Mohon tunggu...
Naufal Tri Hutama
Naufal Tri Hutama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student in the History of Islamic Civilization program

Sejarah itu adalah cermin dari siapa kita, dari apa yang sudah kita perjuangkan, dan dari langkah-langkah yang sudah kita ambil sebagai sebuah bangsa

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kebusukan FIFA - Sisi Gelap di Balik Kemegahan Sepak Bola

31 Juli 2024   07:08 Diperbarui: 31 Juli 2024   07:08 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Getty Images

Sepak bola adalah olahraga yang begitu dicintai oleh jutaan orang di seluruh dunia. Dengan gemuruh stadion yang penuh, para pemain berbakat yang berlari di lapangan, dan gol-gol indah yang menghiasi setiap pertandingan, tidak mengherankan jika sepak bola menjadi olahraga paling populer di dunia.

Di balik kemegahan ini, ada satu organisasi yang mengatur segalanya: FIFA. Tapi, apakah kita benar-benar tahu apa yang terjadi di balik layar? Mari kita telusuri lebih dalam dan mengungkap sisi gelap dari organisasi ini.

Kisah gelap FIFA dimulai jauh sebelum 2015. Selama beberapa dekade, para pejabat tinggi FIFA terlibat dalam praktik suap dan pemerasan yang mencoreng wajah sepak bola dunia. Skandal besar pertama mencuat pada tahun 2001 ketika perusahaan pemasaran olahraga, International Sport and Leisure (ISL), bangkrut dengan hutang sekitar $300 juta. ISL terbukti membuat pembayaran ilegal kepada sejumlah pejabat olahraga, termasuk beberapa petinggi FIFA

Sudah menjadi rahasia umum bahwa FIFA telah lama bergelut dengan tuduhan korupsi. Dari skandal suap hingga penyelewengan dana, berita-berita tentang kebusukan di tubuh FIFA seolah tidak pernah berhenti. Skandal terbesar yang mengguncang dunia adalah pada tahun 2015 ketika beberapa pejabat tinggi FIFA ditangkap oleh FBI atas tuduhan menerima suap jutaan dolar.

Suap ini diduga terkait dengan pemberian hak tuan rumah Piala Dunia dan hak siar berbagai turnamen sepak bola. Bahkan, Presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter, harus mundur dari jabatannya akibat skandal tersebut.

Penyelenggaraan Piala Dunia selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh penggemar sepak bola. Namun, proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia sering kali diwarnai oleh kontroversi. Contohnya, keputusan untuk menunjuk Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 menimbulkan banyak pertanyaan.

Negara kecil di Timur Tengah ini hampir tidak memiliki infrastruktur sepak bola yang memadai, dan suhu yang ekstrem di sana sangat tidak cocok untuk pertandingan sepak bola. Banyak yang percaya bahwa pemilihan Qatar sebagai tuan rumah didasari oleh suap dan tekanan politik.

 Ada laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia dalam pembangunan stadion di Qatar. Ribuan pekerja migran dilaporkan bekerja dalam kondisi yang sangat buruk, bahkan banyak di antaranya yang meninggal dunia. Apakah ini harga yang harus dibayar untuk kemegahan Piala Dunia?

Politik dan Transparansi yang Dipertanyakan

FIFA adalah organisasi non-profit, tetapi keuntungannya dari hak siar dan sponsor bisa mencapai miliaran dolar setiap tahunnya. Sayangnya, sebagian besar dari keuntungan ini tampaknya tidak digunakan untuk mengembangkan sepak bola di tingkat akar rumput. Sebaliknya, uang tersebut sering kali digunakan untuk memperkaya para pejabat FIFA dan rekan-rekan mereka.

Salah satu contoh paling mencolok adalah proyek Goal Programme yang seharusnya membantu negara-negara berkembang membangun fasilitas sepak bola. Namun, dalam banyak kasus, dana tersebut diselewengkan atau digunakan untuk proyek-proyek yang tidak ada hubungannya dengan sepak bola.

Selain isu korupsi dan penyelewengan dana, FIFA juga sering kali dikritik karena sistem kompetisinya yang dianggap tidak adil. Contohnya, dalam kualifikasi Piala Dunia, negara-negara di benua tertentu harus melalui proses kualifikasi yang jauh lebih sulit dibandingkan dengan negara-negara di benua lain. Hal ini sering kali menimbulkan ketidakpuasan dan kecurigaan adanya permainan di balik layar.

Sepak bola seharusnya menjadi olahraga yang mempersatukan, namun sayangnya, FIFA sering kali terlibat dalam politik. Banyak keputusan penting yang diambil bukan berdasarkan kepentingan sepak bola, tetapi karena tekanan politik dari negara-negara tertentu. Salah satu contoh yang mencolok adalah larangan terhadap pemain yang mengenakan simbol-simbol politik di lapangan, tetapi pada saat yang sama, FIFA tidak segan-segan menggunakan turnamen sepak bola untuk kepentingan politik mereka sendiri.

Dalam beberapa tahun terakhir, FIFA telah berusaha untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mereka. Namun, banyak yang berpendapat bahwa upaya tersebut hanya sekadar untuk menjaga citra mereka di mata publik.

Proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia, misalnya, masih dianggap tidak transparan. Banyak keputusan penting yang diambil di balik pintu tertutup tanpa ada penjelasan yang memadai kepada publik.

Sebagai organisasi besar, FIFA memiliki tanggung jawab sosial yang besar pula. Sering kali mereka tampak abai terhadap isu-isu sosial dan lingkungan. Contoh yang paling mencolok adalah saat Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014. Pemerintah Brasil mengeluarkan dana besar untuk membangun stadion-stadion megah, sementara di sisi lain, masyarakat setempat masih hidup dalam kemiskinan.

Protes besar-besaran pun terjadi, menuntut agar dana tersebut lebih baik digunakan untuk kebutuhan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. FIFA, yang seharusnya peka terhadap isu ini, tampak tidak peduli dan tetap melanjutkan rencana mereka tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat setempat.

FIFA sangat bergantung pada media dan sponsor untuk mendukung operasional mereka. Ketergantungan ini membuat FIFA tampak tunduk pada kepentingan korporat daripada kepentingan olahraga. Sponsor-sponsor besar seperti perusahaan minuman beralkohol dan makanan cepat saji sering kali memanfaatkan sepak bola untuk memasarkan produk mereka, meskipun produk-produk tersebut tidak sejalan dengan gaya hidup sehat yang seharusnya dipromosikan dalam olahraga. Media yang seharusnya menjadi pengawas independen, sering kali justru terlibat dalam permainan uang dan pengaruh yang menguntungkan pihak tertentu.

Banyak legenda sepak bola yang vokal mengkritik FIFA. Mereka melihat banyaknya ketidakadilan dan kebusukan yang terjadi di tubuh organisasi ini. Mendiang Diego Maradona, misalnya, pernah menyebut FIFA sebagai “mafia” karena banyaknya skandal yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi FIFA. Begitu pula dengan Michel Platini, yang meski pernah menjadi bagian dari FIFA, akhirnya juga terlibat dalam skandal korupsi. Kritik-kritik ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua bahwa ada yang tidak beres di tubuh FIFA.

Era Gianni Infantino

Ketika Gianni Infantino mengambil alih FIFA pada tahun 2016, banyak yang berharap ia bisa membersihkan nama organisasi ini setelah skandal besar yang mengguncang dunia sepak bola. Masa kepemimpinan Infantino sendiri tidak lepas dari kontroversi.

Infantino memuji Piala Dunia 2018 di Rusia sebagai "Piala Dunia terbaik yang pernah ada." Di lain sisi, hubungan eratnya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mengundang kritik, terutama setelah menerima medali Order of Friendship dari Putin.

Nama Infantino muncul dalam dokumen Panama Papers tahun 2016, yang mengungkapkan bahwa UEFA, tempat ia sebelumnya bekerja, telah melakukan transaksi dengan tokoh-tokoh yang kemudian didakwa dalam skandal korupsi FIFA. Infantino menyangkal terlibat secara pribadi dalam kesepakatan tersebut dan mengaku "terkejut" dengan laporan tersebut.

Infantino juga menuai kritik dalam penanganannya terhadap hak siar Piala Dunia Wanita 2023. Dia mengklaim bahwa tawaran yang rendah dari negara-negara besar merupakan penghinaan bagi wanita di seluruh dunia dan menganggap FIFA memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menuntut lebih banyak uang.

Kritikus berpendapat bahwa FIFA justru menciptakan masalah ini sendiri dan seharusnya menginvestasikan uang dari tawaran gabungan sebelumnya ke dalam sepak bola wanita.

Di samping itu, komentar Infantino sering kali memicu kemarahan publik. Misalnya, dalam pidato menjelang final Piala Dunia Wanita 2023, Infantino mengatakan bahwa wanita harus "memilih pertempuran mereka" dan bahwa dia tidak bisa "memberikan tekanan" lebih banyak pada badan sepak bola nasional untuk meningkatkan investasi di sepak bola wanita. Komentar ini dipandang meremehkan dan menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun