Eksploitasi sumber daya alam menjadi salah satu ciri utama imperialisme. Bangsa Eropa mengeksploitasi sumber daya seperti bijih tambang, kayu, karet, dan hasil pertanian dari wilayah jajahan untuk kepentingan industri mereka. Akibatnya, banyak negara jajahan yang ekonominya menjadi sangat tergantung pada ekspor bahan mentah ke Eropa.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta api, dan pelabuhan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial sering kali diarahkan untuk memfasilitasi ekspor bahan mentah ke Eropa, bukan untuk memenuhi kebutuhan lokal. Ini membuat ekonomi di wilayah jajahan menjadi tidak seimbang dan rentan terhadap fluktuasi harga komoditas di pasar global.
Ketergantungan ekonomi ini masih dirasakan hingga hari ini. Banyak negara bekas jajahan yang ekonominya masih tergantung pada ekspor bahan mentah dan memiliki sedikit industri pengolahan. Ini membuat mereka rentan terhadap perubahan harga komoditas dan sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kepentingan Politik
Selain tujuan ekonomi, ada juga motif politik di balik imperialisme klasik. Bangsa Eropa ingin meningkatkan kekuatan dan pengaruh mereka di kancah internasional. Mereka percaya bahwa dengan memiliki wilayah jajahan yang luas, mereka dapat meningkatkan prestise dan posisi mereka sebagai kekuatan global. Hal ini sering kali dilakukan untuk mengimbangi atau mengalahkan kekuatan rival di Eropa.
Kontrol atas wilayah-wilayah strategis juga dianggap penting untuk kepentingan militer. Misalnya, menguasai pelabuhan atau jalur perdagangan penting memungkinkan negara imperialis untuk mengendalikan perdagangan internasional dan memperkuat kekuatan maritim mereka. Dengan demikian, tujuan politik ini berkaitan erat dengan keinginan untuk menjadi kekuatan dominan di dunia.
Imperialisme klasik juga meninggalkan dampak politik yang cukup membekas. Pasalnya, pemerintahan kolonial yang otoriter sering kali tidak memberikan kesempatan kepada penduduk asli untuk belajar mengelola pemerintahan. Akibatnya, ketika negara-negara bekas jajahan meraih kemerdekaan, mereka sering kali mengalami kesulitan dalam membangun sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis.
Politik pecah-belah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk memecah belah dan menguasai wilayah jajahan sering kali meninggalkan warisan konflik etnis dan sosial. Misalnya, di banyak negara Afrika, perbatasan yang ditarik oleh kekuatan kolonial sering kali tidak memperhatikan suku-suku dan etnis yang ada, menyebabkan konflik berkepanjangan setelah kemerdekaan.
India, di mana politik pecah-belah yang diterapkan oleh Inggris menyebabkan ketegangan antara komunitas Hindu dan Muslim, yang akhirnya berujung pada pembagian India menjadi dua negara, India dan Pakistan, setelah kemerdekaan.
Sosial - Budaya
Imperialisme klasik juga didorong oleh tujuan sosial dan budaya. Banyak orang Eropa saat itu percaya bahwa mereka memiliki tugas mulia untuk menyebarkan peradaban Barat ke seluruh dunia. Mereka merasa bahwa budaya, nilai-nilai, dan agama mereka lebih superior dibandingkan dengan budaya dan agama lokal di wilayah jajahan.
Oleh karena itu, mereka merasa berkewajiban untuk menyebarkan pendidikan, agama Kristen, dan teknologi Barat kepada penduduk asli.
Ini sering disebut sebagai "beban orang kulit putih" (the white man's burden), sebuah konsep yang menyiratkan bahwa orang Eropa memiliki tanggung jawab moral untuk "memperadabkan" bangsa-bangsa lain. Dalam praktiknya, ini sering kali berarti memaksakan nilai-nilai Barat dan menghapus budaya lokal. Misalnya, pendidikan di wilayah jajahan sering kali diarahkan untuk menciptakan tenaga kerja yang patuh dan loyal kepada kekuasaan kolonial.