Mohon tunggu...
naufal __frds
naufal __frds Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pancasila

Aku suka mendaki gunung melewati lembah

Selanjutnya

Tutup

Nature

Berkelana menggapai atap gunung yang terkenal sakral dan mistis yaitu GUNUNG LAWU

19 September 2022   21:58 Diperbarui: 19 September 2022   22:08 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kondisi sedang istirahat dengan beberapa pendaki yang ku temui disana

cb00e842-7984-48dd-a22b-ca7eb171ac36-6328820d165bcf01df3ae4f3.jpeg
cb00e842-7984-48dd-a22b-ca7eb171ac36-6328820d165bcf01df3ae4f3.jpeg
Gunung Lawu. Gunung setinggi 3.265 mdpl yang terletak di antara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini sejak dahulu memang sudah menarik perhatianku. Bukan tanpa sebab, karena begitu banyak cerita dan kisah di sana yang menjadi perbincangan di masyarakat.

Mulai dari cerita mistis hingga urban legend warung 'Mbok Yem' yang legendaris itu. Sayangnya keinginanku mendaki Gunung Lawu tak pernah terwujud.

40bb6f69-3e67-4f63-ae09-a626e97914d0-632879d54addee57d0687033.jpeg
40bb6f69-3e67-4f63-ae09-a626e97914d0-632879d54addee57d0687033.jpeg

Memang selama mendaki gunung sejak 2014 mulai dari Ciremai, Slamet, Sindoro, Sumbing hingga Semeru saya belum pernah mengalami hal-hal mistis. Tapi, tetap saja hati ini sempat sedikit goyah.

Bukan tanpa sebab, beberapa bulan lalu baru ada kejadian pendaki hilang karena kabut lalu dia ditemukan tewas akibat jatuh ke jurang. Padahal yang bersangkutan naik ramai-ramai. Lantas bagaimana dengan nasibku nanti yang akan mendaki seorang diri?

Tiga hari sebelum keberangkatan, batin ini terus bergejolak. Ada sedikit rasa cemas namun di satu sisi hormon adrenalin terus terpancing, semakin tak sabar ingin mendaki Gunung Lawu.

Setelah mengalami pergolakan batin dan merenung panjang, rasa gundah di hati ini perlahan pudar dan saya semakin yakin mendaki Gunung Lawu seorang diri. Akhirnya dari Jakarta saya mulai menyusun sejumlah rencana perjalanan dan menetapkan tanggal pendakian yakni 20 Oktober 2020.

H-1 sebelum pendakian, saya pulang ke rumah dengan melakukan start dari Stasiun Gambir ke Stasiun Bandung. Sebagai warga negara yang baik, tentu saya mengikuti anjuran pemerintah dan Satgas COVID-19 yaitu melakukan rapid test terlebih dahulu. Hasilnya sudah pasti saya non-reaktif. Selama perjalanan juga saya mematuhi protokol kesehatan menjaga jarak, mencuci tangan dan tidak lupa memakai masker.


Singkat kata, tibalah saya di rumah dengan selamat. Di sana saya langsung menyiapkan alat-alat pendakian. Ada beberapa barangku yang masih ada tapi ada juga yang hilang seperti kompor dan nesting, tapi semua masih bisa diatasi. Jelang keberangkatan tidak lupa aku meminta izin dan doa restu dari orang tua.

Perjalanan menuju Gunung Lawu kali ini bisa dibilang unik dan cukup mewah. Dulu biasa naik kereta kelas ekonomi atau bisnis kini, pakai kelas eksekutif yakni Turangga dari Stasiun Bandung ke Stasiun Solo Balapan. Masalah harga tiket, jangan ditanya, sudah pasti cukup menguras isi dompet.

f863565e-e00e-4646-8d42-3887ad6c0a87-63287a15c1af9a55a90f4244.jpeg
f863565e-e00e-4646-8d42-3887ad6c0a87-63287a15c1af9a55a90f4244.jpeg

Mendaki seorang diri memang ada plus minusnya. Plusnya adalah selama perjalanan terasa cukup tenang dan kita lebih memiliki kontrol penuh terhadap waktu dan rencana-rencana selama berada di lapangan. Sedangkan minusnya, jelas perjalanan terasa hampa karena tidak ada teman ngobrol dan budget membengkak.

Dari Solo Balapan ke Gunung Lawu

Saya tiba di check point pertama yakni di Stasiun Solo Balapan pada Selasa subuh sekitar pukul 03.10 WIB. Setibanya di Solo saya sempat berkeliling mencari angkringan karena perut ini sudah keroncongan. Sekitar 10 menit berkeliling, tidak ada angkringan yang buka, Solo benar-benar sepi kala itu. Penyebabnya tidak lain akibat COVID-19 sehingga tidak banyak orang lalu lalang di sana.

Meski begitu, untungnya masih ada mini market yang buka dan saya langsung pergi ke sana untuk membeli beberapa cemilan dan logistik.

Usai dari mini market, saya kembali melanjutkan perjalanan menuju basecamp pendakian. Kebetulan saya sudah berencana mendaki melalui jalur Candi Cetho karena pemandangan di sana cukup baik dibanding dari Cemoro Sewu atau Cemoro Kandang. Selain itu, start pendakian cukup enak karena kita sudah berada di ketinggian sekitar 1.700-an mdpl atau sudah setengah di badan Gunung Lawu. Jadi kita enggak benar-benar naik dari bawah.

Dari Solo Balapan saya menyewa mobil seorang diri dan tentu saja hal itu menguras isi dompet. Perjalanan menuju Candi Cetho cukup lancar dan cuaca subuh itu sedikit gerimis. Lama perjalanan sekitar 1 jam 30 menit dengan medan menanjak dan berkelok-kelok. Terlihat beberapa truk pembawa air lalu lalang dari arah Cetho menuju Solo.

Ah, ternyata saya sangat rindu dengan pemandangan seperti ini. Udara dingin segar dan jauh dari hinar binar Ibu Kota Jakarta membuat perjalanan semakin syahdu.

Saya sendiri tiba di basecamp pendakian Cetho sekitar pukul 04.45 WIB. Rasa was-was sempat menghampiri karena suasana di sekitar basecamp sepi. Tidak ada warung yang buka, tidak banyak orang berkeliaran dan saya belum melihat adanya orang yang akan mendaki atau baru turun gunung saat itu.

Persiapan Pendakian

Sebelum start pendakian, saya sempat istirahat sebentar di basecamp Barokah. Di sana akhirnya saya melihat ada beberapa orang pendaki yang ternyata merupakan rombongan dari Jawa Timur. Mereka cukup banyak sekitar tujuh orang tapi sayangnya mereka baru saja turun gunung dan akan pulang.

Saya berkenalan dengan mereka dan menanyakan bagaimana suasana Gunung Lawu termasuk medan pendakian di jalur Cetho. Mereka bilang cukup aman dan jalur-jalur cukup jelas, hanya saja cuaca di atas sempat berkabut sehingga mengurangi jarak pandang. Lalu mereka bertanya saya mendaki dengan siapa. Setelah mendengar mendaki seorang diri tentu sudah bisa ditebak bagaimana ekspresi mereka. Ya, mereka kaget dan terheran-heran.

"Serius mas sendirian? Gila, enggak takut apa? Apa sebelumnya sudah pernah mendaki sendirian?" tanya dia.

"Ya belum lah, ini aku baru pertama naik sendiri, yah itung-itung cari pengalaman dan menenangkan diri dari kerjaan dan juga doi haha," jawabku.

Akhirnya kita berbincang-bincang sedikit dan berkutar kontak siapa tahu dalam perjalanan berikutya kami bisa menanjak bareng.

Solo Hiking dari Basecamp Cetho Menuju Pos 1

Pendakian Gunung Lawu baru dibuka pukul 07.00 WIB. Saya sangat antusias karena cuaca pagi ini sangat cerah, tidak ada hujan, tidak ada kabut, dan puncak terlihat dengan sangat jelas. Rasanya seperti Gunung Lawu memberikan restu dan karpet merah kepadaku untuk masuk ke dalam sana.

Setelah cukup istirahat dan memastikan barang-barang lengkap saya langsung tancap gas melakukan pendakian. Sebenarnya, pendakian yang sudah-sudah biasa saya baru jalan sekitar pukul 10.00 WIB atau setelah zuhur bahkan terkadang malam. Tetapi mengingat kali ini saya mendaki sendiri, mau tidak mau harus berangat sepagi mungkin agar perjalanan lebih aman terlebih gunung yang didaki adalah Gunung Lawu.

Biaya simaksi Gunung Lawu adalah Rp 20 ribu. Tapi ada sedikit catatan, karena COVID-19 seharusnya petugas di basecamp menerapkan protokol kesehatan ketat yakni meminta surat bebas COVID-19 atau minimal surat keterangan sehat, tetapi kala itu saya tidak diminta menunjukan surat itu.

Saya positif thinking mungkin petugas jaga di basecamp sudah percaya kalau para pendaki dalam keadan sehat. Tapi entahlah, hanya mereka yang tahu.

Setelah mengurus simaksi saya diberi satu peta pendakian Gunung Lawu. Dalam peta dijelaskan ada 5 pos utama di jalur Cetho dan beberapa pos kecil. Urutannya mulai dari basecamp - Candi Cetho - Candi Kethek - area camp - Pos 1 - Pos Bayangan - Pos 2 - Pos 3 dan sumber air - Pos 4 dan area camp - Pos 5 - Gupak Menjangan - Telaga - Batas Sabana - Pasar Dieng - Mbok Yem - Hargo Dalem dan Puncak Hargo Dumilah.

Petugas basecamp itu mengatakan, suasana Gunung Lawu akhir-akhir ini cukup baik dan cerah. Ia memberikan saran jika kabut turun lebih baik berhenti sejenak untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, dia mengatakan agar mendirikan tenda di Pos 3, Pos 5, atau di Gupak Menjangan dia tidak merekomendasikan mendirikan tenda di Pos 4.

Kebetulan sekali meski saya mendaki seorang diri ternyata hari itu ada beberapa rombongan lain yang mendaki Lawu. Saya bertemu dengan dua orang bapak-bapak dari Kediri namanya Pak Miko dan satu lagi saya lupa namanya. Ah lega sekali rasanya, ternyata saya tidak benar-benar sendirian mendaki gunung ini.

Perjalanan dari basecamp ke Pos 1 saya jalan bersama mereka. Kita berbagi cerita dan kisah seputar pendakian gunung. Ternyata Pak Miko ini sudah cukup ekspert karena sudah tiga kali naik Lawu. Kemudian sudah banyak gunung lain yang dia daki. Meski usianya sudah tak lagi muda, tapi staminanya masih terawat dengan baik.

Rencananya saya dan Pak Miko ini akan mendirikan tenda di Gupak Menjangan atau selepas Pos 5 naik sedikit. Pak Miko memperkirakan kita sampai di Gupak sekitar pukul 15.00 WIB. Tetapi berhubung saya cukup lama tidak naik gunung sekitar tiga tahun, rasanya pendakian kali ini terasa berat.

Ditambah saya tidak pernah olah raga dan melakukan pemanasan terlebih dahulu. 

Otot-otot di pundak ini terasa begitu nyeri dan pegal akibat banyaknya barang di carrier kapasitas 60 liter ini. Tiap jalan lima menit saya selalu berhenti untuk mengatur napas dan stamina. Sungguh berat sekali rasanya. Akhrinya saya mempersilakan Pak Miko untuk jalan duluan dan kita berpisah di Candi Kethek.

Gila memang, baru sekitar 30 menit perjalanan tapi stamina sudah banyak terkuras. Saya merasa sedih sekaligus menyesal karena tidak pernah berolahraga.

Selesai istirahat di Candi Kethek, perjalanan seorang diri kembali berlanjut. Jalur pendakian menuju Pos 1 boleh dibilang tidak terlalu terjal dan masih cukup ramah. Sepanjang jalan kita disugguhkan ladang-ladang pertanian milik warga.

Sebelum sampai Pos 1, di sana ada sumber mata air mengalir yang sepertinya menjadi tempat petilasan. Saya menyempatkan diri mencicipi bagaimana rasanya air di sana dan ternyata memang lebih segar dari air mineral yang ada di kota-kota.

Akhirnya tepat sekitar pukul 08.40 WIB saya tiba di Pos 1. Di sini ada sebuah shelter kecil, tapi karena sepi dan sudah istirahat cukup lama di sumber air, saya langsung melanjutkan perjalanan ke Pos 2.

Bertemu Burung Jalak Jawa

Jalur pendakian dari Pos 1 ke Pos 2 ini sudah banyak didominasi oleh pohon pinus. Kalau melihat peta, jarak dari Pos 1 ke 2 sekitar 1.034 meter dengan waktu tempuh sekitar 52 menit dengan medan yang cukup terjal. Memang terjal sekali medannya.

Dalam perjalanan ke Pos 2, kebetulan saya bertemu dengan burung Jalak Jawa Gading Abu yang seolah menuntun perjalananku menuju puncak. Entah percaya atau tidak, memang di Gunung Lawu ini terkenal dengan mitos Kiai Jalak.

Konon Kiai Jalak ini merupakan pengikut dari Brawijaya V. Jika kita memiliki niatan baik, maka Jalak itu akan menuntun kita sampai atas tapi kalau tidak, katanya kita akan bernasib buruk. Tapi itu semua hanya mitos dan saya juga tidak terlalu percaya dan memikirkan hal itu. Terpenting kembali ke diri sendiri dan niat kita ke gunung untuk apa.

Burung Jalak Jawa itu lumayan lama menemani perjalananku dari Pos 1 ke Pos 2. Beberapa kali pikiran ini sempat sugest 'sepertinya pendakian kali ini gagal total alias tidak akan sampai puncak'. Selain pundak, kedua kaki ini benar-benar terasa berat, baru beberapa langkah ke atas saya sudah berhenti untuk istirahat.

Perjalanan dari Pos 2 ke Pos 3 akhrinya saya barengan bersama mereka. Karena masih sedikit canggung, tidak banyak perbincangan di antara kami. Perjalanan menuju Pos 3 cukup berat, medan terjal dan terus menanjak hampir tidak ada bonus (jalur landai). Kemudian kabut juga mulai turun sehingga jarak pandang berkurang. Meski begitu, saya sama sekali tidak khawatir karena kali ini ada enam orang yang menemani perjalanan menuju Gupak.

Selama perjalanan menuju Pos 3, saya juga masih melihat ada beberapa burung Jalak Jawa yang seperti menuntun jalan. Emang bener-bener epic sih itu Jalak.

kondisi sedang istirahat dengan beberapa pendaki yang ku temui disana
kondisi sedang istirahat dengan beberapa pendaki yang ku temui disana

Pukul 12.00 WIB akhirnya sampai juga di Pos 3. Pos 3 ini cukup luas dan terdapat shelter yang cukup besar. Selain itu ada sumber air yang cukup melimpah di sini.

Kita istirahat cukup lama di Pos 3 kurang lebih sekitar satu jam. Seperti biasa, waktu istirahat dipakai untuk ngemil hingga sebat. Sebenarnya saya ingin mengambil beberapa dokumentasi di sekitar Pos 3 ini tapi karena sudah cukup lelah dengan perjalanan saya hanya menghabiskan waktu istirahat untuk bersandar sembari merenggangkan kaki.

Selesai istirahat tepat sekitar pukul 13.00 WIB kami melanjutkan perjalanan dari Pos 3 menuju ke Pos 4. Sejauh ini so far tidak ada masalah dan kendala yang berarti. Medan pendakian, ya jelas jangan ditanya semakin terjal dibandingkan dari Pos 2 ke Pos 3.

Hampir dua jam perjalanan, sekitar pukul 14.45 WIB kami sampai di Pos 4. Ya, pos yang katanya menyimpan banyak kisah mistis itu.

Kalau melihat topografi Pos 4 ini, memang cukup sempit dan tidak layak untuk mendirikan tenda. Sebenarnya bisa saja mendirikan tenda di sini tetapi space area terlalu kecil. Selain itu, tidak banyak pohon-pohon di spot pendirian tenda sehingga akan cukup riskan jika memaksakan diri mendirikan tenda di sana.

Oh iya, di Pos 4 ini juga ada shelter kecil yang sepertinya bisa menampung sekitar empat sampai enam orang. Tapi memang sih suasana di Pos 4 agak berbeda dibanding dengan di Pos 3, Pos 2 atau Pos 1.

Mungkin karena Pos 4 ini berada diketinggian 2.550 mdpl sehingga suasanya berbeda dibanding dengan di Pos 3 atau Pos 2. Kami sendiri tidak berlama-lama istirahat di Pos 4 kira-kira hanya 30 menitan.

Catatan: Ada satu hal yang hampir lupa saya jelaskan di jalur pendakian via Cheto ini. Hampir di setiap pos selalu ada tempat khusus untuk menaruh sesajen. Beberapa saya melihat ada bekas dupa dan bunga di sana mungkin bunga mawar. Selain dupa dan bunga juga ada seserahan makanan seperti beras dan sebagainya.

Sore Menjelang Malam dan Disambut Kabut dan Hujan

Usai istirahat di Pos 4, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 5. Rencananya rombongan dari UIN Tangsel ini ingin mendirikan tenda di Pos 5 sementara saya ingin mendirikan tenda di Gupak Menjangan agar perjalanan menuju nanti puncak tidak terlalu jauh. Tetapi semua melihat situasi dan kondisi mengingat jam sudah menunjukkan pukul 15.45 WIB.

Berdasarkan keterangan peta, perjalanan dari Pos 4 menuju Pos 5 cukup jauh kira-kira sekitar 80 menit. Terlebih jika berjalan dengan santai seperti ini, perkiraan kita baru sampai sekitar pukul 17.20 WIB. Jalur dari Pos 4 ke Pos 5 ini juga merupakan yang terjauh jika dibanding dari basecamp ke Pos 1, Pos 1 ke Pos 2, dan Pos 3 ke Pos 4. Kurang lebih jaraknya sekitar 824 meter dengan medan terjal.

Karena asyiknya rombongan dari UIN ini, sampai-sampai membuat lupa jika saya saat itu sedang mendaki seorang diri. Perlahan tapi pasti saya mulai berbaur dan mengobrol dengan mereka tidak seperti dalam perjalanan dari Pos 3 ke Pos 4 yang masih sedikit canggung.

Kabut di Gunung Lawu ini akhirnya kembali datang, namun kali disertai dengan rintik air. Sekitar pukul 16.40 WIB kabut semakin tebal dan rintik air juga semakin banyak. Ketika itu saya berfikir mungkin ini hanya air dari kabut tapi ternyata salah. Rintik air itu bukanlah air kabut tetapi memang akibat hujan.

Dalam pendakian ini saya hanya membawa satu jaket tebal berwarna hitam. Jaket ini sangat spesial karena anti air dan juga ada bulu angsanya sehingga sangat hangat begitu dipakai. Tapi satu kekurangan jaket ini yaitu memiliki berat yang berbeda dibanding jaket biasa. Karena carrier ini sudah penuh, jelas saya tidak bisa memasukkan jaket itu sehingga saya akali dengan cara diikat dari belakang carrier dan terlihat seperti orang sedang memeluk.

Ternyata ada satu pendaki yang ketakutan ketika melihat saya berjalan dengan posisi seperti itu. Dia adalah seorang pendaki wanita dari rombongan Yogyakarta. Saya dan dia sebenarnya sudah berpapasan sebelumnya di Pos 3. Namun karena saya terlalu lama istirahat, mereka melanjutkan perjalanan duluan.

Kemudian kita kembali berpapasan di tengah perjalanan dari Pos 4 menuju Pos 5 sekitar pukul 16.50 WIB. Entah apa maksudnya tapi dia nyeletuk ketakutan ketika melihat saya.

"Mas, jangan kayak gitu bawa jaketnya saya takut, masnya kayak lagi ngegendong orang. Hati-hati loh mas," ucap dia.

Saya hanya tertawa mendengar hal itu. Tapi kebetulan karena saat itu hujan semakin deras akhirnya saya putuskan kembali memakai jaket. Saya juga sebenarnya ingin sekalian memakai ponco, tapi sialnya ponco yang ada berwarna hijau.

Sementara ada mitos yang mengatakan jangan memakai pakaian atau barang berwarna hijau selama berada di jalur pendakian Gunung Lawu. Akhirnya saya urungkan niat memakai ponco itu karena sebenarnya jaket ini juga sudah tahan air.

Hampir selama satu jam lebih perjalanan sambil hujan-hujanan dan kena kabut, kami akhirnya sampai di Pos 5 sekitar pukul 17.25 WIB. Kebetulan juga begitu sampai Pos 5 hujan reda dan kabut mulai hilang.

Pos 5 ini ada diketinggian 2.861 mdpl di mana terdapat sabana yang cukup luas. Jika kalian naik dari Cemoro Kandang atau Cemoro Sewu niscaya kalian tidak akan menemukan pemandangan seperti ini, katanya sih.

Usai beristirahat sejenak di Pos 5, kami berembuk akan mendirikan tenda atau tidak. Dari sana akhirnya diputuskan tenda akan digelar di Gupak Menjangan. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan saat itu. Pertama memang Pos 5 cukup luas dan bisa menampung banyak tenda tetapi di sana pohon-pohon cukup sedikit sehingga jika pait-pait terjadi badai, tentu akan terjadi hal yang tidak diinginkan.

Kedua, jarak dari Pos 5 ke Gupak Menjangan tidak terlalu jauh, kurang lebih jarak dari Pos 5 ke Gupak hanya sekitar 40 menit. Terakhir melihat cuaca masih cukup terang meski jam sudah menunjukkan hampir pukul 18.00 WIB membuat kita tetap melakukan perjalanan ke Gupak.

Sekitar pukul 17.45 WIB kita melanjutkan perjalanan menuju Gupak Menjangan. Medan dari Pos 5 ke Gupak tidak terlalu terjal seperti dari Pos 2 sampai Pos 5. Di sini banyak sekali bonusnya. Hingga saat ini, alhamdulillah perjalanan masih aman terkendali tak ada kendala.

Potret berada di gupakan mendjangan menuju Pasar Dieng/Pasar Setan
Potret berada di gupakan mendjangan menuju Pasar Dieng/Pasar Setan

Di tengah perjalanan ke Pos 5, saya dengan Blek dan Son (2 pendaki dari UIN Tangsel) sempat berleha-leha sejenak. Ternyata di sana ada buah arbei yang sudah matang dan jumlahnya banyak sekali. Ketika dicicipi ternyata rasanya cukup manis. Kami pikir sayang sekali kalau tidak diambil dan akhirnya sekitar lima menit kami bertiga keasyikan memetik buah arbei di sana.

7e2fe62b-2494-430e-9969-9260cd50dbe1-63287f1a165bcf1a637020c2.jpeg
7e2fe62b-2494-430e-9969-9260cd50dbe1-63287f1a165bcf1a637020c2.jpeg
Proses pemasangan tenda berjalan cukup cepat sekitar pukul 19.00 WIB dua tenda sudah siap untuk dipakai. Berbarengan dengan itu, sambil berjalan parallel kita juga membereskan barang-barang bawaan di dalam carrier dan mulai mengeluarkan peralatan makan mulai dari kompor nesting hingga logistik.

Sekitar pukul 20.00 WIB, setelah selesai makan saya mengeluarkan buku merah kecil. Karena tidak boleh bakar-bakar api unggun, saya hanya menyalakan kompor di belakang tenda.

Suhu di Gupak Menjangan malam itu cukup dingin, mungkin dibawah 18 derajat celcius. Dinginnya udara malam di Gupak tidak menyurutkan niat untuk menulis sebuah pesan kecil ini.

Di tengah hening malam dan ditemani api kecil dari kompor saya mencoba menulis dan merangka beberapa kata mutiara untuk dia. Sialnya mungkin akibat tadi kehujanan dan fisik yang sudah cukup lelah membuat pikiran saat itu tidak bisa fokus seperti biasa. Pada akhirnya saya hanya menuliskan apa yang selama ini ada di dalam hati ini.

Dalam perjalanan menuju puncak, saya sempat bertanya kepada Fajar dan Emon soal adanya enam pendaki misterius yang semalam sempat mampir ke tenda saya. Ternyata, mereka mengaku tidak melihat adanya rombongan pendaki enam orang itu. Dalam hati saya masih berpikir positif mungkin enam orang ini tidak melintas di depan tenda mereka.

Pendakian dari Gupak Menjangan ke puncak tidak terlalu jauh. Meski begitu, kita harus melalui beberapa pos di depan mulai dari Pasar Dieng, Hargo Dalem, Mbok Yem lalu puncak Hargo Dumilah. Jika ditotal, perjalanan dari Gupak Menjangan sampai puncak membutuhkan waktu kurang lebih hampir 60 menit.

Bak petir di siang bolong, cuaca yang tadinya cerah berubah drastis saat kami akan sampai ke Pasar Dieng. Kabut tiba-tiba kembali muncul dan hujan rintik manja turun dengan syahdunya. Wah sumpah saya speechless ketika itu. Saya khawatir kejadian seperti di Gunung Slamet dan Sumbing kembali terulang (ditutup kabut ketika ada di puncak).

f9d3aca7-4259-43f9-941b-e9f999e37992-63287f7cc1af9a3ce408d8d5.jpeg
f9d3aca7-4259-43f9-941b-e9f999e37992-63287f7cc1af9a3ce408d8d5.jpeg
potret ketika merasa sangat senang bisa sampai puncak tertinggi di gunung lawu (Hargo Dumilah)

Mbok Yem, Urban Legend Gunung Lawu

Pernahkan kalian melihat ada warung makan dengan menu komplit di atas gunung? Atau pernahkah kalian terpikir ada warung di ketinggian 3.150 mdpl? Ini bukan warung kecil ya tapi warung cukup besar seperti yang ada ditempat-tempat angkringan.
Pernahkan kalian melihat ada warung makan dengan menu komplit di atas gunung? Atau pernahkah kalian terpikir ada warung di ketinggian 3.150 mdpl? Ini bukan warung kecil ya tapi warung cukup besar seperti yang ada ditempat-tempat angkringan.

Potret warung mbok yem dikala siang hari
Potret warung mbok yem dikala siang hari

Ya, warung itu memang ada tidak lain dan tidak bukan adalah Mbok Yem. Warung Mbok Yem ini adalah yang tertinggi di Indonesia bahkan bisa jadi di Asia Tenggara.


Kebetulan ketika saya sampai, Mbok Yem baru saja selesai memasak nasi. Tanpa basa basi saya langsung memesan makanan di sini. Ternyata menu yang disajikan tidak main-main. Nasi gudeg ditambah dengan telur. Benar-benar makanan yang cukup mewah ketika kita berada di puncak gunung.

Harga paket nasi dan minuman hangat di Mbok Yem juga cukup ramah di kantong hanya Rp 20 ribu. Kalau diperhatikan dengan seksama, dagangan yang ada di Mbok Yem ini sudah cukup komplit. Saya sampai berpikir, kira-kira bangaimana caranya orang yang mengangkut semua barang dagangan ini.

Kurang lebih seperti itu sedikit pengalaman mendaki solo ke Gunung Lawu via Candi Cetho. Secara garis besar sangat cukup memuaskan dan memberikan banyak pengalaman bagi saya pribadi. Jadi engga benar-benar full mendaki solo karena ternyata ada rombongan yang mengajak naik bareng.

Tidak lupa kembali saya sampaikan banyak terima kasih kepada rombongan dari UIN Tangsel yakni Son, Yudit, Fatin, Blek, Edo dan Faiz. Kalian memang sungguh luar biasa. Kapan-kapan kalau ada waktu, kita bisa muncak bareng lagi.

Kemudian terima kasih juga buat Emon dan Fajar yang sudah nemenin di puncak walau telat. Terima kasih juga karena sudah mau turun bareng dan mengatarkan saya sampai Solo. Next time, begitu ada waktu senggang perjalanan turun gunung juga bakalan ceritain sama seperti pendakian.

Akhir kata mohon maaf jika ada kesalahan kata-kata dan kekeliruan. Salam sehat selalu buat kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun