Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Desk Politik

Koran kampus ipb 2003-2004 Majalah trobos 2005 Tabloid Peluang Usaha, Waralaba, Wirausaha (media peluang group) 2006-2009 Tabloid The Politic (pimred), tabloid Femme (wapimred) 2009-2014 Tabloid waralaba dan wirausaha (pimred) 2014-2015 Marcomm Perusahaan mitra pertamina di SPBU 2015-2016 Marcomm media warna warni advertising 2016 Majalah properti indonesia (redaktur) 2016-2017 Majalah Inspiratif (Redaktur) 2017-2018 Berkabar.id, berempat.com, Independent observer, Sironline.id (2018-skg)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Poros Nasdem 2024, "Maju Kena, Mundur Kena"

5 November 2019   18:00 Diperbarui: 7 November 2019   08:25 7043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan ditengarai akan menjadi gacoan utama politik Nasdem untuk merebut posisi Presiden di tahun 2024 | Foto: Antara Foto/Fauzi Lamboka

Tak ada yang dengan taktis melakukan kejutan-kejutan politik setelah selesai pertarungan Pemilu 2019, kecuali Surya Paloh. Ia melakukan banyak manuver kejutan.

Tapi manuver itu juga dinilai membahayakan bagi masa depan Partai Nasdem, karena berpotensi menggerus elektabilitas politik partainya sendiri setelah merangkul PKS. Sebagian besar konstituen Nasdem adalah kelompok kelas menengah yang dalam pertarungan politik 2019 "alergi dengan PKS". 

Dan rangkulan pada PKS serta merapatnya Nasdem ke Anies Baswedan dinilai memiliki potensi membahayakan bagi Kabinet Jokowi jilid II dalam "keseimbangan konstelasi politik".  

Tapi bagi Surya Paloh mungkin sama dengan prinsip Sutan Sjahrir dalam memahami pertarungan politik : "Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan", hanya saja pertaruhan politik Surya Paloh sekarang adalah "Pertarungan melawan Jokowi dan Pendukungnya".

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Surya Paloh bisa sangat membahayakan bagi keseimbangan politik di pemerintahan Jokowi Jilid II. Pertama, Ia melakukan sinyal menjaga jarak kepada pemerintahan.

Kedua, ia jelas melakukan posisi front dengan PDI Perjuangan sebagai partai terkuat dan menjadi pengusung utama Jokowi. Ketiga mulai merapatnya Surya Paloh kepada Anies Baswedan.

Paloh seakan ingin membangun kekuatan-kekuatan politik potensial sebagai bagian dari antitesis kekuatan politik Jokowi yang direpresentasikan sebagai "Kekuatan Banteng". Dengan kata lain ia melakukan "politik penggembosan" pada PDI Perjuangan sebelum pertarungan 2024 dimulai. 

Sinyal Menjaga Jarak dengan Pemerintahan Jokowi
Kekecewaan Paloh sebenarnya mudah dibaca publik seperti terganggunya posisi Kementerian Perdagangan Enggartiasto Lukita yang secara intens mendapatkan serangan dari berbagai pihak. Bahkan Kabulog Budi Waseso sengaja dipasang Presiden Jokowi untuk menandingi kekuatan Enggar yang merupakan "mesin logistik" penting Partai Nasdem. 

Selain hal itu, posisi nyaman Nasdem dalam penempatan Jaksa Agung dilibas habis dengan tidak dibagikannya posisi Jaksa Agung kepada mereka. Padahal kekuatan politik Nasdem terletak pada trisula penting.

Pertama, Surya Paloh yang ditengarai merupakan bagian penting "Ring Satu". Kedua, Enggartiasto yang menjadi mesin logistik partai sekaligus penentu jalur kemenangan politik Nasdem di banyak Pilkada. Ketiga, adalah Jaksa Agung yang banyak dikeluhkan oleh partai-partai lawan Nasdem bermain tidak fair dalam penentuan status hukum Calon Kepala Daerah. 

Banyak pihak dari kalangan elite politisi menuding Jaksa Agung bermain politik praktis dalam melakukan serangan senyap "stick and carrot" kepada calon-calon potensial partai lain, sehingga calon partai lain terpaksa masuk ke Nasdem. 

Tiga hal inilah yang kemudian digembosi oleh Presiden Jokowi yang rupanya ingin bermain politik secara fair dan tidak ingin Surya Paloh memanfaatkan previlege politik dari pemerintahan yang dipimpinnya. 

Surya Paloh nampak sekali tidak menyukai komposisi kabinet sekarang. Ia kini hanya punya satu senjata untuk propaganda politik 2024 yaitu ditempatkannya Johnny G. Plate di Kementerian Kominfo. Padahal Plate adalah orang yang sama sekali tidak punya rekam jejak sebagai ahli komunikasi dan informatika. 

Bahkan media lebih banyak mengenal Plate sebagai "orangnya Reza Chalid Petral". Hal ini sudah diulas berbagai media.

Plate juga bertanggung jawab menghadirkan Reza pada kuliah politik Presiden Jokowi di Partai Nasdem. Hubungan-hubungan inilah yang pada nantinya akan menjadi kanal-kanal bagi terbentuknya front baru Nasdem dalam melakukan perlawanan terhadap garis politik Nasionalis-Sukarnois di mana Megawati dan Jokowi menjadi pemimpinnya. 

Dibawanya Plate ke jajaran pimpinan PKS bisa berarti sangat penting secara politis, di mana bila persekutuan politik terbentuk maka kekuatan propaganda PKS akan didukung oleh jaringan Kominfo Surya Paloh. 

Ditengarai penempatan Plate adalah untuk melakukan aliansi-aliansi strategis dalam komunikasi politik dengan para sekutu politiknya. Maka tak heran PKS yang begitu berpengaruh di Kementerian Kominfo didekati dalam usaha persekutuan politik.

Megawati yang Menoleh Muka dan Rasa Sakit Surya Paloh
Penolehan muka Megawati dalam pertemuan di Gedung MPR/DPR yang secara terang-terangan tidak menyukai Surya Paloh dan rasa malu Surya Paloh di muka publik, merupakan pesan penting dari pertarungan itu. 

Megawati adalah politisi yang sudah kawakan. Ia sangat ahli membaca langkah politik seseorang dan ia tak segan menunjukkan rasa suka atau tidak suka terhadap seseorang di muka publik. SBY adalah orang yang menjadi sasaran rasa tidak suka Megawati dan keduanya melakukan politik berjarak baik personal maupun entitas. 

Hasilnya kini bisa terlihat. Partai Demokrat seperti di ambang kebangkrutan politik karena sama sekali tidak ada kadernya yang masuk dalam kabinet, serta anjloknya suara partai di muka umum.  

Megawati telah merasa Partai Nasdem banyak melakukan aksi-aksi tidak fair, terkait juga dugaan digunakannya Jaksa Agung dalam melakukan politik di berbagai Pilkada pada 2018.

Saat Pilkada 2018, Nasdem menepuk dada karena banyak menang dalam pertarungan politik, padahal Nasdem banyak membajak calon-calon kepala daerah potensial dan bukan dari kader langsung Nasdem. Pembajakan inilah yang membuat "marah" PDI Perjuangan.

Masalah tidak disalami oleh Megawati bisa jadi merupakan bagian dari rasa sakit hati personal dan mempercepat perubahan arah politik Nasdem. "Gambaran rangkulan Surya Paloh dengan Jokowi" perlahan diubah menjadi "Gambaran rangkulan Surya Paloh dengan Anies Baswedan". 

Ini sebagai bentuk antisipasi Nasdem yang gagal untuk melakukan politik akuisisi terhadap wilayah-wilayah politik Banteng, karena terbukti kekuatan politik PDIP di berbagai wilayah pada Pemilu 2019 masih kuat sekali.

Jelas Paloh merasa khawatir terhadap gestur wajah Megawati. Namun Paloh membangun skema spekulasi politiknya, yaitu secara perlahan menyusun strategi untuk melawan kelompok Banteng dengan membentuk "kantong-kantong persekutuan baru". Kantong persekutuan politik itu pun pertama kali dijalin dengan PKS.  

Perhitungan Politik Nasdem untuk Pemilu 2024
Di tengah dekatnya Megawati dengan Prabowo, Nasdem merasa terancam. Pertimbangan Surya Paloh bahwa Gerindra adalah Partai Pecahan Golkar sama dengan Nasdem. Namun berkat ketokohan Prabowo, Gerindra menempati posisi ketiga setelah Golkar.

Dengan basis konstituen yang sama dan merupakan bagian dari "Romantika Orde Baru", baik Nasdem dan Gerindra memiliki front politik yang sama. 

Selain persoalan irisan basis konstituen, Nasdem juga merasa kecewa karena Gerindra yang jelas-jelas merupakan lawan politik Jokowi malah dapat dua kursi di Kabinet. Ditambah lagi Prabowo merupakan satu-satunya kandidat Presiden 2024 dengan elektabilitas tertinggi. Di sinilah kemudian Nasdem berhitung. 

Perhitungan politik Nasdem didasari: 

1. Partai Nasdem tidak/belum punya kandidat Presiden untuk 2024

2. Ia harus mencari kandidat yang bisa dimajukan, kemudian diklaim sebagai bagian dari Perjuangan Politik Nasdem 

3. Nasdem harus melumpuhkan kekuatan politik PDIP dan Golkar di berbagai wilayah padat populasi penduduk dalam Pilkada 2020

4. Pilkada 2020 digunakan untuk mengenalkan Poros Baru Nasdem: Anies-PKS-Surya Paloh

5. Berfungsinya jalur-jalur logistik pergerakan partai dalam kemenangan politik

6. Spekulasi politik soal Anies Baswedan dan menghadapi serangan anti-Anies oleh kubu "Ahokers"

7. Berpindahnya kelompok kelas menengah penggemar Metro TV karena kecewa terhadap rangkulan Nasdem ke Anies dan PKS

Ancaman Kubu Baru Poros Nasdem ke Arah Soliditas Kabinet 2024
Realitas politik Nasdem 2024 bagaimanapun juga sekarang adalah Anies Baswedan, sementara Anies selalu melakukan 'positioning politics' menjadi antitesis dari Jokowi. 

Anies amat memerlukan kesan bahwa dia yang bisa menjadi revisi atas kebijakan-kebijakan Jokowi yang dianggap salah sehingga dalam gambaran publik terkesan Anies sering berwajah cemberut. Secara tersirat ia mengabarkan ke publik melalui gestur tubuhnya ia tidak nyaman dengan pemerintahan Jokowi yang di luar garis rel politiknya. 

Kesan Anies berseberangan dengan Jokowi adalah substansi dari gerakan-gerakan politik Anies yang konsisten, sehingga apabila Paloh menjadi fasilitator atas kemunculan Anies maka mau tidak mau Paloh akan melakukan politik penggembosan pada kubu Jokowi dan pendukung partai politik Jokowi utamanya PDI Perjuangan.

Usaha penggembosan inilah yang ditengarai akan menjadikan Kabinet Jokowi jilid II mengalami kesulitan-kesulitan politik. Jelas ini ancaman bagi soliditas Kabinet Jokowi dan bila kemudian Anies butuh panggung maka mau tidak mau kelompok Poros Nasdem 2024 akan melancarkan serangan politik ke arah Jokowi yang dianggap sebagai representatif dari kekuatan politik PDI Perjuangan.

Anies, PKS, dan Bencana Elektabilitas Nasdem
Nasdem berdiri dari lingkup partai kecil dan digerakkan oleh sekelompok intelektual yang masuk melalui ormas Nasional Demokrat tahun 2011. Awalnya Surya Paloh menolak bila Nasdem menjadi partai. Namun pada akhirnya ia justru menjadikan Nasdem sebagai partai politik dan ikut dalam Pemilu 2014. 

Taktik yang digunakan Nasdem adalah "Taktik Nebeng Kader". Di tahun 2014 muncul beberapa nama yang dianggap bisa menjadi boncengan Nasdem seperti Gita Wirjawan, Dahlan Iskan, atau Jokowi. 

Namun kemudian mencuat nama Jokowi membuat Nasdem secara cepat menyambar Jokowi dan seolah-olah Nasdem adalah bagian tak terpisahkan dari Jokowi.

Hal ini dilakukan juga tanpa menghormati fatsoen politik di mana PDI Perjuangan-lah yang seharusnya menjadi wilayah klaim politik Jokowi. Paloh nampak memanfaatkan sekali ewuh pekewuh PDI Perjuangan dengan melakukan banyak "serobotan politik".

Puncaknya adalah klaim bahwa Jokowi merupakan kader Nasdem setelah kemenangan politik Jokowi pada 2019. 

Tindakan Nasdem terhadap PDI Perjuangan dalam persaingan Pilkada 2018, serobotan politik pada figur Jokowi, dan ambisi Nasdem dalam penguasaan kabinet Jokowi jilid II sedikit banyak membuat Megawati mulai berhitung serius pada Nasdem.

Perhitungan Megawati adalah membuat jarak dengan Nasdem yang digambarkan dengan tidak pedulinya Mega akan kehadiran Paloh di depannya. 

Semua pengamat politik sedang memperhatikan arah pertarungan Mega dan Paloh namun mereka lupa ancaman bagi elektabilitas Surya Paloh sesungguhnya, yaitu "larinya kelas menengah Indonesia" ke arah Mega apabila Paloh merapat ke Anies Baswedan. Sementara kelas menengah ini adalah jantung dari suara rakyat dan penentu opini utama publik. 

Metro TV yang dibangun dengan basis stasiun pemberitaan ditopang oleh kelas menengah yang berkesadaran rasional. Rata-rata dari mereka adalah pemilih Ahok dan memihak pada Jokowi. 

Bila Paloh melakukan "switching" sasaran politik, tentunya ini tidak mudah. Nasdem akan kehilangan banyak dukungan atau dengan kata lain Nasdem justru merosot elektabilitasnya. Apalagi dengan menggandeng Anies Baswedan dan melakukan spekulasi politik dengan menyorongkan Anies ke publik seakan-akan menjadi "pesaing popularitas" Jokowi. 

Para pendukung Ahok tentu secara logis akan tidak suka terhadap tindakan Nasdem ini dan ini menjadi bencana elektabilitas bagi Nasdem.

Melihat kondisi ini seakan akan Surya Paloh "maju kena, mundur kena".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun