Mohon tunggu...
Naufal Al Zahra
Naufal Al Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UNSIL

Dari Sumedang untuk Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jalan Juang A.R Baswedan

25 April 2022   20:19 Diperbarui: 25 April 2022   20:26 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret sebelah kiri A.R. Baswedan selagi muda. Sebelah kanan, A.R. Baswedan bersama dengan putra juga cucunya, Anies Baswedan. (Sumber gambar: merdeka.com)

Beberapa hari yang lalu jagat maya dihebohkan dengan munculnya unggahan  Tsamara Amany yang menyatakan mundur dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Namun, tak berselang lama, kehebohan itu diiringi oleh kehebohan yang lain setelah akun @GusNadjb mengungapkan sindiran berbau rasis di Twitter.

Akun Twitter tersebut mengunggah sebuah video pernikahan Tsamara Amany bersama Ismail Fajrie Alatas yang dihadiri oleh Anies Baswedan seraya menyisipkan cuitan 'antek Yaman' yang diiringi dengan kata-kata yang ditujukan untuk menyinggung Tsamara Amany yang mundur dari PSI.

Menurut penulis, kejadian tersebut menjadi realita yang memprihatinkan bagi masyarakat Indonesia. Ternyata kebiasaan melempar ujaran kebencian berbau serangan rasialisme yang sesungguhnya lahir dari alam penjajahan dalam kenyataannya masih dipelihara masyarakat Indonesia yang sudah merdeka.

Mereka tidak membayangkan betapa berpuluh-puluh tahun yang lalu, terdapat segelintir tokoh bangsa dari kalangan peranakan yang memperjuangkan supaya martabat bangsanya tidak dipandang sebelah mata. Yang rela berkorban dikucilkan orang-orang di sekelilingnya demi menggapai cita-cita luhur.

Mungkin dewasa ini sebagian bangsa Indonesia sudah lupa bahwa bangsa ini pernah diperjuangkan oleh A.R. Baswedan, seorang pejuang terkemuka dari kaum peranakan Arab dari Yaman.

Ialah tokoh yang menjadi garda terdepan menyuarakan agar kaum peranakan Arab yang kebanyakan berasal dari Yaman di Hindia Belanda dimasukkan ke dalam golongan inlander (bumiputera) yang sedang berjuang melawan penjajah.

Sekilas tentang A.R. Baswedan

Mungkin bagi sebagian orang nama A.R. Baswedan (1908-1986) sudah tidak asing lagi. Ia adalah kakek dari Gubernur DKI Jakarta saat ini, Anies Rasyid Baswedan.

Pria yang akrab disebut dengan A.R. Baswedan atau Pak Bas ini mempunyai nama lengkap Abdul Rahman Awad Baswedan. Ia merupakan seorang muwallad (istilah bagi peranakan Arab) yang dilahirkan di Surabaya pada 11 September 1908. A.R. Baswedan lahir dari pasangan ayah berdarah Arab Hadrami dan ibunda seorang bumiputera.

Kendati dilahirkan sebagai peranakan Arab, sejak kecil A.R. Baswedan dididik oleh keluarganya dengan kultur Jawa khas Surabaya. Ia dibiasakan untuk berbicara dalam bahasa Jawa hingga akhirnya terbiasa.

Pun dalam watak dan tabiat, A.R. Baswedan berwatak dan bertingkah seperti orang-orang Jawa yang mengedepankan adab dan kelembutan. Kontras dengan orang-orang Arab totok yang dididik agar memiliki sifat jantan khas Arab yang identik dengan perangai yang keras.

Inilah yang nantinya membuat insyaf A.R. Baswedan. Ia menemukan sendiri perbedaan yang mencolok antara dirinya sebagai kaum peranakan Arab dengan Arab yang totok.

Pembentukan Jiwa Nasionalis dalam Jiwa A.R. Baswedan

Pada masa A.R. Baswedan dilahirkan, Pemerintah Hindia Belanda tengah memberlakukan sebuah regulasi yang diskriminatif yaitu pengelompokan komunitas masyarakat yang didasarkan atas ras-ras tertentu.

Kala itu, pemerintah jajahan menempatkan bangsa Eropa dalam kelas utama, bangsa Timur Asing yang terdiri atas bangsa Tionghoa, Arab, Jepang juga lainnya dalam kelas kedua, dan kaum bumiputera dalam kelas ketiga, yakni kelas yang paling rendah.

A.R. Baswedan merupakan salah seorang peranakan Arab yang beruntung karena merasakan duduk menimba ilmu di bangku sekolah. Ia pernah merasakan betapa lezatnya menikmati ilmu di Madrasah Al-Irsyad Jakarta dan Hadramaut School Surabaya. Ada pun beberapa pelajaran lainnya ia peroleh dari beberapa kursus privat.

A.R. Baswedan juga adalah seorang yang memiliki jiwa aktivisme tinggi. Ia bergabung dengan organisasi Al-Irsyad dan Persyarikatan Muhammadiyah pada saat muda. Kemudian, ia juga menjadi seorang aktivis pemuda Islam yang kala itu bernama Jong Islamieten Bond (JIB) Surabaya.

Melalui organisasi kepemudaan Islam itulah, ide tentang nasionalisme Indonesia mulai merambah masuk ke dalam jiwa A.R. Baswedan. Dalam sebuah tulisan yang diterbitkan dalam majalah Panji Masyarakat No. 163 tahun 1974* ia menyatakan:

"Maka, nasionslisme Indonesia yang mengisi dada penulis terlebih dahulu melalui gerakan Jong Islamieten Bond (JIB) yang terkenal di Surabaya."

Ide tentang nasionalisme Indonesia semakin jelas mewarnai corak pemikiran A.R. Baswedan setelah dirinya bergabung dengan  redaksi Sin Tit Po, pers yang dirintis oleh orang-orang Tionghoa di Surabaya dan terkenal sebagai pembela bangsa berwarna pada awal 1930-an.

Selama berkarir menjadi redaktur Sin Tit Po, A.R. Baswedan bergaul dengan kolega yang berasal dari latar belakang etnis berbeda. Namun, memiliki visi yang sama tentang nasib hidup bangsa berwarna di bawah kuasa penjajah.

Saat itu, kebanyakan orang belum begitu paham bahkan ada segelintir orang yang memusuhi gagasan yang dimiliki oleh A. R Baswedan bersama koleganya di Sin Tit Po. A.R. Baswedan sendiri menggambarkan suasana yang menyelimuti aktivitasnya selama aktif di Sin Tit Po dalam sebuah tulisan yang diterbitkan Sin Tit Po 2 Desember 1939.*

"Di kantor Sin Tit Po yang waktu itu selalu hidup dengan penuh kegembiraan, meskipun di luar banyak musuh...", tulisnya.

Nasionalisme Indonesia di dalam diri A.R. Baswedan semakin menguat seiring kepindahannya ke Surabaya dan bergabung dalam redaksi harian Soeara Oemoem yang diasuh oleh dr. Soetomo, seorang aktivis pergerakan nasional terkemuka. Selain itu, ia juga mondok di pondokoan milik Surowiyono, keluarga tokoh Partai Syarikat Islam yang mana sering dikunjungi oleh tokoh-tokoh pergerakan PSII.

"Di sana pun sering datang tokoh-tokoh seperti Tjokroaminoto, H. Agus salim, A.M. Sangaji dan lain-lain untuk mengadakan pertemuan dan memberi ceramah yang mampu menambah kesadaran politik penulis dan mempertebal nasionalisme. Itu terjadi pada 1933." ungkap A.R Baswedan dalam majalah Panji Masyarakat No. 163 tahun 1974.*

A.R. Baswedan melanjutkan karir jurnalistiknya di harian Mata Hari yang pro dengan golongan peranakan. Melalui pers inilah, seorang A.R. Baswedan mulai sering menumpahkan ide cemerlang dan mengumandangkan seruan-seruan untuk para muwallad agar bersatu serta mengadakan pertemuan untuk memperteguh kedudukan mereka.

Sumpah Pemuda keturunan Arab dan Pembentukan Partai Arab Indonesia (PAI)

Potret perkumpulan PAI, (Sumber gambar: Merdeka.com)
Potret perkumpulan PAI, (Sumber gambar: Merdeka.com)


A.R. Baswedan merupakan tokoh di balik terselenggaranya konferensi Sumpah Pemuda bagi keturunan Arab. Peristiwa momumental ini terjadi di Semarang pada 4 Oktober 1934.

Konferensi ini menelurkan tiga butir Sumpah Pemuda keturunan Arab yaitu; (1) tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia, (2) karenanya, mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi), dan (3) memenuhi kewajibannya terhadap Tanah Air dan bangsa Indonesia.

Sebagai upaya untuk mengantarkan kaum peranakan Arab mencapai tujuannya, dalam konferensi tersebut disepakati untuk membentuk sebuah organisasi politik nasionalis yang berlandaskan Islam bertajuk Partai Arab Indonesia (PAI).

Sekaitannya dengan alasan penamaan PAI yang menggunakan kata 'Arab', A.R. Baswedan memberikan klarifikasi dalam sebuah wawancara dengan wartawan majalah Kiblat.*

"Lho, itu penting. Sebagai golongan yang dicantumkan pada urutan kedua dalam hukum kolonial, kita perlu mempertegas bahwa golongan Arab justru memihak kaum pergerakan", tutur pria yang akrab disapa Pak A.R ini.

Pembentukan PAI pada awalnya menimbulkan polemik di kalangan Arab khususnya orang-orang Arab totok. Pasalnya, di internal Arab sendiri terdapat dua kelompok yang saling bermusuhan yaitu antara Al-Irsyad vis a vis Rabithah Alawiyah. Akan tetapi, seiring waktu, akhirnya mereka yang bermusuhan sadar lalu berangsur-angsur bersatu dan bergabung dengan PAI.

PAI berkembang menjadi organisasi yang tidak lagi berjuang untuk kepentingan kaum peranakan Arab saja. PAI memilih untuk berjuang bersama dengan kaum bumiputera dalam menghadapi penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan diakuinya keanggotaan PAI secara penuh juga sebagai satu-satunya partai peranakan oleh GAPI (Gabungan Politik Indonesia).

Kebulatan komitmen PAI terhadap urusan persatuan nasional sungguh-sungguh diwujudkan dengan sebaik mungkin. Hal ini tercermin manakala Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, PAI memilih untuk tidak dihidupkan lagi.

Dalam perkembangan berikutnya, pasca kemerdekaan, banyak sekali kaum peranakan Arab di Indonesia yang menjadi pejuang Republiken. Bahkan sampai detik ini banyak sekali kaum peranakan Arab yang terlibat dalam upaya untuk memajukan Indonesia.

Ketika BPUPKI dibentuk pada Maret 1945, A.R. Baswedan aktif terlibat dalam aktivitas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Terutama sekali dalam upaya untuk memasukkan kaum peranakan Arab sebagai kelompok yang sah diakui dalam rancangan konstitusi Indonesia.

Dalam forum sidang BPUPKI yang digelar pada pertengahan Juli 1945, A.R. Baswedan berpidato menyampaikan aspirasi kaum peranakan Arab supaya lekas diterima sebagai warga negara yang sah jika nanti Indonesia merdeka.

Dalam sebuah pidato, A.R. Baswedan mengatakan bahwa kini nyaris sudah tidak ada lagi kaum peranakan Arab di Indonesia yang 100% berdarah Arab. Mereka semuanya sudah membaur dengan kaum bumiputera.

"Dan kalau diambil urusan darah, tidak ada peranakan Arab yang darahnya tidak 50% dari Indonesia dan 50% darah Arab. Malah ada yang lebih 75% darah Indonesia. Jadi, kalau diambil pembilangan darah, sudah hampir tidak ada. Kulturil juga tidak ada bangsa Arab di sini.", kata A.R. Baswedan.*

A.R. Baswedan berada di sebelah kanan H. Agus Salim dan sebelah kiri Prof. H.M Rasjidi (Sumber gambar: Good News from Indonesia).
A.R. Baswedan berada di sebelah kanan H. Agus Salim dan sebelah kiri Prof. H.M Rasjidi (Sumber gambar: Good News from Indonesia).


Akhirnya, segala cita-cita yang dimimpikan oleh seorang peranakan Arab berjiwa nasionalis ini sukses direalisasikan. Kini, semua kaum peranakan Arab dapat menjalankan aktivitas dengan tenang layaknya warga negara Indonesia yang berasal dari latar belakang etnis lainnya. Tak ada lagi diskriminasi yang dilakukan pemerintah sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.

Kembali lagi pada isu sedang hangat keluarga Tsamara Amany akhir-akhir ini. Sungguh jahat jika oknum tersebut mempergunakan istilah 'antek Yaman' demi kepentingan politik.

Mungkin pemilik akun Twitter itu belum tahu menahu bahwa jauh sebelum dirinya lahir, sudah terdapat 'antek Yaman' yang rela berjuang demi persatuan dan perjuangan nasional.

Mari kita doakan Tsamara Amany beserta keluarganya juga pemilik akun Twitter yang tidak bertanggungjawab itu supaya lekas insyaf! Aamiin!

*) Bersumber dari tulisan-tulisan maupun teks pidato A.R. Baswedan yang terkumpul dalam buku berjudul A.R. Baswedan Saya Muslim, Saya Nasionalis (Kumpulan Tulisan & Percikan Pemikiran) yang diterbitkan pada 2021. Buku ini disunting oleh Lukman Hakiem dan Hadi Nur Ramadhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun