Mohon tunggu...
Naufal Tri Hutama
Naufal Tri Hutama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student in the History of Islamic Civilization program

Sejarah itu adalah cermin dari siapa kita, dari apa yang sudah kita perjuangkan, dan dari langkah-langkah yang sudah kita ambil sebagai sebuah bangsa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Imperialisme Klasik - Cara Eropa Mendominasi Dunia

5 Agustus 2024   10:00 Diperbarui: 5 Agustus 2024   10:15 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/mindoxsul

Saat mendengar kata "imperialisme," mungkin yang terlintas di pikiran adalah kekuasaan besar yang mendominasi wilayah-wilayah lain. Imperialisme klasik merujuk pada upaya negara-negara Eropa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 untuk memperluas kekuasaan dan pengaruh mereka. Tapi apa sebenarnya yang mendorong bangsa-bangsa Eropa ini untuk menjajah dan menguasai wilayah-wilayah di luar benua mereka?

Kita mulai dari Renaissance atau Renaisans, periode kebangkitan seni, sastra, dan ilmu pengetahuan di Eropa pada abad ke-14 hingga ke-17. Ini adalah masa ketika seni dan pengetahuan dianggap sangat penting, dilihat sebagai jalan menuju kebebasan dan kebenaran. Nilai-nilai humanisme, pendidikan, dan seni yang realistis adalah ciri khas masa ini. Periode ini menjadi tonggak penting karena memicu kemajuan besar dalam berbagai bidang.

Tak lama setelah itu, datanglah periode Aufklrung atau Zaman Pencerahan pada abad ke-18. Ini adalah masa ketika rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan kebebasan individu menjadi pusat perhatian. Orang-orang mulai mengkritik monarki dan agama yang dianggap membatasi kebebasan dan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan.

Kedua periode ini, Renaissance dan Aufklrung, menciptakan landasan bagi bangsa Eropa untuk mengejar dominasi global melalui imperialisme.

Imperialisme klasik adalah kebijakan politik dan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa untuk memperluas kekuasaan dan pengaruh mereka di luar wilayahnya. Ini biasanya dilakukan dengan menaklukkan wilayah baru dan mengeksploitasi sumber daya alamnya seperti bijih tambang, kayu, dan tanah. Imperialisme klasik juga mencakup penjajahan dan dominasi budaya serta ekonomi terhadap bangsa-bangsa di luar Eropa.

Robinson dan Gallagher (1961) mendefinisikan imperialisme klasik sebagai fenomena di mana kekuatan imperialis (biasanya Eropa Barat) memaksakan kehendak mereka pada negara-negara di wilayah selatan dan timur dengan cara menaklukkan wilayah tersebut dan memanfaatkan sumber daya alam dan manusia yang ada di sana.

Hobson (1902) menggambarkan imperialisme klasik sebagai bentuk ekspansi kekuasaan oleh negara kapitalis yang didorong oleh kebutuhan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja dari negara-negara yang lebih lemah untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.

Lenin (1917) menyatakan bahwa imperialisme klasik adalah tahap tertinggi dari kapitalisme di mana negara-negara kapitalis bersaing satu sama lain untuk menguasai wilayah dan pasar di seluruh dunia dengan cara menaklukkan dan mengeksploitasi negara-negara yang lebih lemah.

Imperialisme sebenarnya bukanlah konsep baru. Sejak zaman dahulu, berbagai kerajaan dan kekaisaran seperti Assiria, Babilonia, dan Mesir Kuno sudah melakukan ekspansi wilayah. Tetapi, bangsa Eropa adalah yang terakhir dan paling efektif dalam melakukannya.

Mereka tidak hanya mencari kejayaan seperti imperialis terdahulu tetapi juga mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja negeri jajahan untuk keuntungan ekonomi yang besar.

Munculnya era teknologi dan Revolusi Industri di Eropa mengubah segalanya. Bangsa Eropa, dengan teknologi baru seperti kapal uap dan rel kereta api, mampu mengeksploitasi wilayah jajahan mereka dengan lebih cepat dan efisien.

Ideologi imperialisme yang berkembang saat itu, yaitu keyakinan bahwa negara-negara Barat memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan nilai-nilai dan budaya mereka ke seluruh dunia, juga mendorong ekspansi ini.

Industrialisasi di Eropa juga bisa dikatakan menjadi penyebab utama munculnya imperialisme klasik. Munculnya industri membutuhkan bahan baku yang cukup dan murah serta pasar yang besar untuk produk-produk yang dihasilkan. Hal ini mendorong negara-negara Eropa mencari sumber daya alam dan pasar baru di wilayah-wilayah yang belum terjamah di Asia, Afrika, dan Amerika.

Persaingan antara negara-negara Eropa juga menjadi faktor penting. Negara-negara Eropa bersaing satu sama lain untuk menguasai sumber daya alam di wilayah-wilayah jajahan. Persaingan ini semakin intensif, terutama setelah Revolusi Industri, karena setiap negara ingin memperluas wilayah kekuasaan dan menjaga dominasinya di pasar global.

Kemajuan teknologi dan transportasi juga berperan besar. Kemajuan teknologi seperti kapal uap dan rel kereta api memungkinkan eksploitasi sumber daya alam di wilayah-wilayah jajahan menjadi lebih cepat dan efisien. Transportasi yang lebih baik juga mempermudah pengiriman barang dan bahan baku ke negara-negara Eropa.

Ciri-ciri Imperialisme Klasik

Imperialisme klasik memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari bentuk ekspansi lainnya. Ciri utama adalah eksploitasi ekonomi yang sistematis. Bangsa Eropa tidak hanya mengambil alih wilayah, tetapi juga mengorganisir sistem ekonomi di wilayah jajahan untuk menguntungkan mereka. Ini termasuk pendirian perkebunan besar, pertambangan, dan infrastruktur transportasi seperti rel kereta api yang semuanya diarahkan untuk memfasilitasi ekspor bahan baku ke Eropa.

Ciri lainnya adalah kontrol politik yang ketat. Negara-negara imperialis sering kali menempatkan pemerintahan kolonial yang langsung di bawah kendali mereka. Mereka juga membentuk pasukan militer dan polisi kolonial untuk menjaga ketertiban dan melindungi kepentingan mereka. Undang-undang dan kebijakan yang diberlakukan sering kali menguntungkan kaum kolonial dan merugikan penduduk asli.

Dominasi budaya juga merupakan ciri penting dari imperialisme klasik. Bangsa Eropa berusaha untuk menggantikan budaya lokal dengan budaya Barat. Ini termasuk pengenalan sistem pendidikan Barat, agama Kristen, dan bahasa Eropa. Dalam banyak kasus, budaya lokal dipinggirkan atau bahkan ditekan.

Mencari Keuntungan Ekonomi

Imperialisme klasik bukan hanya soal memperluas wilayah, tapi juga tentang motif yang lebih dalam dan kompleks.

Salah satu tujuan utama imperialisme klasik adalah ekonomi. Bangsa Eropa melihat wilayah jajahan sebagai sumber bahan baku yang melimpah dan murah. Mereka butuh bahan-bahan seperti kapas, gula, kopi, dan karet untuk memenuhi kebutuhan industri mereka yang berkembang pesat. Wilayah jajahan juga menyediakan pasar baru bagi produk-produk Eropa. Dengan menguasai pasar ini, negara-negara Eropa dapat meningkatkan keuntungan mereka.

Kehadiran sumber daya alam yang melimpah di wilayah jajahan memungkinkan negara-negara Eropa untuk mengurangi biaya produksi. Misalnya, perkebunan besar di wilayah jajahan dapat menghasilkan bahan mentah dengan biaya rendah, yang kemudian dikirim ke Eropa untuk diolah dan dijual kembali. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi ini sangat besar.

Eksploitasi sumber daya alam menjadi salah satu ciri utama imperialisme. Bangsa Eropa mengeksploitasi sumber daya seperti bijih tambang, kayu, karet, dan hasil pertanian dari wilayah jajahan untuk kepentingan industri mereka. Akibatnya, banyak negara jajahan yang ekonominya menjadi sangat tergantung pada ekspor bahan mentah ke Eropa.

Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta api, dan pelabuhan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial sering kali diarahkan untuk memfasilitasi ekspor bahan mentah ke Eropa, bukan untuk memenuhi kebutuhan lokal. Ini membuat ekonomi di wilayah jajahan menjadi tidak seimbang dan rentan terhadap fluktuasi harga komoditas di pasar global.

Ketergantungan ekonomi ini masih dirasakan hingga hari ini. Banyak negara bekas jajahan yang ekonominya masih tergantung pada ekspor bahan mentah dan memiliki sedikit industri pengolahan. Ini membuat mereka rentan terhadap perubahan harga komoditas dan sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Kepentingan Politik

Selain tujuan ekonomi, ada juga motif politik di balik imperialisme klasik. Bangsa Eropa ingin meningkatkan kekuatan dan pengaruh mereka di kancah internasional. Mereka percaya bahwa dengan memiliki wilayah jajahan yang luas, mereka dapat meningkatkan prestise dan posisi mereka sebagai kekuatan global. Hal ini sering kali dilakukan untuk mengimbangi atau mengalahkan kekuatan rival di Eropa.

Kontrol atas wilayah-wilayah strategis juga dianggap penting untuk kepentingan militer. Misalnya, menguasai pelabuhan atau jalur perdagangan penting memungkinkan negara imperialis untuk mengendalikan perdagangan internasional dan memperkuat kekuatan maritim mereka. Dengan demikian, tujuan politik ini berkaitan erat dengan keinginan untuk menjadi kekuatan dominan di dunia.

Imperialisme klasik juga meninggalkan dampak politik yang cukup membekas. Pasalnya, pemerintahan kolonial yang otoriter sering kali tidak memberikan kesempatan kepada penduduk asli untuk belajar mengelola pemerintahan. Akibatnya, ketika negara-negara bekas jajahan meraih kemerdekaan, mereka sering kali mengalami kesulitan dalam membangun sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis.

Politik pecah-belah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk memecah belah dan menguasai wilayah jajahan sering kali meninggalkan warisan konflik etnis dan sosial. Misalnya, di banyak negara Afrika, perbatasan yang ditarik oleh kekuatan kolonial sering kali tidak memperhatikan suku-suku dan etnis yang ada, menyebabkan konflik berkepanjangan setelah kemerdekaan.

India, di mana politik pecah-belah yang diterapkan oleh Inggris menyebabkan ketegangan antara komunitas Hindu dan Muslim, yang akhirnya berujung pada pembagian India menjadi dua negara, India dan Pakistan, setelah kemerdekaan.

Sosial - Budaya

Imperialisme klasik juga didorong oleh tujuan sosial dan budaya. Banyak orang Eropa saat itu percaya bahwa mereka memiliki tugas mulia untuk menyebarkan peradaban Barat ke seluruh dunia. Mereka merasa bahwa budaya, nilai-nilai, dan agama mereka lebih superior dibandingkan dengan budaya dan agama lokal di wilayah jajahan.

Oleh karena itu, mereka merasa berkewajiban untuk menyebarkan pendidikan, agama Kristen, dan teknologi Barat kepada penduduk asli.

Ini sering disebut sebagai "beban orang kulit putih" (the white man's burden), sebuah konsep yang menyiratkan bahwa orang Eropa memiliki tanggung jawab moral untuk "memperadabkan" bangsa-bangsa lain. Dalam praktiknya, ini sering kali berarti memaksakan nilai-nilai Barat dan menghapus budaya lokal. Misalnya, pendidikan di wilayah jajahan sering kali diarahkan untuk menciptakan tenaga kerja yang patuh dan loyal kepada kekuasaan kolonial.

Sebelum kedatangan kolonial, banyak masyarakat di Asia, Afrika, dan Amerika memiliki struktur sosial yang berbasis komunitas dan adat. Kedatangan bangsa Eropa membawa sistem baru yang sering kali merusak atau mengubah tatanan sosial yang ada.

Contohnya adalah pengenalan sistem pendidikan Barat. Pendidikan yang diberikan sering kali bertujuan untuk menciptakan kelas elit lokal yang loyal kepada penguasa kolonial. Ini menyebabkan munculnya kesenjangan sosial baru, di mana mereka yang memiliki akses ke pendidikan Barat memperoleh status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Sementara, banyak penduduk asli yang tetap tidak terdidik dan miskin.

Perubahan dalam sistem pertanian dan kepemilikan tanah juga berdampak besar. Banyak tanah yang sebelumnya dimiliki secara komunal oleh masyarakat adat diambil alih oleh pemerintah kolonial dan diberikan kepada para pengusaha Eropa. Akibatnya, banyak petani lokal kehilangan tanah mereka dan harus bekerja sebagai buruh di perkebunan milik kolonial dengan upah rendah.

Banyak negara bekas jajahan yang mencoba mengintegrasikan elemen-elemen budaya Barat dengan budaya lokal untuk menciptakan identitas nasional yang baru. Ini sering kali terlihat dalam seni, musik, dan sastra, di mana pengaruh Barat dan lokal bercampur menjadi satu.

Dari perubahan sosial, dampak ekonomi, tantangan politik, hingga warisan budaya, pengaruh imperialisme klasik masih terasa hingga hari ini. Memahami sejarah imperialisme klasik penting agar kita dapat belajar dari masa lalu dan menciptakan dunia yang lebih adil dan seimbang.

Dengan memahami dampak dan warisan yang ditinggalkan oleh imperialisme klasik, kita dapat lebih menghargai kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh negara-negara bekas jajahan. Ini juga memberikan kita perspektif yang lebih baik dalam melihat hubungan internasional dan dinamika global saat ini.

Referensi

Soebantardjo, "Sari Sedjarah Jilid I: Asia-Afrika," Penerbit BOPKRI, Yogyakarta

Riyadi, 2016. Sejarah Afrika Dari Masa Kuno Sampai Modern. Surabaya: UNESA PRESS.

Ranuwiharjjo, Dahlan, "Revolusi, anti Imprealisme dan Pancasiala Institute for Transformation," Jakarta, 2001.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun