukuman mati. Dimana terkait hukuman mati ini telah diatur di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kajian hukum penerapan ketentuan hukuman mati dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Dimana dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo 20 Tahun 2001 hukuman mati dapat dijatuhkan kepada koruptor dalam keadaan tertentu.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Secara teoritis, tujuan penelitian merupakan usaha yang dilakukan untuk mengetahui satu hal. Pengetahuan yang diperoleh dari jenis penelitian seperti ini tidak dapat dimanfaatkan secara langsung atau secara praktis. Sedangkan secara praktis, tujuan penelitian ini ialah mencari serta menemukan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan langsung di dalam kehidupan

1) Obyek Penelitiannya

Obyek penelitian di dalam kajian ini adalah penelitian sistematika hukum. Dimana dalam hal ini penulis membahas pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan konsep atau pengertian “keadaan tertentu” yang menjadi pemberat seorang pelaku tindak pidana korupsi untuk bisa dijatuhi hukuman mati.

2) Pendekatan Penelitiannya

Adapun pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang – undangan (statue approach). Dalam hal ini penulis menganalisis Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap isu atau permasalahan yang sedang dibahas yaitu mengenai pidana atau hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Dimana Pasal 2 ayat 2 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

3) Jenis dan Sumber Data Penelitiannya

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer dalam hal ini berupa peraturan perundang – undangan yaitu Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku ilmu hukum, jurnal ilmu hukum, laporan penelitian, artikel ilmiah, dan bahan seminar atau lokakarya.

4) Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data Penelitiannya

Data yang dikumpullkan dalam penelitian menggunakan teknik studi pustaka dalam hal ini penulis mengkaji informasi tertulis yang berasal dari berbagai sumber yang sudah dipublikasikan secara luas diantaranya Undang – Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta buku hukum, artikel, ataupun bahan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Selanjutnya dalam mengolah data penulis menggunakan interprestasi dan penafsiran hukum untuk menganalisis dan menjelaskan baik fakta hukum maupun aturan hukum yang berlaku mengenai Kajian Hukum Penerapan Ketentuan Hukuman Mati Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Data tersebut kemudian di analisis menggunakan analisis yuridis normatif.

Hasil  Penelitian & Pembahasan

Korupsi sudah sangat meluas secara sistemik merasuk ke semua sektor diberbagai tingkatan pusat dan daerah, disemua lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Oleh karenanya, korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Secara tegas hal tersebut diakui dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Kondisi ini yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengupayakan berbagai upaya pemberantasan korupsi. Hal ini ditambah data dari Transparancy International bahwa Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/ CPI) ditahun 2010 adalah sebesar 2,8 dan menduduki ranking 110 dari 178 negara, Tahun 2011 mencapai 3,0 dan menduduki ranking 100 dari 183 negara. Sedangkan di tahun 2012, CPI Indonesia mencapai 3,2 namun turun peringkat menjadi 118 dari 182 negara. Beberapa kasus menonjol (celebrity case) yang mendapat perhatian besar masyarakat, dan membutuhkan upaya dan kerja keras aparat penegak hukum untuk mengungkapkannya adalah antara lain kasus korupsi pajak, proyek Hambalang, simulator SIM, dan import daging sapi, yang melibatkan pegawai pajak, anggota DPR, pejabat Polri, petinggi partai politik, bahkan Menteri.

Hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan, demikian bunyi Pasal 2 ayat 2. Apa maksud keadaan tertentu pada pasal tersebut dijelaskan lebih jauh dalam bab penjelasan Undang-undang tersebut. Apa saja Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, demikian bunyi penjelasan dari Pasal 2 ayat 2 tersebut. Ancaman hukuman mati dalam Pasal 2 ayat 2 itu sampai saat ini belum pernah didakwakan ataupun menjadi landasan vonis hakim.

Sebagai upaya penanggulangan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, pembuat undang-undang memformulasikan beberapa hal penting, yang dianggap dapat dipakai sebagai alat untuk menjerat dan mendatangkan efek jera kepada pelaku, yakni asas pembuktian terbalik dan sanksi yang berat, termasuk pidana mati. Menurut Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqodas, ada 3 kriteria utama yang membuat seorang pelaku tindak pidana korupsi layak dijatuhi hukuman mati; 1. Nilai uang negara yang dikorupsi lebih dari Rp 100 miliar dan secara massif telah merugikan rakyat; 2. Pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah pejabat negara; 3. Pelaku korupsi sudah berulang-ulang kali melakukan korupsi. Salah satu penyebab tidak diterapkannya ancaman pidana mati kepada koruptor karena perumusan ancaman pidana mati diikuti dengan syarat dalam“keadaan tertentu” (Pasal 2 ayat (2). Dalam penjelasan Pasal ini dirumuskan bahwa,yang dimaksud dengan keadaan dengan“keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Dari perspektif Hak Asasi Manusia, hukuman mati dianggap sebagai pembatasan hak asasi manusia serius. Namun, ada pandangan bahwa hukuman mati dapat dilaksanakan dalam kasus kejahatan pidana tertentu, dan dalam hukum syariah, terdakwa yang dihukum mati dapat membayar diyat (uang santunan) untuk mendapatkan ampunan dari keluarga korban. Meskipun ada perdebatan tentang hukuman mati, UUD RI 1945 memberikan perlindungan kuat terhadap hak asasi manusia, sehingga pengambilan hak hidup seseorang dianggap sebagai pelanggaran hak tersebut. Debat mengenai hukuman mati tetap relevan karena adanya upaya internasional dan regional untuk membatasi penggunaan hukuman mati., Oleh karena itu hukuman mati hendaknya hanya dijatuhkan pada bentuk korupsi yang paling jahat dan berdampak luas, dan perumusannya harus jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan keragu-raguan dalam penerapannya. Selain itu, hukuman mati harus sangat hati-hati untuk dijatuhkan. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang aparat penegak hukumnya sering terlibat korupsi seperti sekarang ini, seseorang sangat mungkin menjadi korban peradilan sesat (miscarriage of justice). Karena itu, untuk mencegah miscarriage of justice terdakwa korupsi harus diberikan hak melakukan upaya hukum yang adil. Dan jika akhirnya dipidana mati, terpidana korupsi masih memiliki kesempatan untuk mengajukan grasi atau mendapatkan pemberlakuan sifat khusus dari pidana mati tersebut, seperti yang dirumuskan dalam konsep KUHP nasional.

Kelebihan, Kekurangan, dan Saran

Dilihat dari sitematika penulisan artikel ini sudah sangat baik karena sudah lengkap dan sesuai dengan struktur sebuah artikel. Abstrak yang dibuat oleh penulis juga sudah bisa menggambarkan secara umum mengenai pokok masalah  yang akan dibahas di dalam penelitian ini. Pembahasan yang dibuat oleh penulis juga sudah cukup lengkap mulai dari melihat bagaimana perkembangan tindak pidana korupsi, kemudian eksistensinya di dalam UU Pemberantasan TP Korupsi dalam hal ini terkait dengan frasa “keaadaan tertentu” yang secara lebih lanjut dijelaskan oleh penulis mengenai frasa tersebut serta kaitanya dengan penrapan pidana mati di Indonesia. Namun dalam hal ini ada hal yang kurang dibahas oleh penulis yaitu mengenai bagaimana solusi agar pidana mati tersebut dapat ditegakkan dan tidak menjadi suatu perdebatan, dalam hal ini penulis hanya berfokus kepada alasan – alasan mengapa pidana mati secara faktual tidak pernah diterapkan untuk pelaku tindak pidana korupsi. Oleh karena itu seharusnya terkait dengan petauran pidana hukuman mati ini harus diikuti dengan diikuti Grand Design Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Kemudian perlu juga dilakukan kajian dan perumusan ulang mengenai pidana hukuman mati ini terkait seberapa efektif dalm  mengatasi tindak pidana korupsi di Indonesia.

Jurnal 2 

Reviewer                       : Muhammad Naufal Hisyami Putra Widyaningtyas

Dosen Pembimbing : Markus Marselinus Soge, S.H., M.H.

Judul                               : STUDI PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN MALAYSIA TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK

Penulis                           : Mustika Nurussaba, Geatriana Dewi

Jurnal                              : Jurnal Prodi Ilmu Hukum

Volume & Tahun        : Vol. 1 No. 1 – April 2023

Link Artikel Jurnal    : http://www.jurnal.uts.ac.id/index.php/jpih/article/view/3395/1559 

Pendahuluan / Latar Belakang

Jurnal yang berjudul “STUDI PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN MALAYSIA TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK” ini membahas langsung kepada topik yang dibahas oleh penulis, sehingga dalam hal ini pembaca akan lebih mudah untuk paham.

Anak   merupakan   bagian   terpenting   dari   pembangunan peradabanmanusia.   Memiliki kedudukan sebagai manusia yang utuh dan memiliki peran yang utuh sebagai penerus eksistensi manusia,  namun  dengan  posisi  yang  rentan,  mereka  memiliki  hak  yang sejatinya  mendapatkan perlindungan. Perlindungan akan hak-hak anak oleh negara tersebut seharusnyadilakukan secara maksimal dengan  tanpa  membedakan  satu  dengan  lainnya. Dalam  konstitusi  negara  disebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan  dari  kekerasan  dan  diskriminasi.”Ada  banyak alasan  mengapa  anak  merupakan kelompok  manusia  yang  harus  mendapatkan  perlindungan.  Salah  satunya  adalah  posisi  anak yang  rentan  mendapatkan  kekerasan  dan  ketidakadilan.  Praktek  kekerasan  terhadap  anak  sudah menjadi isu klasik dan terjadi di semua negara di dunia, termasuk Indonesia dan Malaysia. Antara Indonesia dengan Malaysia memiliki latar belakang yang sama berkaitan dengan kekerasan   terhadap   anak   namun   juga   memiliki   pengaturan   yang   berbeda   terkait   tindak kekekerasan terhadap  anak,  di  Indonesia  di  atur  dalam  Undang-Undang  No.  35  Tahun  2014 tentang  Perlindungan  Anak.  Sedangkan  di Malaysia  pengaturan  mengenai  kekerasan  terhadap anak  di  atur  dalam  Akta  Kanak-Kanak  (Child  Act)  2001.  Akta  Kanak-Kanak adalah  suatu Undang-Undang  untuk  mengkonsolidasikan  dan  mengubah  Undang-Undang  yang  berkaitan dengan  perawatan, perlindungan  dan  rehabilitasi  anak-anak  dan  untuk  mengatur  hal-hal  yang berhubungan anak.

Pemilihan  negara  Malaysia  sebagai  kajian  perbandingan  didasarkan  pada pertama,  aspek geografis  negara  Malaysia berbatasan dengan  Indonesia,  sehingga  sering  dikatakan  sebagai negara  bertetangga. Kedua,  aspek  hukum,  asas  hukum  pidana  yang berlaku  untuk  penjatuhan pidana  sama  dengan  Indonesia  bahwa  seseorang  dihukum  atas  kekuatan  Undang-Undang  dan seseorang tidak boleh dituntut dua kali dalam perkara yang sama.   Ketiga, bahwa Indonesia dan Malaysia adalah negara yang meratifikasi konvensi hak anak dengan tujuan penyediaan layanan kesehatan,  pendidikan,  dan  jaminan  sosial  bagi  anak, perlindungan  terhadap  anak  dari  situasi yang  membahayakan 

Konsep / Teori dan Tujuan Penelitian 

Di dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk mengkaji konsep tentang kekerasan terhadap anak dan bagaimana perlindungan terhadap anak tersebut sesuai yang dilakukan negara Indonesia dan Malaysia dari aspek hukum.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persamaan  dan  perbedaanantara Indonesia dan Malaysia mengenai konsep kekerasan terhadap anak. Namun  tidak  berhenti  pada  tahap  perbedaan  dan  persamaan  itu  saja,  penelitian  ini  juga berupaya untuk memberi makna dan menarik suatu manfaat demi perbaikan hukum di Indonesia sejauh menyangkut tindak pidana kekerasan terhadap anak

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian  hukum normatif  atau penelitian  perpustakaan  merupakan  penelitian  yang  menggunakan  berbagai  data sekunder  seperti  peraturan  perundang-undangan, putusanpengadilan,  teori  hukum  dan    dapat berupa  pendapat  para  sarjana.

1) Obyek Penelitiannya

Obyek penelitian di dalam kajian ini adalah penelitian perbandingan hukum. Penulis membangun pengetahuan mengenai hukum positif dengan membandingkan sistem hukum di suatu negara dengan sistem hukum di negara lainnya. Dalam hal ini penulis membandinngkan bagaimana konsep tentang kekerasan terhadap anak dan perlindungan anak di dalam sistem hukum di Indonesia dan Malaysia.

2) Pendekatan Penelitiannya 

Pendekatan di dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perbandingan (comparative approach) karena penulis pada penelitian ini melakukan suatu perbandingan mengenai undang undang tentang kekerasan terhadap anak antara yang berlaku di Indonesia dengan Malaysia. Penulis juga mencoba untuk melihat perbedaan dan persamaan hukum, serta konsistensi filosofi undang-undang tersebut.

3) Jenis dan Sumber Data Penelitiannya 

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang terdiri dari peraturan  perundang-undangan, putusan pengadilan,  teori  hukum  dan    dapat berupa  pendapat  para  sarjana.  Bahan  pustaka  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  yaitu data sekunder  yang  sumber  datanya  diperoleh  melalui  penelusuran  dokumen-dokumen  yang  berkaitan dengan  isu  kekerasan terhadap  anak  di  Indonesia  dan  Malaysia. Bahan hukum primer pada penelitian ini antara lain Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang penghapusan kekerasan dalam rumah  tangga, dan KUHP yang merupakan pertaurang undang – undang di Indonesia serta Akta  Kanak-Kanak  611  (A1511),  Malaysia  penal  code, Undang-Undang  pelanggaran  seksual  yaitu  Sexual  Offences  Againt  Children  Bill  2017  (Akta 792) yang merupakan undang undang negara Malaysia. Untuk bahan hukum sekunder diperoleh dari buku – buku, jurnal ataupun artikel, sedangkan bahan hukum tersier diperoleh dari sumber internet.

4) Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data Penelitiannya 

Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi kepustakaan dalam hal ini penulis mengkaji informasi tertulis yang berasal dari berbagai sumber yang sudah dipublikasikan secara luas yaitu undang – undang yang berkaitan dengan kekerasan terhadap anak baik yang berlaku di Indonesia ataupun Malaysia. Selanjutnya data tersebut diolah kemudian penulis menganalisis  suatu  permasalahan  hukum melalui   peraturan   perundang-undangan, yurisprudensi,   dan   dokumen-dokumen   hukum   di Indonesia dan Malaysia terkait dengan masalah tindak pidana kekerasan terhadap anak.

Hasil Penelitian & Pembahasan 

Upaya  perlindungan  hukum  terhadap  anak  dilakukan  oleh  pemerintah  dengan  mengeluarkan Undang-Undang  perlindungan terhadap  anak  yang  mengatur  anak  dalam    mendapatkan  hak, perlindungan,   dan   keadilan   atas   apa   yang   menimpa   mereka.   Selain   itu,   undang-undang perlindungan   anak   juga   mengatur   tentang   sanksi   pidana   bagi   siapapun   yang   melakukan penganiayaan  terhadap  anak.  Mengenai perumusan   sanksi   pidana   sebagaimana   terdapat   dalam   undang-undang   perlindungan   anak, menunjukkan bahwa Indonesia menganut teori pendekatan Retributiveyaitu hukuman/pemidanaan sebagai suatu  tuntutan  mutlak  untuk  mengadakan  pembalasan  (vergelding)  terhadap  orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat

Ketentuan sanksi pidana tindak kekerasan terhadap anak antara Indonesia dan Malaysia dapat dirumuskan beberapa hal untuk di perbandingkanyaitu, dari aspek kekerasan berdasarkan Undang-Undang perlindungan terhadap anak di Indonesia Undang-Undang No. 35 tahun 2014 berlaku pada “setiap orang “ artinya bisa dalam lingkup keluarga dan bukan keluarga.  di  Indonesia  peraturan dalam  lingkup  keluarga  diatur  dalam  Undang-Undang  No.  23  Tahun  2004  tentang  penghapusan kekerasan  dalam  rumah tangga,  dimana  anak  merupakan  orang-orang  yang  berada  pada  lingkup rumah tanggadan yang bukan dalam lingkup keluarga diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014tentang  perlindungan  anak.  Sedangkan di  Malaysia  pelaku  tindak  kekerasan terhadap  anak berdasarkan Akta kanak-Kanak 611 (A1511) lebih berfokus pada pada orang-orang dalam lingkup keluarga seperti ibu dan bapak atau pengasuhnya atau anggota keluarga lainnya

Beratnya sanksi pidana pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 untuk denda paling rendah Rp.  72.000.000,00  dan  yang  terberat Rp.  5.000.000.000,00,  pada  pidana  penjara  paling  rendah  3 tahun  6  bulan  dan  paling  lama  15  tahun.  Sementara  itu  di Malaysia pidana  denda  20.000  ringgit atau  sekitar Rp. 70.000.000,00 pidana  denda  tidak boleh  melebihi 50.000 ringgit atau  sekitar Rp. 160.000.000,00  dan  pidana  penjara  paling  lama  10  tahun. Dalam  KUHP  Malaysia  sanksi  pidana terhadap  perbuatan  kekerasan seksual/pemerkosaan  tidak  hanya  berupa  pidana  penjara kurang lebih 20 (dua puluh) tahun, tetapi juga hukuman dera/cambuk, hal ini disebabkan karena perbuatan pemerkosaan   dalam   KUHP   Malaysia   mengakomodasi   nilai-nilai   ajaran   islam.Pelaksanaan hukuman  cambuk  di  Malaysia  dilakukan di  dalam  penjara  dan  tidak  di  lakukan  didepan  umum, jumlah cambukan yang diberikan tidak boleh melebihi dari 6 kali cambukan.Sedangkan di dalam KUHP  Indonesia  sanksi  yang  digunakan  dalam  perbuatan pemerkosaan  adalah  sanksi  tunggal berupa pidana penjara dengan waktu paling lama 12 (dua belas) tahun

Karena  penjatuhan  sanksi  yang  terbilang  ringan  dalam  Akta  Kanak-Kanak  611  di  Malaysia dan   tidak   sesuai   dengan   tindak   kekerasan   kepada   anak   yang   telah   dirumuskan,   sehingga pemerintah  Malaysia  mengesahkan  Undang-Undang  pelanggaran seksual  yaitu  Sexual  Againts Children Bill 2017 (Akta 792), sehingga pelanggaran segala bentuk pelanggaran seksual pada anak tunduk pada ketentuan  ini. Sedangkan  di Indonesia  belum di buat peraturan  perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pelanggaran seksual pada anak. Selanjutnya  dalam  hal  sistem  pidana,  pada  Undang-Undang  No.  35  Tahun  2014 menganut dua  sistem  yaitu  minimum  khusus  dan  maksimum  khusus,  hal  ini  disesuaikan  dengan  beratnya setiap  rumusan delik tindak  kekerasan  terhadap  anak.  Sedangkan  pada  Akta  Kanak-Kanak  611 menerapkan sistem maksimum khusus.

Penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak di indonesia menggunakan metode SPP, yaitu  sosialisasi,  penerapan  dan  penegakkan hukum.  Metode ini  dikembangkan  berdasarkan konsep  Hurlock  pada  tahun  1998  yang  menyatakan  sosialisasi  adalah  suatu proses  seseorang memperoleh  kemampuan  sosian  untuk  dapat  menyesuaikan  diri  dengan  tuntutan  sosial. Selain  metode  SPP di Indonesia  juga  mengunakan  penegakan  hukum  preventif  dan penegakan hukum refrensif dalam penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak. Penegakan hukum preventif  yaitu,  penegakan  hukum  yang  dapat  dilakukan  dengan  memeberikan  bekal pemahaman. dan  kekesadaran  bagi  masyarakat,  maupun  pihak-pihak  yang  terkait  tentang  kekerasan  terhadap anak. Sementara itu, penegakan  hukum refrensif yaitu, penegakan  hukum yang dilakukan  apabila pelanggaran kekerasan terhadap anak tersebut telah terjadi.

Sedangkan  di  Malaysia  penyelesaian  kasus  kekerasan  terhadap  anak  yaitu  melalui Jabatan  Kebajikan  Masyarakat  (JKM). Peranan penting  dari  Jabatan  Kebijakan  Masyarakat  ini adalah memberikan pelayanan yang inklusif kepada anak, layanan perlindungan kepada anak-anak dari  semua  bahaya  termasuk  jenis  pelecehan,  penyiksaan,  diskriminasi  dan  eksploitasi.  Peranan utama  dari Dapartemen  Kesejahteraan  Sosial  (JKM)  adalah  untuk  menyelamatkan,  melindungi, merawat  dan  membantu  rehabilitasi  anak dan  keluarga  anak.Negara  Malaysia tidak  mengatur secara  khusus  terkait  penyelesaian  kekerasan  terhadap  anak  dalam  suatu perundang-undangan melainkan  lebih  mengatur  tentang  pencegahan  kekeraan  terhadap  anak  melalui  tiga  pola  yaitu, kampanye kepada orangtua, kampanye kepada masyarakat, dan melalui media.

Kelebihan, Kekurangan, dan Saran

Secara keseluruhan artikel ini sudah lengkap dan sesuai dengan sistematika penulisan. Abstrak dalam hal ni juga sudah mampu menjelaskan secara umum mengenai topik yang akan di bahas yaitu perbandingan anatara hukum di Indonesia dengan Malaysia terkait dengan kekerasan terhadap anak. Dari segi pembahasan juga sudah lengkap dimana penulis menyajikan perbandingan antara masing – masing peraturan perundang undangan diantaraya mengenai konsep kekerasan, besaran pidana yang diajatuhkan, sampai kepada penyelesaian tindak pidananya. Namun dalam menjelaskan pembahasan tersebut penulis belum terlalu menggali lebih mendalam dari masing masing aspek tersebut. Dengan adanya penelitian perbandingan ini jika memang ada penerapan hukum negara Malaysia tentang kekerasan terhadap anak yang lebih baik maka bisa menjadi suatu dorongan untuk melakukan perbaikan – perbaikan hukum di Indonesia terutama yang ada kaitannya dengan perlindungan anak. 

Jurnal 3

Reviewer                       : Muhammad Naufal Hisyami Putra Widyaningtyas

Dosen Pembimbing : Markus Marselinus Soge, S.H., M.H.

Judul                               :  ANALISIS  YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA ABORSI SECARA ILLEGAL(Studi Putusan Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.Tka)

Penulis                           : Arwansyah, Mustamam, Didik Miroharjo

Jurnal                              : Jurnal Ilmiah MetadataJurnal Ilmiah Metadata

Volume & Tahun        : Vol. 4 No. 2 – Mei 2022

Link Artikel Jurnal    : https://ejournal.steitholabulilmi.ac.id/index.php/metadata/article/view/194/269  

Pendahuluan / Latar Belakang

Jurnal yang berjudul “ANALISIS  YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA ABORSI SECARA ILLEGAL(Studi Putusan Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.Tka)” ini membahas langsung kepada topik yang dibahas oleh penulis, sehingga dalam hal ini pembaca akan lebih mudah untuk paham.

Aborsi telah dikenal sejak lama, aborsi memiliki sejarah panjang dan telah dilakukan oleh berbagai metode baik itu natural atau herbal, penggunaan alat-alat tajam,  trauma  fisik  dan  metode  tradisional  lainnya. Banyak  negara di  dunia  isu aborsi adalah permasalahan menonjol dan memecah belah publik atas kontroversi etika  dan  hukum.  Aborsi  dan  masalah-masalah  yang berhubungan  dengan  aborsi menjadi   topik   menonjol   dalam   politik   nasional   di   banyak   negara   sering melibatkan  Gerakan menentang  aborsi  pro-kehidupan  dan  pro-pilihan  atas  aborsi di seluruh dunia. Menggugurkan kandungan sama halnya dengan membunuh atau merampas hak hidup seseorang, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran hukum yang memiliki sanksi tegas.Berdasarkan  Undang-Undang  No.36  Tahun  2009  tentang  Kesehatan, dalam Pasal 75 disebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan aborsi dan hal ini dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan”.

Prinsipnya  tindakan  aborsi  secara  hukum dilarang,  tetapi  kenyataannya aborsi masih  banyak dilakukan  oleh  perempuan  dengan berbagai  alasan  baik medik  maupun  non-medik seperti  dalam Putusan  Pengadilan  Negeri  Takalar Register  Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.Tka  dengan  terdakwa  Halijah  Binti  Rollah bersalah   melakukan   tindak   pidana   turut serta melakukan   perbuatan   sengaja melakukan  aborsi  yang  mengakibatkan  matinya  wanita  dan  janin  sebagaimana diancam  pidana  dalam dakwaan  Jaksa  Penuntut  Umum  yakni  melanggar  Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 348 ayat (2) jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Konsep / Teori dan Tujuan Penelitian 

Di dalam penelitian ini konsep atau permasalahan yang diangkat adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana tindak pidana aborsi secara illegal berdasarkan studi kasus Putusan Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.TKA serta  bagaimana pertimbangan hukum oleh hakim terkait tindak pidana tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk untuk  mempelajari  tujuan  hukum,  nilai-nilai  keadilan, validitas  hukum, konsep-konsep  hukum dan  norma-norma  hukum yang berkaitan dengan pengaturan hukum pada tindak pidana aborsi illegal.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang diakukan dengan cara meneliti bahan  pustaka (data  sekunder)  atau  penelitian  hukum  perpustakaan. 

1) Obyek Penelitiannya

Obyek penelitian di dalam kajian ini adalah penelitian asas – asas hukum dimana dalam hal ini penulis mencoba untuk mencari dan menemukan asas – asas hukum berdasarkan studi kasus.Asas – asas hukum inilah yang kemudian menjadi latar belakang atau dasar adanya keputusan hakim terkait tindak pidana aborsi illegal. Dalam Pengaturan sanksi pidana bagi pelaku tindakpidanaaborsi illegal adalah KUHP berlaku  sebagai lex  generale melalui ketentuan  Undang-Undang  No.  36 Tahun 2009  tentang  Kesehatan  yang berlaku sebagai lex special.Perbuatan  terdakwa diancam  dengan  sanksi  pidana  sebagaimana  diatur  dalam Pasal  194  Undang-Undang Nomor  36  Tahun  2009  Tentang  Kesehatan  Jo  Pasal  55  ayat(1)  ke  1 KUHP dan Pasal 348 ayat (2) Jo Pasal 55 ayat(1) ke 1 KUHP.

2) Pendekatan Penelitiannya 

Pendekatan  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  disesuaikan denganpermasalahan dan pembahasan penelitian. Sesuai permasalahan dan tujuan dari penelitian, maka dalam penelitian ini digunakan beberapa pendekatan, antara lain:  pendekatan undang-undang  (statute approach) yaitu dengan menganalisis peraturan perundang – undangan berkaitan dengan kasus tindak pidana aborsi ilegal,  pendekatan  kasus  (case approach) yaitu Putusan   Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.Tka dan   pendekatan konseptual (conseptual approach)

3) Jenis dan Sumber Data Penelitiannya 

Sumber data dalam penelitian ini bersumber dari data   sekunder,yaitu data yang  diperoleh  dari  hasil  penelitian  kepustakaan, berupa  bahan-bahan  hukum, yang terdiri atas:         

a. Bahan hukum primer, yaitu:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang - Undang   Negara   Republik   Indonesia Nomor   1   Tahun   1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3) Undang-Undang   Negara   Republik   Indonesia   Nomor 8   Tahun   1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

6) Kode Etik Kedokteran

b. Bahan  hukum  sekunder,  yang  memberikan  penjelasan  mengenaibahan  hukum  primer,  seperti  rancangan  undang-undang, hasil-hasil  penelitian, hasil karya ilmiah, buku-buku dan lain sebagainya.

c. Bahan   hukum   tertier,yakni   bahan   hukum   yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan seterusnya

4) Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data Penelitiannya 

Teknik   pengumpulan   datapada   penelitian   dilakukan   dengan   cara melaksanaan penelitian kepustakaan (library reseacrh), yaitu dengan mengadakan studi dokumen atau telaah pustaka dengan cara menelusuri berbagai bahan-bahan hukum  yang  relevan dengan pembahasan  penelitian. Studi   dokumen   bagi   penelitian   hukum meliputi studi bahan-bahan hukum, meliputi: bahan hukum primer, sekunder dan bahan hukum tersier. Data  yang  berhasil  dikumpulkan  dari  penelitian  kepustakaan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, dengan cara menguraikan data dalam bentuk  uraian  kalimat  yang  tersusun  secara sistematis.  Selanjutnya,  alat untuk    menganalisis    data    dalam    penelitian    ini    menggunakan    interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis.

Hasil Penelitian & Pembahasan

Undang-Undang  Nomor  36  Tahun  2009  tentang  Kesehatan memberikan ruang terhadap terjadinya aborsi. Melihat rumusan Pasal 75 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan tampaklah bahwa dengan jelas Undang-Undang  Nomor  36  Tahun 2009  melarang  aborsi  kecuali  untuk  jenis abortus  provocatus  medicalis (aborsi  yang  dilakukan  untuk  menyelamatkan  jiwa si   ibu   dan   atau janinnya).   Dalam   dunia kedokteran aborsi   provocatus medicalis dapat dilakukan jika nyawa si ibu terancam bahaya maut dan juga dapat dilakukan  jika  anak  yang  akan  lahir  diperkirakan  mengalami  cacat  berat  dan diindikasikan  tidak  dapat hidup  diluar  kandungan,misalnya  janin  menderita kelainan Ectopia Kordalis (janin yang   akan   dilahirkan tanpa dinding   dada sehingga  terlihat  jantungnya),  Rakiskisis (janin  yang  akan  lahir  dengan  tulang punggung terbuka tanpa ditutupi kulit) maupun Anensefalus (janin akan dilahirkan  besar).

Secara hukum, pengguguran kandungan dengan alasan non-medis dilarang keras.    Tindakan    yang    berhubungan   dengan pelaksanaan    aborsi    meliputi melakukan, menolong, atau menganjurkan aborsi, tindakan ini diancam hukuman pidana  seperti yang  diatur  dalam  Undang-Undang  Kesehatan  Nomor  36  Tahun 2009 dan KUHP Pasal 346. Kelebihan  dari pasal-pasal  aborsi menurut Undang-Undang  Nomor  36 tahun 2009 adalah ketentuan pidananya. Ancaman pidana yang diberikan terhadap pelaku aborsi provocatus kriminalis jauh lebih berat dari ancaman pidana sejenis KUHP.  Pasal 194  Undang-Undang  Nomor  36Tahun  2009 pidana  yang  diancam adalah  pidana  penjara  paling  lama  10  tahun.Dan  pidana  denda  paling  banyak Rp.1.000.000.000.000,-(satu milyar).Sedangkan  dalam  KUHP,  Pidana  yang diancam  paling lama  hanya  4  tahun penjara  atau  denda  paling  banyak  tiga  ribu rupiah  (Pasal  299  KUHP),  paling  lama empat  tahun  penjara  (Pasal  346  KUHP) paling  lama  dua  belas  tahun  penjara  (Pasal  347 KUHP),  dan  paling  lama  lima tahun enam bulan penjara (Pasal 348KUHP).

Mengenai  ancaman  sanksi  pidana  bagi  pelaku abortus  provocatus,  dalam hukum  pidana  (KUHP)  dirumuskan  adanya  ancaman pidana  bagi  mereka  yang melakukan pengguguran  kandungan. KUHP  tidak  memperdulikan  latar  belakang atau alasan dilakukannya  pengguguran  kandungan  itu.  Dengan  demikian,  apabila abortus   provocatus adalah   pilihan   yang   harus   diambil   dan   dilakukan   oleh perempuan  korban  perkosaan,  baik  atas  permintaan  diri  sendiri  maupun  melalui bantuan orang lain atas persetujuan ataupun tanpa persetujuan perempuan korban perkosaan,  maka  dengan  menggunakan  ketentuan  KUHP,  perempuan korban perkosaan   tidak   dapat   lepas   dari   jeratan   hukum. .

Dihubungkan  dengan penerapan  sanksi pidana  terhadap  pelaku  tindak pidana aborsi illegal berdasarkan putusan Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.Tka, maka sanksi pidana bagi orang yang melakukan kejahatan tersebut adalah sebagaimana diatur   dalam Pasal 194   Undang-Undang   Nomor   36   Tahun   2009   Tentang Kesehatan  Jo  Pasal55  ayat (1)  ke  1 KUHP  dan  Pasal  348  ayat  (2)  Jo Pasal  55 ayat (1) ke 1 KUHP.Perbuatan terdakwa   telah   memenuhi   seluruh   unsur-unsur   dari   pasal dakwaan  gabungan  alternatif komulatif  sehingga  Majelis  berkesimpulan  bahwa terdakwa  telah  terbukti  secara  sah  dan  menyakinkan  melakukan  tindak pidana yang  didakwakan  kepadanya,  sehingga  terdakwa  Halijah  Binti  Rollah  terbukti secara   sah   dan   meyakinkan   bersalah   melakukan   tindak   pidana   turut   serta melakukan  perbuatan  sengaja  melakukan  aborsi  yang  mengakibatkan  matinya wanita dan  janin  tersebut sebagaimana  dalam  dakwaan  Penuntut  Umum.

Perbuatan terdakwa  telah  memenuhi  seluruh  unsur-unsur  dari  dakwaan  Penuntut  Umum. Perbuatan  terdakwa  telah  memenuhi seluruh  unsur-unsur  dari  pasal dakwaan gabungan  alternatif  komulatif  sehingga  Majelis  berkesimpulan  bahwa  terdakwa telah   terbukti   secara   sah   dan   menyakinkan   melakukan   tindak   pidana   yang didakwakan  kepadanya,  yaitu  melanggar  Pasal  194 Undang-Undang  Nomor  36 Tahun  2009  Tentang  KesehatanJo  Pasal  55  ayat(1)  ke  1  KUHP  dan Pasal  348 ayat(2)Jo  pasal  55 ayat(1)  ke  1  KUHP,  sehingga  Majelis  berkesimpulan  bahwa terdakwa  telah  terbukti  secara  sah  dan  meyakinkan  bersalah melakukan  tindak pidana aborsi secara tidak sah.Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan ternyata pada diri terdakwa tidak ada ditemukan alasan-alasan yang dapat menghilangkan pertanggungjawaban   pidana   baik   alasan   pembenar   maupun   alasan   pemaaf, sehingga  terdakwa  dinilai  mampu  bertanggung  jawab  atas  kesalahannya,  oleh karena  itu  kepada  terdakwa  haruslah dijatuhi  pidana  yang  setimpal  dengan kesalahannya tersebut.

Kelebihan, Kekurangan, dan Saran

Dilihat secara umum artikel ini sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari abstrak yang mampu menjelasakan secara jelas apa yang akan dibahas di dalam jurnal ini. Dari segi pembahasan juga lengkap meliputi pengaturan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana aborsi illegal, pertanggungjawaban  pidana  terhadap tindak pidana aborsi illegal, serta pertimbangan   hukum   hakim   terhadap pelaku   tindak   pidana aborsi illegal. Metode dan pendekatan yang digunakan juga sudah sanagat sesuai. Tetapi di dalam penulisan artikel ini terdapat beberapa kalimat yang berulang – ulang dan terkesan bertele tele, serta ada beberapa pointer atau numbering yang tidak rapih. Untuk kedepannya munkin penulis bisa lebih baik di dalam melakukan pengembangan kalimat agar tidak terkesan berulang – ulang. Serta kedepannya diharapkan artikel ini dapat menjadi acuan bagi penulis lain yang ingin melakukan penelitian hukum normatif terutama yang menggunakan penedekatan kasus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun