Inilah yang nantinya membuat insyaf A.R. Baswedan. Ia menemukan sendiri perbedaan yang mencolok antara dirinya sebagai kaum peranakan Arab dengan Arab yang totok.
Pembentukan Jiwa Nasionalis dalam Jiwa A.R. Baswedan
Pada masa A.R. Baswedan dilahirkan, Pemerintah Hindia Belanda tengah memberlakukan sebuah regulasi yang diskriminatif yaitu pengelompokan komunitas masyarakat yang didasarkan atas ras-ras tertentu.
Kala itu, pemerintah jajahan menempatkan bangsa Eropa dalam kelas utama, bangsa Timur Asing yang terdiri atas bangsa Tionghoa, Arab, Jepang juga lainnya dalam kelas kedua, dan kaum bumiputera dalam kelas ketiga, yakni kelas yang paling rendah.
A.R. Baswedan merupakan salah seorang peranakan Arab yang beruntung karena merasakan duduk menimba ilmu di bangku sekolah. Ia pernah merasakan betapa lezatnya menikmati ilmu di Madrasah Al-Irsyad Jakarta dan Hadramaut School Surabaya. Ada pun beberapa pelajaran lainnya ia peroleh dari beberapa kursus privat.
A.R. Baswedan juga adalah seorang yang memiliki jiwa aktivisme tinggi. Ia bergabung dengan organisasi Al-Irsyad dan Persyarikatan Muhammadiyah pada saat muda. Kemudian, ia juga menjadi seorang aktivis pemuda Islam yang kala itu bernama Jong Islamieten Bond (JIB) Surabaya.
Melalui organisasi kepemudaan Islam itulah, ide tentang nasionalisme Indonesia mulai merambah masuk ke dalam jiwa A.R. Baswedan. Dalam sebuah tulisan yang diterbitkan dalam majalah Panji Masyarakat No. 163 tahun 1974* ia menyatakan:
"Maka, nasionslisme Indonesia yang mengisi dada penulis terlebih dahulu melalui gerakan Jong Islamieten Bond (JIB) yang terkenal di Surabaya."
Ide tentang nasionalisme Indonesia semakin jelas mewarnai corak pemikiran A.R. Baswedan setelah dirinya bergabung dengan  redaksi Sin Tit Po, pers yang dirintis oleh orang-orang Tionghoa di Surabaya dan terkenal sebagai pembela bangsa berwarna pada awal 1930-an.
Selama berkarir menjadi redaktur Sin Tit Po, A.R. Baswedan bergaul dengan kolega yang berasal dari latar belakang etnis berbeda. Namun, memiliki visi yang sama tentang nasib hidup bangsa berwarna di bawah kuasa penjajah.
Saat itu, kebanyakan orang belum begitu paham bahkan ada segelintir orang yang memusuhi gagasan yang dimiliki oleh A. R Baswedan bersama koleganya di Sin Tit Po. A.R. Baswedan sendiri menggambarkan suasana yang menyelimuti aktivitasnya selama aktif di Sin Tit Po dalam sebuah tulisan yang diterbitkan Sin Tit Po 2 Desember 1939.*