Pada tulisan kali ini saya mencoba untuk melakukan review terhadap tiga artikel yang menggunakan metode penelitian hukum normatif. Artikel yang akan saya review merupakan artikel yang dipublikasikan pada tahun 2022 dan 2023. Berikut adalah review dari masing-masing jurnal :
Jurnal 1
Reviewer : Muhammad Naufal Hisyami Putra Widyaningtyas
Dosen Pembimbing : Markus Marselinus Soge, S.H., M.H.
Judul : KAJIAN HUKUM PENERAPAN KETENTUAN HUKUMAN MATI DALAM UNDANG - UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Penulis : Grenaldo Ginting
Jurnal : Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam
Volume & Tahun : Vol. 5 No. 1 – April 2023
Link Artikel Jurnal : https://ejournal.insuriponorogo.ac.id/index.php/almanhaj/article/view/2442
Pendahuluan/ Latar Belakang
Jurnal yang berjudul “KAJIAN HUKUM PENERAPAN KETENTUAN HUKUMAN MATI DALAM UNDANG - UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI” ini membahas langsung kepada topik yang dibahas oleh penulis, sehingga dalam hal ini pembaca akan lebih mudah untuk paham.
Pendahuluan pada jurnal ini berangkat pada kenyataan bahwa korupsi merupakan masalah nasional yang proses penanggulangannya terus diupayakan, dan salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui pembaruan materi-materi hukum, dalam hal ini peraturan undang-undang. Korupsi merupakan suatu fenomena sosial yang merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang. Hal ini menjadi penting mengingat dampak dari tindak pidana korupsi yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dalam berbagai aspek, dan proses penanggulangannya telah dilakukan berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan tentang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu dalam jurnal ini penulis lebih menyoroti Undang-undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-Undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, diantaranya ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Perumusan ancaman pidana mati dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia selalu menjadi polemik yang menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Terlepas dari hal tersebut, ancaman pidana mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sepertinya tidak bermakna apapun karena penerapannya diabaikan oleh aparat penegak hukum. Hal ini berhubungan dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (2), maka penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut sifatnya adalah fakultatif. Artinya meskipun tindak pidana korupsi dilakukan dalam “keadaan tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dapat saja tidak dijatuhi pidana mati.
Konsep/Teori dan Tujuan Penelitian
Konsep atau teori dalam penelitian ini adalah korupsi sebagai suatu masalah yang harus diatasi. Penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi harus dilakukan tidak terkecuali hukuman mati. Dimana terkait hukuman mati ini telah diatur di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kajian hukum penerapan ketentuan hukuman mati dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Dimana dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo 20 Tahun 2001 hukuman mati dapat dijatuhkan kepada koruptor dalam keadaan tertentu.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Secara teoritis, tujuan penelitian merupakan usaha yang dilakukan untuk mengetahui satu hal. Pengetahuan yang diperoleh dari jenis penelitian seperti ini tidak dapat dimanfaatkan secara langsung atau secara praktis. Sedangkan secara praktis, tujuan penelitian ini ialah mencari serta menemukan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan langsung di dalam kehidupan
1) Obyek Penelitiannya
Obyek penelitian di dalam kajian ini adalah penelitian sistematika hukum. Dimana dalam hal ini penulis membahas pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan konsep atau pengertian “keadaan tertentu” yang menjadi pemberat seorang pelaku tindak pidana korupsi untuk bisa dijatuhi hukuman mati.
2) Pendekatan Penelitiannya
Adapun pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang – undangan (statue approach). Dalam hal ini penulis menganalisis Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap isu atau permasalahan yang sedang dibahas yaitu mengenai pidana atau hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Dimana Pasal 2 ayat 2 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
3) Jenis dan Sumber Data Penelitiannya
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer dalam hal ini berupa peraturan perundang – undangan yaitu Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku ilmu hukum, jurnal ilmu hukum, laporan penelitian, artikel ilmiah, dan bahan seminar atau lokakarya.
4) Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data Penelitiannya
Data yang dikumpullkan dalam penelitian menggunakan teknik studi pustaka dalam hal ini penulis mengkaji informasi tertulis yang berasal dari berbagai sumber yang sudah dipublikasikan secara luas diantaranya Undang – Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta buku hukum, artikel, ataupun bahan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Selanjutnya dalam mengolah data penulis menggunakan interprestasi dan penafsiran hukum untuk menganalisis dan menjelaskan baik fakta hukum maupun aturan hukum yang berlaku mengenai Kajian Hukum Penerapan Ketentuan Hukuman Mati Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Data tersebut kemudian di analisis menggunakan analisis yuridis normatif.
Hasil Penelitian & Pembahasan
Korupsi sudah sangat meluas secara sistemik merasuk ke semua sektor diberbagai tingkatan pusat dan daerah, disemua lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Oleh karenanya, korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Secara tegas hal tersebut diakui dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Kondisi ini yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengupayakan berbagai upaya pemberantasan korupsi. Hal ini ditambah data dari Transparancy International bahwa Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/ CPI) ditahun 2010 adalah sebesar 2,8 dan menduduki ranking 110 dari 178 negara, Tahun 2011 mencapai 3,0 dan menduduki ranking 100 dari 183 negara. Sedangkan di tahun 2012, CPI Indonesia mencapai 3,2 namun turun peringkat menjadi 118 dari 182 negara. Beberapa kasus menonjol (celebrity case) yang mendapat perhatian besar masyarakat, dan membutuhkan upaya dan kerja keras aparat penegak hukum untuk mengungkapkannya adalah antara lain kasus korupsi pajak, proyek Hambalang, simulator SIM, dan import daging sapi, yang melibatkan pegawai pajak, anggota DPR, pejabat Polri, petinggi partai politik, bahkan Menteri.
Hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan, demikian bunyi Pasal 2 ayat 2. Apa maksud keadaan tertentu pada pasal tersebut dijelaskan lebih jauh dalam bab penjelasan Undang-undang tersebut. Apa saja Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, demikian bunyi penjelasan dari Pasal 2 ayat 2 tersebut. Ancaman hukuman mati dalam Pasal 2 ayat 2 itu sampai saat ini belum pernah didakwakan ataupun menjadi landasan vonis hakim.
Sebagai upaya penanggulangan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, pembuat undang-undang memformulasikan beberapa hal penting, yang dianggap dapat dipakai sebagai alat untuk menjerat dan mendatangkan efek jera kepada pelaku, yakni asas pembuktian terbalik dan sanksi yang berat, termasuk pidana mati. Menurut Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqodas, ada 3 kriteria utama yang membuat seorang pelaku tindak pidana korupsi layak dijatuhi hukuman mati; 1. Nilai uang negara yang dikorupsi lebih dari Rp 100 miliar dan secara massif telah merugikan rakyat; 2. Pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah pejabat negara; 3. Pelaku korupsi sudah berulang-ulang kali melakukan korupsi. Salah satu penyebab tidak diterapkannya ancaman pidana mati kepada koruptor karena perumusan ancaman pidana mati diikuti dengan syarat dalam“keadaan tertentu” (Pasal 2 ayat (2). Dalam penjelasan Pasal ini dirumuskan bahwa,yang dimaksud dengan keadaan dengan“keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Dari perspektif Hak Asasi Manusia, hukuman mati dianggap sebagai pembatasan hak asasi manusia serius. Namun, ada pandangan bahwa hukuman mati dapat dilaksanakan dalam kasus kejahatan pidana tertentu, dan dalam hukum syariah, terdakwa yang dihukum mati dapat membayar diyat (uang santunan) untuk mendapatkan ampunan dari keluarga korban. Meskipun ada perdebatan tentang hukuman mati, UUD RI 1945 memberikan perlindungan kuat terhadap hak asasi manusia, sehingga pengambilan hak hidup seseorang dianggap sebagai pelanggaran hak tersebut. Debat mengenai hukuman mati tetap relevan karena adanya upaya internasional dan regional untuk membatasi penggunaan hukuman mati., Oleh karena itu hukuman mati hendaknya hanya dijatuhkan pada bentuk korupsi yang paling jahat dan berdampak luas, dan perumusannya harus jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan keragu-raguan dalam penerapannya. Selain itu, hukuman mati harus sangat hati-hati untuk dijatuhkan. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang aparat penegak hukumnya sering terlibat korupsi seperti sekarang ini, seseorang sangat mungkin menjadi korban peradilan sesat (miscarriage of justice). Karena itu, untuk mencegah miscarriage of justice terdakwa korupsi harus diberikan hak melakukan upaya hukum yang adil. Dan jika akhirnya dipidana mati, terpidana korupsi masih memiliki kesempatan untuk mengajukan grasi atau mendapatkan pemberlakuan sifat khusus dari pidana mati tersebut, seperti yang dirumuskan dalam konsep KUHP nasional.
Kelebihan, Kekurangan, dan Saran
Dilihat dari sitematika penulisan artikel ini sudah sangat baik karena sudah lengkap dan sesuai dengan struktur sebuah artikel. Abstrak yang dibuat oleh penulis juga sudah bisa menggambarkan secara umum mengenai pokok masalah yang akan dibahas di dalam penelitian ini. Pembahasan yang dibuat oleh penulis juga sudah cukup lengkap mulai dari melihat bagaimana perkembangan tindak pidana korupsi, kemudian eksistensinya di dalam UU Pemberantasan TP Korupsi dalam hal ini terkait dengan frasa “keaadaan tertentu” yang secara lebih lanjut dijelaskan oleh penulis mengenai frasa tersebut serta kaitanya dengan penrapan pidana mati di Indonesia. Namun dalam hal ini ada hal yang kurang dibahas oleh penulis yaitu mengenai bagaimana solusi agar pidana mati tersebut dapat ditegakkan dan tidak menjadi suatu perdebatan, dalam hal ini penulis hanya berfokus kepada alasan – alasan mengapa pidana mati secara faktual tidak pernah diterapkan untuk pelaku tindak pidana korupsi. Oleh karena itu seharusnya terkait dengan petauran pidana hukuman mati ini harus diikuti dengan diikuti Grand Design Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Kemudian perlu juga dilakukan kajian dan perumusan ulang mengenai pidana hukuman mati ini terkait seberapa efektif dalm mengatasi tindak pidana korupsi di Indonesia.
Jurnal 2
Reviewer : Muhammad Naufal Hisyami Putra Widyaningtyas
Dosen Pembimbing : Markus Marselinus Soge, S.H., M.H.
Judul : STUDI PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN MALAYSIA TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK
Penulis : Mustika Nurussaba, Geatriana Dewi
Jurnal : Jurnal Prodi Ilmu Hukum
Volume & Tahun : Vol. 1 No. 1 – April 2023
Link Artikel Jurnal : http://www.jurnal.uts.ac.id/index.php/jpih/article/view/3395/1559
Pendahuluan / Latar Belakang
Jurnal yang berjudul “STUDI PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN MALAYSIA TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK” ini membahas langsung kepada topik yang dibahas oleh penulis, sehingga dalam hal ini pembaca akan lebih mudah untuk paham.
Anak merupakan bagian terpenting dari pembangunan peradabanmanusia. Memiliki kedudukan sebagai manusia yang utuh dan memiliki peran yang utuh sebagai penerus eksistensi manusia, namun dengan posisi yang rentan, mereka memiliki hak yang sejatinya mendapatkan perlindungan. Perlindungan akan hak-hak anak oleh negara tersebut seharusnyadilakukan secara maksimal dengan tanpa membedakan satu dengan lainnya. Dalam konstitusi negara disebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”Ada banyak alasan mengapa anak merupakan kelompok manusia yang harus mendapatkan perlindungan. Salah satunya adalah posisi anak yang rentan mendapatkan kekerasan dan ketidakadilan. Praktek kekerasan terhadap anak sudah menjadi isu klasik dan terjadi di semua negara di dunia, termasuk Indonesia dan Malaysia. Antara Indonesia dengan Malaysia memiliki latar belakang yang sama berkaitan dengan kekerasan terhadap anak namun juga memiliki pengaturan yang berbeda terkait tindak kekekerasan terhadap anak, di Indonesia di atur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan di Malaysia pengaturan mengenai kekerasan terhadap anak di atur dalam Akta Kanak-Kanak (Child Act) 2001. Akta Kanak-Kanak adalah suatu Undang-Undang untuk mengkonsolidasikan dan mengubah Undang-Undang yang berkaitan dengan perawatan, perlindungan dan rehabilitasi anak-anak dan untuk mengatur hal-hal yang berhubungan anak.
Pemilihan negara Malaysia sebagai kajian perbandingan didasarkan pada pertama, aspek geografis negara Malaysia berbatasan dengan Indonesia, sehingga sering dikatakan sebagai negara bertetangga. Kedua, aspek hukum, asas hukum pidana yang berlaku untuk penjatuhan pidana sama dengan Indonesia bahwa seseorang dihukum atas kekuatan Undang-Undang dan seseorang tidak boleh dituntut dua kali dalam perkara yang sama. Ketiga, bahwa Indonesia dan Malaysia adalah negara yang meratifikasi konvensi hak anak dengan tujuan penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial bagi anak, perlindungan terhadap anak dari situasi yang membahayakan
Konsep / Teori dan Tujuan Penelitian
Di dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk mengkaji konsep tentang kekerasan terhadap anak dan bagaimana perlindungan terhadap anak tersebut sesuai yang dilakukan negara Indonesia dan Malaysia dari aspek hukum.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaanantara Indonesia dan Malaysia mengenai konsep kekerasan terhadap anak. Namun tidak berhenti pada tahap perbedaan dan persamaan itu saja, penelitian ini juga berupaya untuk memberi makna dan menarik suatu manfaat demi perbaikan hukum di Indonesia sejauh menyangkut tindak pidana kekerasan terhadap anak
Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan merupakan penelitian yang menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, putusanpengadilan, teori hukum dan dapat berupa pendapat para sarjana.
1) Obyek Penelitiannya
Obyek penelitian di dalam kajian ini adalah penelitian perbandingan hukum. Penulis membangun pengetahuan mengenai hukum positif dengan membandingkan sistem hukum di suatu negara dengan sistem hukum di negara lainnya. Dalam hal ini penulis membandinngkan bagaimana konsep tentang kekerasan terhadap anak dan perlindungan anak di dalam sistem hukum di Indonesia dan Malaysia.
2) Pendekatan Penelitiannya
Pendekatan di dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perbandingan (comparative approach) karena penulis pada penelitian ini melakukan suatu perbandingan mengenai undang undang tentang kekerasan terhadap anak antara yang berlaku di Indonesia dengan Malaysia. Penulis juga mencoba untuk melihat perbedaan dan persamaan hukum, serta konsistensi filosofi undang-undang tersebut.
3) Jenis dan Sumber Data Penelitiannya
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, teori hukum dan dapat berupa pendapat para sarjana. Bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang sumber datanya diperoleh melalui penelusuran dokumen-dokumen yang berkaitan dengan isu kekerasan terhadap anak di Indonesia dan Malaysia. Bahan hukum primer pada penelitian ini antara lain Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dan KUHP yang merupakan pertaurang undang – undang di Indonesia serta Akta Kanak-Kanak 611 (A1511), Malaysia penal code, Undang-Undang pelanggaran seksual yaitu Sexual Offences Againt Children Bill 2017 (Akta 792) yang merupakan undang undang negara Malaysia. Untuk bahan hukum sekunder diperoleh dari buku – buku, jurnal ataupun artikel, sedangkan bahan hukum tersier diperoleh dari sumber internet.
4) Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data Penelitiannya
Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi kepustakaan dalam hal ini penulis mengkaji informasi tertulis yang berasal dari berbagai sumber yang sudah dipublikasikan secara luas yaitu undang – undang yang berkaitan dengan kekerasan terhadap anak baik yang berlaku di Indonesia ataupun Malaysia. Selanjutnya data tersebut diolah kemudian penulis menganalisis suatu permasalahan hukum melalui peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan dokumen-dokumen hukum di Indonesia dan Malaysia terkait dengan masalah tindak pidana kekerasan terhadap anak.
Hasil Penelitian & Pembahasan
Upaya perlindungan hukum terhadap anak dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang perlindungan terhadap anak yang mengatur anak dalam mendapatkan hak, perlindungan, dan keadilan atas apa yang menimpa mereka. Selain itu, undang-undang perlindungan anak juga mengatur tentang sanksi pidana bagi siapapun yang melakukan penganiayaan terhadap anak. Mengenai perumusan sanksi pidana sebagaimana terdapat dalam undang-undang perlindungan anak, menunjukkan bahwa Indonesia menganut teori pendekatan Retributiveyaitu hukuman/pemidanaan sebagai suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan (vergelding) terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat
Ketentuan sanksi pidana tindak kekerasan terhadap anak antara Indonesia dan Malaysia dapat dirumuskan beberapa hal untuk di perbandingkanyaitu, dari aspek kekerasan berdasarkan Undang-Undang perlindungan terhadap anak di Indonesia Undang-Undang No. 35 tahun 2014 berlaku pada “setiap orang “ artinya bisa dalam lingkup keluarga dan bukan keluarga. di Indonesia peraturan dalam lingkup keluarga diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dimana anak merupakan orang-orang yang berada pada lingkup rumah tanggadan yang bukan dalam lingkup keluarga diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014tentang perlindungan anak. Sedangkan di Malaysia pelaku tindak kekerasan terhadap anak berdasarkan Akta kanak-Kanak 611 (A1511) lebih berfokus pada pada orang-orang dalam lingkup keluarga seperti ibu dan bapak atau pengasuhnya atau anggota keluarga lainnya
Beratnya sanksi pidana pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 untuk denda paling rendah Rp. 72.000.000,00 dan yang terberat Rp. 5.000.000.000,00, pada pidana penjara paling rendah 3 tahun 6 bulan dan paling lama 15 tahun. Sementara itu di Malaysia pidana denda 20.000 ringgit atau sekitar Rp. 70.000.000,00 pidana denda tidak boleh melebihi 50.000 ringgit atau sekitar Rp. 160.000.000,00 dan pidana penjara paling lama 10 tahun. Dalam KUHP Malaysia sanksi pidana terhadap perbuatan kekerasan seksual/pemerkosaan tidak hanya berupa pidana penjara kurang lebih 20 (dua puluh) tahun, tetapi juga hukuman dera/cambuk, hal ini disebabkan karena perbuatan pemerkosaan dalam KUHP Malaysia mengakomodasi nilai-nilai ajaran islam.Pelaksanaan hukuman cambuk di Malaysia dilakukan di dalam penjara dan tidak di lakukan didepan umum, jumlah cambukan yang diberikan tidak boleh melebihi dari 6 kali cambukan.Sedangkan di dalam KUHP Indonesia sanksi yang digunakan dalam perbuatan pemerkosaan adalah sanksi tunggal berupa pidana penjara dengan waktu paling lama 12 (dua belas) tahun
Karena penjatuhan sanksi yang terbilang ringan dalam Akta Kanak-Kanak 611 di Malaysia dan tidak sesuai dengan tindak kekerasan kepada anak yang telah dirumuskan, sehingga pemerintah Malaysia mengesahkan Undang-Undang pelanggaran seksual yaitu Sexual Againts Children Bill 2017 (Akta 792), sehingga pelanggaran segala bentuk pelanggaran seksual pada anak tunduk pada ketentuan ini. Sedangkan di Indonesia belum di buat peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pelanggaran seksual pada anak. Selanjutnya dalam hal sistem pidana, pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 menganut dua sistem yaitu minimum khusus dan maksimum khusus, hal ini disesuaikan dengan beratnya setiap rumusan delik tindak kekerasan terhadap anak. Sedangkan pada Akta Kanak-Kanak 611 menerapkan sistem maksimum khusus.
Penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak di indonesia menggunakan metode SPP, yaitu sosialisasi, penerapan dan penegakkan hukum. Metode ini dikembangkan berdasarkan konsep Hurlock pada tahun 1998 yang menyatakan sosialisasi adalah suatu proses seseorang memperoleh kemampuan sosian untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial. Selain metode SPP di Indonesia juga mengunakan penegakan hukum preventif dan penegakan hukum refrensif dalam penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak. Penegakan hukum preventif yaitu, penegakan hukum yang dapat dilakukan dengan memeberikan bekal pemahaman. dan kekesadaran bagi masyarakat, maupun pihak-pihak yang terkait tentang kekerasan terhadap anak. Sementara itu, penegakan hukum refrensif yaitu, penegakan hukum yang dilakukan apabila pelanggaran kekerasan terhadap anak tersebut telah terjadi.
Sedangkan di Malaysia penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak yaitu melalui Jabatan Kebajikan Masyarakat (JKM). Peranan penting dari Jabatan Kebijakan Masyarakat ini adalah memberikan pelayanan yang inklusif kepada anak, layanan perlindungan kepada anak-anak dari semua bahaya termasuk jenis pelecehan, penyiksaan, diskriminasi dan eksploitasi. Peranan utama dari Dapartemen Kesejahteraan Sosial (JKM) adalah untuk menyelamatkan, melindungi, merawat dan membantu rehabilitasi anak dan keluarga anak.Negara Malaysia tidak mengatur secara khusus terkait penyelesaian kekerasan terhadap anak dalam suatu perundang-undangan melainkan lebih mengatur tentang pencegahan kekeraan terhadap anak melalui tiga pola yaitu, kampanye kepada orangtua, kampanye kepada masyarakat, dan melalui media.
Kelebihan, Kekurangan, dan Saran
Secara keseluruhan artikel ini sudah lengkap dan sesuai dengan sistematika penulisan. Abstrak dalam hal ni juga sudah mampu menjelaskan secara umum mengenai topik yang akan di bahas yaitu perbandingan anatara hukum di Indonesia dengan Malaysia terkait dengan kekerasan terhadap anak. Dari segi pembahasan juga sudah lengkap dimana penulis menyajikan perbandingan antara masing – masing peraturan perundang undangan diantaraya mengenai konsep kekerasan, besaran pidana yang diajatuhkan, sampai kepada penyelesaian tindak pidananya. Namun dalam menjelaskan pembahasan tersebut penulis belum terlalu menggali lebih mendalam dari masing masing aspek tersebut. Dengan adanya penelitian perbandingan ini jika memang ada penerapan hukum negara Malaysia tentang kekerasan terhadap anak yang lebih baik maka bisa menjadi suatu dorongan untuk melakukan perbaikan – perbaikan hukum di Indonesia terutama yang ada kaitannya dengan perlindungan anak.
Jurnal 3
Reviewer : Muhammad Naufal Hisyami Putra Widyaningtyas
Dosen Pembimbing : Markus Marselinus Soge, S.H., M.H.
Judul : ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA ABORSI SECARA ILLEGAL(Studi Putusan Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.Tka)
Penulis : Arwansyah, Mustamam, Didik Miroharjo
Jurnal : Jurnal Ilmiah MetadataJurnal Ilmiah Metadata
Volume & Tahun : Vol. 4 No. 2 – Mei 2022
Link Artikel Jurnal : https://ejournal.steitholabulilmi.ac.id/index.php/metadata/article/view/194/269
Pendahuluan / Latar Belakang
Jurnal yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA ABORSI SECARA ILLEGAL(Studi Putusan Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.Tka)” ini membahas langsung kepada topik yang dibahas oleh penulis, sehingga dalam hal ini pembaca akan lebih mudah untuk paham.
Aborsi telah dikenal sejak lama, aborsi memiliki sejarah panjang dan telah dilakukan oleh berbagai metode baik itu natural atau herbal, penggunaan alat-alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya. Banyak negara di dunia isu aborsi adalah permasalahan menonjol dan memecah belah publik atas kontroversi etika dan hukum. Aborsi dan masalah-masalah yang berhubungan dengan aborsi menjadi topik menonjol dalam politik nasional di banyak negara sering melibatkan Gerakan menentang aborsi pro-kehidupan dan pro-pilihan atas aborsi di seluruh dunia. Menggugurkan kandungan sama halnya dengan membunuh atau merampas hak hidup seseorang, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran hukum yang memiliki sanksi tegas.Berdasarkan Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam Pasal 75 disebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan aborsi dan hal ini dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan”.
Prinsipnya tindakan aborsi secara hukum dilarang, tetapi kenyataannya aborsi masih banyak dilakukan oleh perempuan dengan berbagai alasan baik medik maupun non-medik seperti dalam Putusan Pengadilan Negeri Takalar Register Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.Tka dengan terdakwa Halijah Binti Rollah bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan perbuatan sengaja melakukan aborsi yang mengakibatkan matinya wanita dan janin sebagaimana diancam pidana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum yakni melanggar Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 348 ayat (2) jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Konsep / Teori dan Tujuan Penelitian
Di dalam penelitian ini konsep atau permasalahan yang diangkat adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana tindak pidana aborsi secara illegal berdasarkan studi kasus Putusan Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.TKA serta bagaimana pertimbangan hukum oleh hakim terkait tindak pidana tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum yang berkaitan dengan pengaturan hukum pada tindak pidana aborsi illegal.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang diakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder) atau penelitian hukum perpustakaan.
1) Obyek Penelitiannya
Obyek penelitian di dalam kajian ini adalah penelitian asas – asas hukum dimana dalam hal ini penulis mencoba untuk mencari dan menemukan asas – asas hukum berdasarkan studi kasus.Asas – asas hukum inilah yang kemudian menjadi latar belakang atau dasar adanya keputusan hakim terkait tindak pidana aborsi illegal. Dalam Pengaturan sanksi pidana bagi pelaku tindakpidanaaborsi illegal adalah KUHP berlaku sebagai lex generale melalui ketentuan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berlaku sebagai lex special.Perbuatan terdakwa diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Jo Pasal 55 ayat(1) ke 1 KUHP dan Pasal 348 ayat (2) Jo Pasal 55 ayat(1) ke 1 KUHP.
2) Pendekatan Penelitiannya
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan denganpermasalahan dan pembahasan penelitian. Sesuai permasalahan dan tujuan dari penelitian, maka dalam penelitian ini digunakan beberapa pendekatan, antara lain: pendekatan undang-undang (statute approach) yaitu dengan menganalisis peraturan perundang – undangan berkaitan dengan kasus tindak pidana aborsi ilegal, pendekatan kasus (case approach) yaitu Putusan Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.Tka dan pendekatan konseptual (conseptual approach)
3) Jenis dan Sumber Data Penelitiannya
Sumber data dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder,yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan, berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri atas:
a. Bahan hukum primer, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang - Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
6) Kode Etik Kedokteran
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenaibahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah, buku-buku dan lain sebagainya.
c. Bahan hukum tertier,yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan seterusnya
4) Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data Penelitiannya
Teknik pengumpulan datapada penelitian dilakukan dengan cara melaksanaan penelitian kepustakaan (library reseacrh), yaitu dengan mengadakan studi dokumen atau telaah pustaka dengan cara menelusuri berbagai bahan-bahan hukum yang relevan dengan pembahasan penelitian. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum, meliputi: bahan hukum primer, sekunder dan bahan hukum tersier. Data yang berhasil dikumpulkan dari penelitian kepustakaan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, dengan cara menguraikan data dalam bentuk uraian kalimat yang tersusun secara sistematis. Selanjutnya, alat untuk menganalisis data dalam penelitian ini menggunakan interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis.
Hasil Penelitian & Pembahasan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan ruang terhadap terjadinya aborsi. Melihat rumusan Pasal 75 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan tampaklah bahwa dengan jelas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 melarang aborsi kecuali untuk jenis abortus provocatus medicalis (aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa si ibu dan atau janinnya). Dalam dunia kedokteran aborsi provocatus medicalis dapat dilakukan jika nyawa si ibu terancam bahaya maut dan juga dapat dilakukan jika anak yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat berat dan diindikasikan tidak dapat hidup diluar kandungan,misalnya janin menderita kelainan Ectopia Kordalis (janin yang akan dilahirkan tanpa dinding dada sehingga terlihat jantungnya), Rakiskisis (janin yang akan lahir dengan tulang punggung terbuka tanpa ditutupi kulit) maupun Anensefalus (janin akan dilahirkan besar).
Secara hukum, pengguguran kandungan dengan alasan non-medis dilarang keras. Tindakan yang berhubungan dengan pelaksanaan aborsi meliputi melakukan, menolong, atau menganjurkan aborsi, tindakan ini diancam hukuman pidana seperti yang diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan KUHP Pasal 346. Kelebihan dari pasal-pasal aborsi menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 adalah ketentuan pidananya. Ancaman pidana yang diberikan terhadap pelaku aborsi provocatus kriminalis jauh lebih berat dari ancaman pidana sejenis KUHP. Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36Tahun 2009 pidana yang diancam adalah pidana penjara paling lama 10 tahun.Dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000.000,-(satu milyar).Sedangkan dalam KUHP, Pidana yang diancam paling lama hanya 4 tahun penjara atau denda paling banyak tiga ribu rupiah (Pasal 299 KUHP), paling lama empat tahun penjara (Pasal 346 KUHP) paling lama dua belas tahun penjara (Pasal 347 KUHP), dan paling lama lima tahun enam bulan penjara (Pasal 348KUHP).
Mengenai ancaman sanksi pidana bagi pelaku abortus provocatus, dalam hukum pidana (KUHP) dirumuskan adanya ancaman pidana bagi mereka yang melakukan pengguguran kandungan. KUHP tidak memperdulikan latar belakang atau alasan dilakukannya pengguguran kandungan itu. Dengan demikian, apabila abortus provocatus adalah pilihan yang harus diambil dan dilakukan oleh perempuan korban perkosaan, baik atas permintaan diri sendiri maupun melalui bantuan orang lain atas persetujuan ataupun tanpa persetujuan perempuan korban perkosaan, maka dengan menggunakan ketentuan KUHP, perempuan korban perkosaan tidak dapat lepas dari jeratan hukum. .
Dihubungkan dengan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana aborsi illegal berdasarkan putusan Nomor 88/Pid.Sus/2018/PN.Tka, maka sanksi pidana bagi orang yang melakukan kejahatan tersebut adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Jo Pasal55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 348 ayat (2) Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.Perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal dakwaan gabungan alternatif komulatif sehingga Majelis berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, sehingga terdakwa Halijah Binti Rollah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan perbuatan sengaja melakukan aborsi yang mengakibatkan matinya wanita dan janin tersebut sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum.
Perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaan Penuntut Umum. Perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal dakwaan gabungan alternatif komulatif sehingga Majelis berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang KesehatanJo Pasal 55 ayat(1) ke 1 KUHP dan Pasal 348 ayat(2)Jo pasal 55 ayat(1) ke 1 KUHP, sehingga Majelis berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana aborsi secara tidak sah.Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan ternyata pada diri terdakwa tidak ada ditemukan alasan-alasan yang dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf, sehingga terdakwa dinilai mampu bertanggung jawab atas kesalahannya, oleh karena itu kepada terdakwa haruslah dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya tersebut.
Kelebihan, Kekurangan, dan Saran
Dilihat secara umum artikel ini sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari abstrak yang mampu menjelasakan secara jelas apa yang akan dibahas di dalam jurnal ini. Dari segi pembahasan juga lengkap meliputi pengaturan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana aborsi illegal, pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana aborsi illegal, serta pertimbangan hukum hakim terhadap pelaku tindak pidana aborsi illegal. Metode dan pendekatan yang digunakan juga sudah sanagat sesuai. Tetapi di dalam penulisan artikel ini terdapat beberapa kalimat yang berulang – ulang dan terkesan bertele tele, serta ada beberapa pointer atau numbering yang tidak rapih. Untuk kedepannya munkin penulis bisa lebih baik di dalam melakukan pengembangan kalimat agar tidak terkesan berulang – ulang. Serta kedepannya diharapkan artikel ini dapat menjadi acuan bagi penulis lain yang ingin melakukan penelitian hukum normatif terutama yang menggunakan penedekatan kasus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H