Mohon tunggu...
Naufal Nabilludin
Naufal Nabilludin Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Ternyata mikir itu lebih susah dari pada dapet ranking

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Politik: Realitas Pesta Demokrasi

2 Oktober 2021   08:15 Diperbarui: 2 Oktober 2021   08:23 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu ada benernya Mat, Tapi malah aneh kalau pesta demokrasi gak ada bagi-bagi sembako dan amplop. Mubajir juga kalau kamu dikasih sembako atau amplop malah nolak. Apalagi diajak silaturahmi dan makan-makan sama warga yang lain. Kan gak enak kalo nolak"

Mamat semakin mengerti apa yang selama ini yang katakan oleh dosennya "demokrasi tidak akan terjadi jika tidak ada transaksi". Dan Ia semakin yakin apa yang dikatakan oleh seorang satiris, aktifis politik dan juga seorang penulis esai dan novel yaitu George Bernard Shaw yang berbicara soal demokrasi. "Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipergilirkan melalui pemilu, di mana orang banyak yang tak kompeten menunjuk sedikit orang yang korup." Mamat menyaksikan langsung apa yang dikatakan oleh Shaw, dimana orang yang tak kompeten menunjuk sedikit orang yang korup.

Praktik money politics yang terjadi membuat Mamat sadar bahwa sistem demokrasi tidak lagi sesuai dengan definisi ideal yang ia pelajari selama di sekolah dan kuliah. Dimana rakyat tidak lagi memiliki kedaulatan penuh atas suara dan partisipasi nya dalam sebuah pesta demokrasi. Praktek money politics di anggap sebagai suatu kewajaran oleh warga dikampungnya tanpa tau seberapa bahaya dan merusak sistem demokrasi. Money politics juga tidak dianggap sebagai sesuatu yang salah secara normatif. Sehingga warga membiarkan hal itu.


Mamat juga tahu kalau praktek money politics bukan hanya terjadi pada saat pilkades, namun lumrah terjadi juga pada pesta demokrasi yang lebih besar. Demokrasi dan money politics seolah dua kata yang sulit dipisahkan, apalagi ketika membahas soal demokrasi di Indonesia.

Mamat gelisah dengan apa yang terjadi di desa nya. Ia sempat bercita-cita menjadi Kades suatu saat nanti. Tapi Mamat sadar ia hanyalah orang biasa yang tidak punya kemampuan finansial yang mumpuni untuk bisa bersaing dalam kancah pesta demokrasi, walaupun hanya di tingkat desa. Tapi dia tetap optimis akan ada perubahan untuk desa nya dan sistem demokrasi di Indonesia. Pertanyaan Mamat sampai saat ini hanya satu "bisakan saya menjadi kades hanya dengan modal intelektual dan moral?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun