Mohon tunggu...
Awliya
Awliya Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa

entitas fana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seternak Tabu

31 Agustus 2019   02:10 Diperbarui: 12 September 2019   07:32 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasa selain pendiskusian semata organisasi diisi dengan acara giat baik dalam bidang sosial, pendidikan, atau bahkan hedonisme sebagai hiburan. Dalam praktinya tentu SDM dibutuhkan guna masuk dalam batang tubuh untuk berdirinya kokoh sebuah acara dapat ditindak. Kami pun bertukar posisi dan kadang hanya menetap pada ruang batang tertentu di batang kepanitiaan yang disediakan. Baik profit dan nonprofit keduanya sama-sama melelahkan namun cukup memuaskan dalam menambah waawasan serta pengalaman setiap hal yang telah dicanangkan.

Dan kini segalanya dimulai. Setelah acara silih berganti peremajaan anggota pun dibutuhkan guna segarnya organ. Mereka memulai dengan gerakan indah saya dan kawan pemikir saya pun sampai tak habis pikir apa yang terjadi gerangan. Dan kami hanya termangguk bagai kambing yang di giring oleh pengembala suci. Kami memang baru mengalami apa itu yang disebut sebuah organisasi. Instrumen itu terasa sangat asing bagi kami yang belum pernah menganutnya selama jenjang pendidikan yang telah kami ampuh sedari dini.

Peremajaan pun berhasil berlalu. Dan kami dengan jabatan baru terpisah namun satu roda kepemerintahan yang telah terbentuk dari politik yang kami masih buta saat itu. Yang menjadi anekdot ialah teman sepemikir saya tiada halnya menjadi seorang wakil ketua tanpa pikir panjang dan tanpa sepengetahuan organ sebelumnya, dia berada pada selongsong peluru cadangan puncak kepemerintahan yang berjalan. Sungguh dunia berjalan dengan berjuta kejutan dengan sedikit sentuhan alam yang terus berkelanjutan.

Awalan, kami entah mengapa bergairah. Seperti halnya anak kecil yang diberi mainan baru, mereka akan selalu bersemangat memainkan bendanya tersebut. Kurang lebihnya seperti itu yang kami rasakan. Kami memasuki dunia baru segala sesuatunya terasa tak nyata namun kami menikmatinya. Walau sesungguhnya kami taada komitmen kuat untuk masuk dalam bagian inti kepemerintahan yang ada dan yang giat berlangsung. Namun taada salahnya pula kami terllibat dari bagian keberadaan tersebut.

 Itu pun dengan sebuah konsekuensi , diawal kami memasuki sudah tercium bau perpecahan yang mulai terjadi. Dari sexism dan genderismenya kami membuat keputusan tergesa karena kami pikir itu akan membuat perpecahan menjadi nyata. Namun bagai bumerang handal , hal tersebutlah yang berbalik arah menerjang keras kami menjadi konflik keributan awal. Kebiasaan kami dalam pendiskusian tetap berlanjut namun kali ini selalu dengan substansi yang sama yaitu apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi  tidak lain dan tidak bukan sudah pasti didalam kepemerintahan.

Hal itu yang selalu kami lakukan dalam menjalankan roda kepemerintahan, memang itu yang dilakukan namun tak jarang pula follow up dan apa pula realisasinya. Hal yang seharusnya tersaji saat menyantap hidangan pendiskusian yaitu mengekskresikan aksi nyata tanpa hanya sekedar bualan. Namun nyatanya entah mengapa itu jarang kami lakukan. Kami hanya menyukai gubahannya tanpa memikirkan esensinya. Itu saja kami sudah memeras apa yang ada dalam benak hingga kadang terasa kering nalar kami dibuatnya dan sesak nafas kami tersenggah.

Kedua, bukan tak mungkin ini diperburuk dengan bias konflik yang ada apabila kalian pembaca pun lupa cukup kembali pada paragraf yang kini saya pun lupa,tidak saya ingat paragraf tersebut berada terakhir sebelum chapter kedua saya mulai. Bias yang kami hiraukan kala itu, berimbas kuatnya saat ini. Kami dilepas liarkan kami terombang ambing entah kemana nahkoda kami harus berlayar melintasi lautan yang luas disemenanjung cakrawala terlintas. Cukup membuat kami bertambah risau namun terlepas dari hal tersebut masalah menjadi teman kami saat ini, ia tiada halnya silih berganti.-

 Bertamu di rumah kami seakan indahnya rumah kami dimata mereka. Padahal pada saat dimasa, rumah kami tiada indahnya. Pondasinya yang kian goyah, tanahnya yang terus gemetar, atapnya pun suka ada dan tiada. Walau perwujudannya jelas namun apa yang meyakinkan itu disebut rumah pun tidak meyakinkan banyak orang ketika melihatnya. Memang terlihat miris namun oleh sebabnya masalah mudah datang, ternyata bukan karena indahnya rumah kami dipandang, namun karena betapa ringkihnya tempat perlindungan kami bersemayam.

Kami tak berpikir panjang untuk masalah itu melainkan dikemudian. Karena kami masih disibukan dengan apa dan apa yang akan digiatkan. Proker kami menumpuk dan menjulang, ia bersempit dan beriringan saut menyautnya memanggil kami dari kejauhan. Padahal rasa-rasanya kami baru saja menginjak rumah atau roda atau kapal dan banyak perumpamaanya ini. Hal itu yang membuat kami rehat sejenak. Ya rehat dari kehidupan kami dan kebiasaan kami dalam kampus. Kami terus dihantamkan Tendensi rakyat yang diampuhkan tersebut.

Banyak hal yang terjadi saat dimasa. Mulai dari kegiatan kami yang sekedar uforia, berbagi ilmu dengan kalangan anak, dan masa dimana kami menjadi bagian penyelenggara acara sakral mereka yaitu pengkaderan. Dan kali ini alam kembali membuat kejutannya. Teman sepemikir saya menjadi tombak dalam peluruhan ideologi yang ada. Tiada halnya ia sorang veteran pun tidak dalam pengkaderan namun sudah menjajal tembakan demi tembakan yang iakukan. Meleset tak berlalu ia lakukan satu persatu dan itu menjadi awal dari titik jenuh ditemu.

Tak berbeda dengan halnya ia, saya menjadi bagian tombak penanggung jawab segala lini batang tubuh acara. Menjadi akar sekaligus batang tubuh beserta pucuknya memang cukup berat apabila taada kerja sama yang giat dalam pelaksanaan dan praktiknya. Hal itu yang saya kurang menahu mengenai bagaimana dan apa yang  semestinya saya harus kerjakan dan implementasikan. Saya masih bulat runcing pun belum apalagi abstrak, hal seremeh tugas dasar pun saya masih suka keliru dalam meng-interpretasikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun