Chapter pertama 'Dua Teman Pemikir
 Sebuah kisah awal perkuliahan di kampus kecil bersebalah danau di pusat kota tangerang raya. Kami yang saat itu bertemu tak sengaja karena mata kuliah yang membebankan mahasiswanya akan tugas yang tidak kami pahami secara strukturalnya, bukan karena sang dosen yang tidak memberi penjelasan atau kami yang terlewat bodohnya, hanya saja saat itu terjadi cultural shock imbas dari latar belakang kami yang hanya seorang pelajar awam dari sekolah negeri konvensional tanpa ada pendalaman lebih mengenai komputer didalamnya.
Ya komputer , mata kuliah Pengantar Teknologi Informasi yang merepotkan itu justru mengantarkan kami terhadap pertemuan yang disuguhkan alam dalam pengenalan awal persahabatan. Dalam pertemuanya semua berjalan seperti pertemanan pada umumnya, nongkrong, rokok, kopi, game, atau sekedar canda gurau selalu menjadi bumbu setiap saat perkumpulan dipertemukan dan disuguhkan dalam hidangan pertemanan . Teman dalam giat tongkrong pun silih berganti namun kami berdua yang selalu konsis dalam giat yang monoton tersebut.
Mengapa demikian? Bukan kami yang tidak mau bergaul atau mencari gaul baru hanya saja kami yang selalu membawa topik tertentu dalam giat tongkrong merasa tidak ngeklop dalam kumpul kawan tongkrongan lainya. Topik ?? ya dalam awal perkuliahan ada masanya kami puber dalam hal intelektual. Ditambah moderenisasi yang membuat laju informasi sungguh cepat terjadi , maka dari itu kami suka mendiskusikan hal yang sedang terjadi dalam negri maupun luar baik politik, perkembangan digital, ekonomi, sosial warga, bahkan hal remeh seperti selebritas tanah air.
Karenanya kami dalam praktiknya sebelum pulang selesai matakuliah, kami bersinggah kedalam dimensi ruang yang kami sebut kantin bawah guna memanjakan nalar  setelah dijejali ilmu yang yang terpaksa di anut tuntutan kurikulum sks penunjang untuk dapat terluluskan. Namun setelah lalang melintang dalam gubahan topik pendiskusian kami merasa apa yang kami lakukan hanya akan stagnan pada momentum yang tak ditentukan karena rata-rata dalam setiap diskusinya kami hanya mempraktikannya dua arah dua orang dan jarang ada lebihnya.
Bukan tidak mau atau tidak tahan , memang sedikit membosankan. Namun yang kami lebih titik beratkan saat itu arah pemikiran atau pola dalam pikir yang bersemayam dalam benak tak akan ada ubahnya bila hanya kami berdua yang bertukar dan saling berdifrensial akan suatu topik bahasan. Tak ada sanggahan poin c atau alternatif lainya dalam subjek selama objek yang terjalin hanya a dan b. Maka dengan sengaja kami berpikir bagaimana bisa keluar dari jerat stagnan momentum saat itu. Hanya saja saat itu kami masih terlalu dini untuk berfikir konsekuensi serta andil pilihan kami.
Pada saat yang bersamaan organisasi mahasiswa dalam kampus sedang giat-giatnya mencari kader mereka dalam melanjutkan laju roda kepemerintahannya. Kami yang masih bulat tak runcing bahkan abstrak dalam berpikir kemudian mengambil oportunitas tersebut. Walau kami sempat bimbang dan maju tak kian dalam mengambil keputusan, akhirnya pada masa penutupan gelombang pendaftaran kami memberanikan diri masuk dalam roda atau bahkan yang mereka sebut sebagai rumah.
Tentunya melalui tes dalam hal ini mereka sebut pengkaderan yang pada dasarnya instrumen tersebut tak lain hanya sebuah jermbatan untuk mereka dalam menyatukan frame ideologi atau pemahaman yang mereka anut dan emban dalam geraknya roda perjalanan serta praktiknya peng-organisasian.  Setelah diaminkan kami pun terpahat dan tergurah. Yang pada awalnya kami hanya mencari humaniora baru dalam melanjutkan praktik kebiasaan yang mana kami berdua  rajut sedari awal perkuliahan berjalan.
Amin mereka pun sepakat dengan amin yang kami aminkan. Yang dari kebiasaan awal kami pulang di waktu paruh malam, kini kami berlarut lalui malam dan penghujung pagi berkumandang dalam membawa topik gubahan yang cukup berbobot tiap sautnya dan kian abstrak dalam lampauan waktu yang kian berlalu. Itu membuat kami makin terhanyut dalam meledaknya pubertas keintelektualan yang membuat otak kami seakan bermekaran dan tak tertahankan. Segala nya kami babat kami hajar kami sikat seakan hewan buas yang amat tamak.
Tak seindah dalam gubahan, problematika satu persatu mulai berdatangan dimulai dari bias yang dilakukan entah disengajanya atau tidak tapi itu cukup membekas dan kami menjadi tumbal yang tak beralas , korban yang dibutakan, serta anak yang di bingungkan. Namun kami hanya sebatas berbalas dari setiap pendiskusian yang kami bahas . tanpa ada giat praktis yang jelas dari problematika , kami hanya menganggapnya ringan dan tak terlalu berkutat terhadapnya. Seperti yang saya bahas sebelumnya kami dibutakan intelektual yang sedang hingar-bingarnya.
Chapter kedua 'Tendensi Rakyat