Mohon tunggu...
Naufal Tri Hutama
Naufal Tri Hutama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student in the History of Islamic Civilization program

Naufal Tri Hutama is a dedicated student in the History of Islamic Civilization program, currently in his seventh semester. He is passionate about exploring Islamic history and understanding the cultural and social structures that shaped it. His interests also include media and journalism (medpers), providing a unique perspective on historical events. Naufal is particularly focused on Sundanese culture for his portfolio in the Faculty of Adab and Humanities.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kebusukan FIFA - Sisi Gelap di Balik Kemegahan Sepak Bola

31 Juli 2024   07:08 Diperbarui: 31 Juli 2024   07:08 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu contoh paling mencolok adalah proyek Goal Programme yang seharusnya membantu negara-negara berkembang membangun fasilitas sepak bola. Namun, dalam banyak kasus, dana tersebut diselewengkan atau digunakan untuk proyek-proyek yang tidak ada hubungannya dengan sepak bola.

Selain isu korupsi dan penyelewengan dana, FIFA juga sering kali dikritik karena sistem kompetisinya yang dianggap tidak adil. Contohnya, dalam kualifikasi Piala Dunia, negara-negara di benua tertentu harus melalui proses kualifikasi yang jauh lebih sulit dibandingkan dengan negara-negara di benua lain. Hal ini sering kali menimbulkan ketidakpuasan dan kecurigaan adanya permainan di balik layar.

Sepak bola seharusnya menjadi olahraga yang mempersatukan, namun sayangnya, FIFA sering kali terlibat dalam politik. Banyak keputusan penting yang diambil bukan berdasarkan kepentingan sepak bola, tetapi karena tekanan politik dari negara-negara tertentu. Salah satu contoh yang mencolok adalah larangan terhadap pemain yang mengenakan simbol-simbol politik di lapangan, tetapi pada saat yang sama, FIFA tidak segan-segan menggunakan turnamen sepak bola untuk kepentingan politik mereka sendiri.

Dalam beberapa tahun terakhir, FIFA telah berusaha untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mereka. Namun, banyak yang berpendapat bahwa upaya tersebut hanya sekadar untuk menjaga citra mereka di mata publik.

Proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia, misalnya, masih dianggap tidak transparan. Banyak keputusan penting yang diambil di balik pintu tertutup tanpa ada penjelasan yang memadai kepada publik.

Sebagai organisasi besar, FIFA memiliki tanggung jawab sosial yang besar pula. Sering kali mereka tampak abai terhadap isu-isu sosial dan lingkungan. Contoh yang paling mencolok adalah saat Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014. Pemerintah Brasil mengeluarkan dana besar untuk membangun stadion-stadion megah, sementara di sisi lain, masyarakat setempat masih hidup dalam kemiskinan.

Protes besar-besaran pun terjadi, menuntut agar dana tersebut lebih baik digunakan untuk kebutuhan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. FIFA, yang seharusnya peka terhadap isu ini, tampak tidak peduli dan tetap melanjutkan rencana mereka tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat setempat.

FIFA sangat bergantung pada media dan sponsor untuk mendukung operasional mereka. Ketergantungan ini membuat FIFA tampak tunduk pada kepentingan korporat daripada kepentingan olahraga. Sponsor-sponsor besar seperti perusahaan minuman beralkohol dan makanan cepat saji sering kali memanfaatkan sepak bola untuk memasarkan produk mereka, meskipun produk-produk tersebut tidak sejalan dengan gaya hidup sehat yang seharusnya dipromosikan dalam olahraga. Media yang seharusnya menjadi pengawas independen, sering kali justru terlibat dalam permainan uang dan pengaruh yang menguntungkan pihak tertentu.

Banyak legenda sepak bola yang vokal mengkritik FIFA. Mereka melihat banyaknya ketidakadilan dan kebusukan yang terjadi di tubuh organisasi ini. Mendiang Diego Maradona, misalnya, pernah menyebut FIFA sebagai “mafia” karena banyaknya skandal yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi FIFA. Begitu pula dengan Michel Platini, yang meski pernah menjadi bagian dari FIFA, akhirnya juga terlibat dalam skandal korupsi. Kritik-kritik ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua bahwa ada yang tidak beres di tubuh FIFA.

Era Gianni Infantino

Ketika Gianni Infantino mengambil alih FIFA pada tahun 2016, banyak yang berharap ia bisa membersihkan nama organisasi ini setelah skandal besar yang mengguncang dunia sepak bola. Masa kepemimpinan Infantino sendiri tidak lepas dari kontroversi.

Infantino memuji Piala Dunia 2018 di Rusia sebagai "Piala Dunia terbaik yang pernah ada." Di lain sisi, hubungan eratnya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mengundang kritik, terutama setelah menerima medali Order of Friendship dari Putin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun