Diawali dengan tindakan yang dilakukan masing-masing negara, misalnya melalui politik luar negeri. Tindakan yang dilakukan di masing-masing negara antara lain  demonstrasi membela Palestina yang dihadiri oleh hampir seluruh warga  dunia. Untuk mendukung Palestina dan sebagai protes terhadap Israel, juga terjadi tindakan boikot atau pelarangan penggunaan atau konsumsi produk Israel  oleh berbagai negara.Â
Dari perspektif epistemologis, fenomena komunikasi langkah-langkah pertahanan Palestina oleh negara-negara dalam konteks konflik Palestina-Israel-Gaza mengacu pada bagaimana pengetahuan dipahami, dikonstruksi, dan disebarluaskan dalam kaitannya dengan konflik tersebut.
Â
Negara-negara yang mengambil tindakan membela Palestina memiliki akses terhadap sumber daya pengetahuan dan informasi dari berbagai sumber, antara lain:
Â
- Laporan berita, dokumen pemerintah, analisis akademis, sumber kemanusiaan, dan pengalaman pribadi. Sumber-sumber ini menjadi dasar pengetahuan  tentang konflik.
- Perspektif dan Perspektif Ketersediaan informasi dari berbagai sumber  menciptakan perspektif yang berbeda-beda. Negara-negara yang memiliki akses langsung terhadap konflik atau  memiliki ikatan sejarah dengan kawasan tersebut mungkin memiliki pemahaman yang berbeda dibandingkan  negara-negara yang  jauh dari zona konflik.
- Teknologi dan media sosial. Peran media sosial dalam menyebarkan informasi dan memungkinkan partisipasi aktif  dalam mengekspresikan opini publik juga memegang peranan penting dalam epistemologi. Sumber informasi kini tidak  hanya berasal dari organisasi formal seperti media, namun juga dari individu dan kelompok yang berpartisipasi dalam diskusi online.
Epistemologi, seperti pertanda kebenaran di medan perang informasi, menembus kegelapan yang menyelimuti setiap fakta dan cerita.
Di tengah hiruk pikuk berita yang saling bertentangan, kita memikirkan bagaimana pengetahuan bisa menjadi senjata penghancur atau senjata persatuan. Di sela-sela runtuhnya tembok persepsi, kita menjumpai luka-luka kemanusiaan yang terkikis dalam setiap konflik.
Epistemologi membuka jendela untuk memahami penderitaan manusia di tanah Palestina dan Israel dengan setiap kata yang dikonstruksi dan setiap gambaran yang tersebar. Ini bukan sekedar sengketa wilayah, tapi pertarungan memperebutkan jiwa dan keadilan. Ketika dihadapkan pada gelombang penderitaan, epistemologi menjadi peta batin yang memandu kita melewati labirin kebenaran yang berbeda. Pentingnya epistemologi dalam konflik ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai hakikat manusia.
- Bagaimana kita sebagai manusia menanggapi penderitaan orang lain?
- Bagaimana kita memahami dan menghormati kehidupan yang terjebak dalam  ketidakpastian?
Pertanyaan ini membutuhkan lebih dari sekedar pengetahuan. Kita harus menggunakan hati dan hati nurani kita untuk memahami, berempati, dan bertindak.
Memang epistemologi membuka ruang eksplorasi lebih dalam mengenai hakikat manusia di tengah konflik  dua masyarakat yang terperosok dalam spiral kebencian. Dalam setiap diskusi dan refleksi, kita dihadapkan pada tantangan untuk mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dibandingkan perbedaan. Mungkin di sana kita bisa menemukan titik temu yang melampaui konflik dan mengarah pada pemahaman perdamaian sejati.
Dalam konteks konflik baru-baru ini antara Palestina dan Israel, ontologi  membantu kita memahami gagasan mendasar yang mendasari pandangan kedua belah pihak mengenai keberadaan, identitas, dan klaim  tanah. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempertanyakan alam dan keberadaan, dan dapat mencakup pemahaman tentang bagaimana masing-masing pihak memandang dirinya dan dunia di sekitarnya.
Pertama-tama, dari sudut pandang bangsa Palestina, ontologi mereka  berkaitan dengan hak mereka atas tanah yang merupakan tanah leluhur mereka dan diakui sebagai  bagian integral dari identitas nasional mereka. Mereka mungkin menganggap diri mereka mempunyai ikatan sejarah dan budaya yang kuat dengan negara ini. Ontologi Palestina juga dapat mencakup hak untuk menentukan nasib sendiri dan  negara  merdeka.
Â