Beberapa tahun yang lalu, sejumlah pihak  mengusulkan agar 3 April ditetapkan sebagai hari peringatan nasional. Dilansir dari sejumlah laman berita, beberapa tokoh nasional seperti Dr. Hidayat Nur Wahid, Prof. Jimly Asshidiqie, Dr. Adian Husaini juga MUI, menyatakan pentingnya menjadikan hari ke-3 dalam bulan April sebagai hari NKRI. Lantas, sesungguhnya apa kaitannya tanggal 3 April dengan wacana hari NKRI itu?
Tepat 72 tahun silam, dalam sebuah forum sidang Parlemen RIS, seorang tokoh berpidato seraya mengeluarkan sebuah mosi  yang amat menentukan takdir negeri tercinta ini. Mosi tersebut ia nyatakan manakala Indonesia sedang mengalami ketidakstabilan sebagai akibat daripada pembentukan RIS.
Republik Indonesia Serikat (RIS) sendiri merupakan sebuah institusi federasi yang dibentuk sebagai jalan kompromi antara delegasi Republik Indonesia dengan Belanda dalam perhelatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Realisasi pembentukan RIS diselenggarakan pada 27 Desember 1949 di Den Haag dan Jakarta.
RIS Tak Direstui
Semenjak RIS didirikan, wilayah Indonesia terbagi menjadi beberapa negara bagian. Wahyudi Djaja dalam buku RIS Republik Indonesia Serikat (2008) menerangkan:
"Menurut pasal 2 Konstitusi RIS tahun 1949, Republik Indonesia Serikat terdiri atas 7 negara, 9 satuan kenegaraan, dan daerah yang bukan kekuasaan."
Dari enam belas negara yang dinyatakan sebagai bagian dari RIS, Republik Indonesia termasuk menjadi salah satu negara bagiannya dengan ibukota di Yogyakarta.
Tatkala RIS resmi didirikan, Sukarno dan Hatta yang sebelumnya menjadi Presiden dan Wakil Presisen RI dipercaya untuk menduduki jabatan baru di RIS. Sukarno didaulat sebagai Presiden RIS dan Hatta menjadi Perdana Menteri RIS. Sedangkan, dua posisi yang ditinggalkan mereka digantikan oleh  Mr. Assaat dan dr. Abdul Halim.
Tak sampai berusia satu tahun, eksistensi RIS mendapatkan reaksi yang kurang positif dari sejumlah elit dan sebagian besar rakyat di negara-negara bagian. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2016) menyatakan:
"Ada sentimen pro-Republik di negara-negara federal yang didirikan oleh Belanda itu, sentimen yang telah menjadi semakin kuat dengan dibebaskannya 12.000 orang tawanan Republik dari penjara-penjara Belanda antara bulan Agustus dan Desember 1949."
Sejarawan dari Australia itu menerangkan bahwa pembentukan RIS dipandang orang-orang sebagai muslihat Belanda. Hal demikian semakin diperparah manakala Raymond Westerling, seorang perwira Belanda, merencanakan pembunuhan kepada sejumlah menteri RIS dan melancarkan aksi yang biadab terhadap rakyat Indonesia.
Sang Pemimpin Tampil di Tengah Krisis
Riak-riak di akar rumput tak dapat ditahan lagi semenjak RIS didirikan pada 27 Desember 1949. Sejumlah ekspresi ketidakpuasan dan tuntutan rakyat yang menghendaki pembubaran negara-negara bagian RIS seiring waktu makin jelas bermunculan.
"Ketidakpuasan itu ditunjukkan dengan tuntutan dan demonstrasi agar negara-negara bagian bergabung dengan RI atau RIS dilikuidasi.", tulis Dzulfikriddin dalam Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia (2010).
Ekspresi dan tuntutan demikian muncul pasalnya rakyat di sejumlah negara bagian menilai sistem federasi (RIS) sebagai bentuk strategi Belanda untuk melemahkan kedaulatan RI. Rakyat melihat bahwa Belanda hendak memecah belah Indonesia melalui RIS.
Mohammad Natsir (1908-1993), seorang pemimpin Islam terkemuka yang menjadi
wakil dari Fraksi Masjumi di Parlemen RIS, rupanya mampu menangkap aspirasi ini dengan baik. Berbekal perintah dari Mohammad Hatta, selaku Perdana Menteri RIS. Natsir lekas melakukan lobi-lobi politik dengan beberapa tokoh yang sama-sama duduk di parlemen.
Dzulfikriddin menerangkan bahwa semenjak itulah tampak jiwa cinta persatuan nasional dari seorang Natsir. Ia dalam kapasitasnya selaku Ketua Fraksi Masjumi, partai Islam terbesar di Indonesia, tidak hanya melakukan lobi kepada wakil-wakil Islam saja, melainkan juga kepada wakil-wakil lintas partai dan haluan ideologi. Bahkan, dengan wakil dari PKI sekali pun. Lebih terang lagi, Dzulfikriddin menuliskan:
"Di Parlemen RIS, Natsir tidak hanya melobi politisi Islam, seperti Sirajuddin Abbas dari Perti dan Amelz dari PSII, tetapi juga berbicara denga I.J Kasimo dari Partai Katholik, A.M Tambunan dari Partai Kristen, dan Sukirman dari PKI."
Tak hanya itu, Natsir juga melakukan kunjungan ke negara-negara bagian guna melakukan lobi politik dan mengetahui secara aktual aspirasi peleburan serta pembubaran negara-negara bagian RIS. Natsir mengaku telah menghabiskan waktu selama dua setengah bulan untuk melakukan lobi politik wabil khusus dengan negara-negara bagian di luar Pulau Jawa.
"Natsir menemui Mr. Assaat, Pejabat Presiden RI di Yogya, dan pergi ke daerah-daerah lain untuk melakukan pendekatan dan mengetahui pendapat mereka." tulis Dzulfikriddin.
Setelah melakukan lobi-lobi politik yang memakan waktu tak sebentar. Natsir sampai pada sebuah simpulan, "Negara-negara bagian itu mau bersatu kembali dengan Republik Indonesia Yogya, asal jangan disuruh bubar sendiri".
Bermodalkan hasil lobi-lobi politik dengan sejumlah pihak dan pengetahuan yang mendalam mengenai aspirasi pembubaran negara-negara bagian RIS. Natsir menyampaikan pidato di sidang Parlemen RIS yang kala itu bertepatan pada 3 April 1950.
Pada akhir pidatonya, dengan bahasa yang santun namun mengandung isyarat yang tegas. Natsir menyampaikan sebuah mosi di hadapan peserta sidang Parlemen RIS.
"Menganjurkan kepada Pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal-soal yang hangat, yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik di waktu yang akhir-akhir ini, dengan cara integral dan program yang tertentu.", ungkap Natsir.
Mosi yang terkandung di akhir pidato Natsir itu lekas mendapatkan persetujuan yang bulat di tengah parlemen. Tidak ada satu wakil pun yang merasa keberatan dan menolak mosi tersebut.
Beberapa nama wakil di Parlemen RIS yang tercatat mendukung dan menandatangani mosi dari Natsir saat itu ialah Soebadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Sukirman, K. Werdojo, A.M. Tambunan, Ngadiman Hardjosubroto, B. Sahetapy Engel, Amelz, Tjokronegoro, Moch. Tauhid, dan Siradjuddin Abbas.
Mosi itu juga disambut dengan baik oleh Perdana Menteri Hatta selaku kepala eksekutif RIS. Ia menyampaikan, "Mosi integral Natsir kami jadikan pedoman menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi."
Sekaitannya dengan dikeluarkannya mosi tersebut. Roni Tabroni dalam artikel berjudul Komunikasi Politik Mohammad Natsir (2017) yang diterbitkan pada Jurnal Communicatus membeberkan pengakuan Natsir.
Menurut Natsir, mosi itu dibuat
"kabur-kabur" sebab ia tidak ingin Belanda mengetahui maksud sesungguhnya dari mosi tersebut. "Jangan sampai nanti Belanda bikin kacau lagi. Belanda tidak boleh tahu, mau kemana arah perginya rencana itu.", ujarnya.
Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan mosi yang disampaikan Natsir, maka diselenggarakan konferensi antara RIS bersama RI yang menghasilkan kesepakatan yang secara umum berisi kehendak untuk membentuk negara kesatuan. Persetujuan antara dua pihak tersebut disahkan pada 19 Mei 1950.
Lebih jauh lagi, RIS secara resmi dibubarkan pada peringatan lima tahun kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1950. Bertepatan dengan hari itu juga dinyatakan bahwa bentuk negara Indonesia ialah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan  Sukarno dan Hatta terpilih kembali menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Refleksi Historiografi Kita
Natsir dalam kapasitasnya waktu itu sebagai  anggota legislatif di Parlemen RIS dinilai telah membuat sebuah terobosan yang sarat akan solusi. Ia sukses membuka jalan untuk proses integrasi nasional dengan maksud untuk menghindari jebakan lain yang akan diciptakan Belanda.
Dengan tiga formula yang tertanam di dalam jiwanya seperti (1) kepekaan pada keadaan, (2) kecintaan pada persatuan, dan (3) kemampuan membangun pola komunikasi yang efektif. Natsir mampu mengakomodasi keinginan sebagian besar rakyat Indonesia agar bersatu di bawah naungan RI melalui mosi yang terkenal dengan "Mosi Integral Natsir" itu.
Signifikansi dari ekses Mosi Integral Natsir diakui oleh tokoh-tokoh satu generasi maupun lintas generasi. Indikasi pada hal ini misalnya nampak manakala Presiden Sukarno berkata kepada Asa Bafagih, seorang wartawan surat kabar Merdeka.
Sukarno saat itu ditanya siapa orang yang dipercaya untuk membentuk kabinet baru pasca NKRI diberlakukan. Dengan gamblang ia menyampaikan, "Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masjumi. Dia yang mempunyai konsep untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi."
Di samping Presiden Sukarno, seorang tokoh PNI, Arnold Manonutu menuturkan bahwa, "Tanpa M. Natsir, tidak akan ada Negara Kesatuan Republik Indonesia ini".
Ada pun, tokoh-tokoh lintas generasi yang bersuara menanggapi hal ini di antaranya adalah Nurcholish Madjid, Buya Syafii Ma'arif, dan K.H. Ali Yafie.
Menengok pelbagai tanggapan positif tokoh-tokoh besar atas kontribusi Natsir. Terlepas dari usulan seremonial 3 April yang belum kunjung diwujudkan. Ada satu hal yang membuat penulis penasaran, apa yang sesungguhnya menyebabkan kontribusi dari tokoh satu ini tidak dituliskan dalam sebagian besar historiografi bahkan di buku-buku pelajaran sejarah SMA sekali pun?
Semoga narasi lapuk berbunyi "tokoh ini terindikasi pernah terlibat PRRI dan menjadi pembela Islam yang setia" tidak menjadi dasar pertimbangan bagi para sejarawan maupun bagian Litbang Kemendikbudristek dalam menempatkan peran Natsir.
Atau pun, jika hal itu tidak dilakukan karena dikhawatirkan berpotensi membangkitkan fanatisme kelompok Islam di Indonesia, bagi hemat penulis adalah kurang tepat. Justru dengan menempatkan Natsir sebagai negarawan Muslim dalam historiografi Indonesia dapat menjadi sebuah langkah penting untuk menginsyafkan kelompok-kelompok Islam yang condong melawan negara.
Semoga Allah merahmati Natsir allahuyarham, Sang Pecinta Persatuan. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H