Saya sendiri banyak berpindah dari kawanan ke kawanan. Kawan saya dalam berpindah ialah kawan lampau saya dalam menginjak bangku pendidikan menengah baik pertama maupun atas. Saya mencurahkan apa dan bagaimana, mereka pun sebagian hanya meng iya dan ada pula beberapa memiliki narasi yang sama karena berada pada latarbelakang perguruan dan organ pula. Dari berbagai cerita dalam bangku dan meja dari kafe maupun kaki lima banyak prespektif baru yang terbentuk dan banyak pola yang saya aminkan, begitu pula teman saya ia pun mulai mengaktifkan diri dan berpindah bersama kawan lampaunya mensajikan cerita.
Setelah banyak cerita yang diceritakan, malam yang dilewatkan, serta pertemuan yang ditangguhkan. Kami bertemu berbagi  kongklusi dari apa yang terjadi dan mengapa bisa terjadi. Kami yang dulu lancip mulai sedikit berabstaksi dalam melihat kejadian-kejadian suguhan alam dan tragedi. Menemukan prespektif baru dari setiap cacahan empiris dan fraksinya dalam setiap pendiskusian terjadi, sebab pula singgahan yang telah kami lakukan dalam penemuan dan kebosanan. Kami menemukan dan dipertemukan.
Teman saya beranggapan bahwa apa yang terjadi ya sudah terjadi , persetan dengan keadaan dan tanggung jawab. ia memilih benahi diri dari apa yang ia gagal dalam emban dan konsekuensi. Kini ia lebih bulat walau pikirannya mulai abstrak. Sedangkan saya memilih berdwi jati memiliki dua entitas dan tidak mendeskriminan diantara keduanya. Saya tetap bersinggah karena empati dan etiket namun juga dilain sisi, saya menjauhkan dari apa yang dulu saya selami. Saya tidak terlalu melebihi dari awal yang saya imani.
Memang kami berdua setuju bahwa segala sesuatu yang berlebihan sejatinya ia sungguh tiada baiknya dijalankan. Namun justru kami dibuat masuk dari redaksi yang dulu sering kami gubahkan. Kami berlebibihan berat sebelah dan terpaksa keadaan. Dan karena sebab akibat, kami yang dahulu belum pernah sekali memasuki instrumen organisasi membuat rasa-rasanya seperti efek tumpahan gelas yang diairkan dimana kami tertuang dengan segala paham namun justru berceceran. Entah salah pola atau kami yang memang tak cocok dalam ritme yang diguna.
Kami pun kini menyadari dari politilk-politik yang dulu tersajikan. Dan kami menyadari bahwa kami bagian dari tumbal sistim yang kami sebut sebagai Dosa Satu Jabatan. Karena demikian kami dibentuk dari  demokrasi para oligarki kami dipahat dari mereka para pengembala suci dan mereka pula yang menjebatani dosa yang suci ini. Dimana peremajaan berlangsung sangat indah kala itu dan kami hanya mengamini. Kami terlalu cepat dalam paraktik dan terlalu cepat pula untuk sempat memahami.
Itulah konsekuensi dari setiap tragedi pasti terjadi ekskresi. Kami kini menjadi apa yang kami dahulu imani. Terbuta karena logika dan percabangannya serta menjadi apatis gila terhadap pola apa pula stigma dan skeptikal didalamnya. Kami menjadi suka tidak suka, menjauh dari dekat, pergi dari datang, serta berpulang dari kepulangan. Kami menjadi awam dari ekslusifitas keintelektualan yang disajikan. Kami memilih damai dari runyamnya keindahan dalam pandang mereka. Kami menjadi kami dari berbagai kami yang kami ceritakan.
Walau konsekuensi stagnan kami dapatkan, namun dalam bercabangnya nalar yang sebelumnya diindahkan, kini semua diam. Mereka diam entah karena disibukan dengan dunia realitas mereka atau mereka memilih untuk sekedar menghancurkan daripada mempertahankan kestagnanan alam yang dibuat. Mereka menunggu untuk menerkam, melihat dari jauh untuk kembali mengembala ternaknya kelak. Walau ia pengembala ia pula pemangsa dari apa yang ia kembala. Dari awalan kedua namun tiada akhirnya karena fase ini masih kami jalankan, menunggu pola apa yang kelak mereka indahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H