Mohon tunggu...
Natalia Kristiani
Natalia Kristiani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Prodi Pendidikan Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demoralisasi Pendidikan pada Perilaku Siswa SMA Pasca Sekolah Offline di Masa Pandemi Covid-19

1 November 2022   18:23 Diperbarui: 1 November 2022   18:30 1653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Natalia Kristiani Maru'ao

Pendidikan Sosiologi 2019, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta

nataliakristiani18@gmail.com

PENDAHULUAN

Pada tahun ajaran baru tepatnya bulan Juli 2022, hampir seluruh sekolah di Indonesia mengadakan pembelajaran tatap muka. Pembelajaran tatap muka tentunya memberikan angin segar kepada para guru yang sudah lelah akan pembelajaran online, pembelajaran yang terkadang hanya satu arah, pembelajaran yang terkadang membuat kita bertanya-tanya apakah siswa tersebut mengerti atau tidak, apalagi ketika siswa tidak menyalakan kamera.

Ketika masalah satu sudah terselesaikan, tentu ada masalah lagi yang timbul. Salah satunya adalah demoralisasi pendidikan (kemerosotan akhlak), demoralisasi pendidikan yang timbul di kalangan para siswa ketika sekolah offline bukan tanpa sebab, ada hal-hal yang berkaitan erat dengan teknologi yang semakin canggih, dalam (Wahyuni 2021, 247-248) menjelaskan ada beberapa hal yang menjadikan siswa-siswi moralnya menurun salah satunya adalah pembelajaran daring yang dilakukan selama 2 tahun. 

Sekolah yang terus menerus online, interaksi guru dan siswa yang sangat kurang, ditambah dengan siswa yang akhirnya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain gadget, membuat menurunnya moral pada siswa.

Interaksi antara guru dan siswa yang mulai menurun dikarenakan pandemi, membuat guru kesulitan untuk bisa menyosialisasikan pendidikan karakter kepada siswa-siswi, seperti pendidikan karakter untuk menerapkan 5S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun) untuk ke semua warga sekolah, dan bukan hanya ke guru. Dalam gagasannya Durkheim bahwa lembaga pendidikan menjadi salah satu tempat adanya sosialisasi kepada individu (Peterson 1974, 39). 

Namun akibat dari ketidakadanya interaksi yang menibulkan sosialisasi mengenai aturan yang berlaku, maka siswa pun akhirnya tidak terinternalisasi dengan baik mengenai pendidikan moral, dan terjadinya demoralisasi pendidikan pasca sekolah offline.

Demoralisasi pendidikan yang terjadi pada siswa-siswi inilah yang menjadi fokus permasalahan penulis, dengan semakin parahnya moral yang terbentuk oleh siswa dikhawatirkan dalam waktu beberapa tahun bangsa ini menjadi bangsa bar-bar. 

Emile Durkheim pun dalam melihat lembaga pendidikan sebagai salah satu fakta sosial untuk mengubah seseorang atau sebagai proses peralihan dalam menentukan bagaiamana masyarakat tersebut bisa menciptakan tatanan bangsa yang ideal (Peterson 1974, 39-40).

Dengan begitu fokus penulis adalah apa penyebab dari demoralisasi pendidikan yang terjadi pada siswa-siswi ketika sekolah offline sudah berlangsung, adakah kaitannya dengan sosialisasi kurang sempurna yang dilakukan oleh sekolah sebagai salah satu agen sosialisasi, lalu adakah cara untuk mengatasi demoralisasi pendidikan yang terjadi pada siswa-siswi yang bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk proses internalisasi norma dan nilai yang berlaku pada masyarakat, karena pada (Peterson 1974, 40) Durkheim meyakini bahwa dengan adanya lembaga pendidikan, individu yang belum siap ke masyarakat bisa membangun moralnya di sekolah dengan sistem pengajaran yang ada serta bertumbuh dengan adanya interaksi yang terjadi dari individu satu dengan individu yang lainnya.

TEMUAN DAN ANALISIS

Kebijakan Pendidikan yang Belum Jelas

Banyak faktor yang dikeluhkan oleh para pendidik dalam melihat kemerosotan akhlak yang dialami siswa, ada salah satunya yang mengatakan bahwa sistem penerimaan siswa baru yaitu zonasi, serta dilihat dari umur menyumbangkan salah satu penyebab demoralisasi pendidikan.

Zonasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memberikan pendidikan yang merata bagi Indonesia, tidak ada lagi sekolah favorit dan non favorit jika diterapkan di Indonesia, tidak ada lagi kesenjangan yang sangat terlihat mulai dari sarana dan prasarana (Syakarofath, Sulaiman and Irsyad 2020, 123). Namun, perlu diingat dari adanya sistem zonasi dan juga umur, dilihat dari lingkungannya, apa lingkungan di zonasi tersebut adalah lingkungan yang baik atau tidak. 

Jika ternyata sekolah yang dituju dan lingkungan tersebut mempunyai banyak masalah tandanya sekolah tersebut sudah mengumpulkan orang-orang di lingkungan yang tidak baik di satu sekolah, hal ini bukan hanya reputasi sekolah yang menjadi tidak bagus, melainkan juga demoralisasi pendidikan akibat berkumpulnya siswa yang sudah dari lingkungan keluarganya tidak mendapatkan pendidikan moral dengan baik.

Adanya pendapat mengenai sistem zonasi yang akhirnya berdampak buruk pada moral siswa, bukan sebagai kritik namun ada hal yang perlu juga dibenahi bahwa jika ingin seperti negara-negara lain yang sudah menerapkan sistem zonasi, perlunya pemerataan kualitas pendidikan bukan hanya dari segi sarana dan prasaran, tetapi kualitas pendidik juga perlu disamaratakan, serta memberikan keleluasaan kepada pendidik untuk mengeksplore metode pembelajaran yang cocok untuk siswa di Indonesia.

Sistem zonasi yang berdampak buruk pada moral, ternyata juga menjadikan kualitas kemampuan anak-anak dalam menerima materi menjadi berkurang, pasalnya ketika memakai nilai nem untuk masuk ke sekolah memungkinkan murid untuk tersaring siapa saja yang benar-benar pintar dan juga yang tidak, sehingga memungkinkan guru masih bisa mengontrol murid yang hanya beberapa saja. 

Semakin banyak masalah yang ditimbulkan, membuat guru semakin sulit untuk guru mengontrol terlebih lagi ketika hanya beberapa guru, namun murid terlalu banyak.

Sosialisasi Tidak Sempurna Akibat Pandemi Covid-19

Manusia merupakan mahluk sosial yang selalu berproses, dalam proses tersebut terjadinya interaksi yang terjadi baik dalam lembaga keluarga, lembaga sekolah, dan juga lembaga di masyarakat. Interaksi tersebut akan berdampak pada kehidupan seseorang karena ada timbal balik dan pemaknaan yang didapatkan oleh seseorang. Dalam (Harahap 2020, 47) dikatakan bahwa kemungkinan seseorang akan menyesuaikan dengan orang yang sedang berinteraksi tersebut, atau bisa juga sebaliknya, sehingga dalam proses interaksi tersebut seseorang dapat menyesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku.

Seseorang yang sudah berinteraksi serta mendapatkan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat dipengaruhi juga dari sosialisasi, sosialisasi nilai dan norma ini dilakukan untuk mengajari individu baru untuk menjalankan peran yang ada di masyarakat (Sunarto 2004, 24). 

Begitu pula dengan siswa-siswi di sekolah, mereka perlu berinteraksi di sekolah untuk mengetahui nilai dan norma yang berlaku di masyarakat untuk mengetahui peran mereka di masyarakat yaitu sebagai pelajar yang mempunyai nilai dan norma yang dipatuhi seperti siswa-siswi mempenyai moral yang baik dengan berperilaku sebagaimananya spelajar yaitu bersikap sopan dan santun kepada yang lebih tua.

Perilaku sopan dan santun sangat berpengaruh dari agen sosialisasi. Proses sosialisasi pada tahap awal tentu dari lembaga keluarga dan pada tahap ini sebagai tahap penting untuk membentuk pola perilaku dengan moral yang sesuai dengan masyarakat. Seperti penanaman nilai dengan hormat kepada orang tua, membantu orang tua, dan dalam hal konkretnya adalah mengucapkan salam sebelum dan setelah pulang sekolah. Begitu pula dengan proses sosialisasi yang dilakukan di lembaga pendidikan.

Semakin kompleksnya masyarakat terlebih dengan adanya teknologi menjadi lembaga pendidikan merupakan tempat sosialisasi yang penting untuk siswa supaya mereka dapat menyesuaikan dirinya kepada masyarakat sebelum benar-benar terjun ke dalam masyarakat ketika di dunia kerja, maka dari itu adanya lembaga pendidikan selain mengorganisasikan siswa-siswi untuk mendapatkan wadah pengalaman dan pengetahuan di dunia kerja nanti, maka disosialisasikan juga nilai-norma yang universal yang tidak seluruhnya dari nilai-norma yang berkembang di keluarga, sehingga bisa menimbulkan toleransi satu dengan yang lainnya (Hidayat 2014, 33).

Begitu pula yang dilakukan sekolah untuk memberikan nilai dan norma yang universal seperti ketika seorang guru memberikan nilai-nilai toleransi kepada setiap anak yang berbeda-beda dan tidak adanya diskriminasi, seperti menghormati kepada seluruh warga sekolah dan tidak hanya kepada guru saja, bersikap santun dalam berbicara kepada yang lebih tua dan tidak berkata kasar.

Pandemi covid-19 membuat proses sosialisasi nilai dan norma yang universal menjadi terganggu dan tidak sempurna. Apabila jika proses sosialisasi ini tidak ada, terganggu, dan tidak sempurna akan membuat seseorang tidak bisa berperan dengan baik dan tidak bisa berinteraksi dengan orang lain dengan baik. Proses sosialisasi yang dilakukan sekolah untuk membuat moral siswa menjadi yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat jadi berkurang. 

Siswa-siswi berkurang interaksinya dengan para guru yang mengajarkan akibat keterbatasan untuk bertemu secara langsung, terlebih tidak jarang ketika pandemi hanya memberikan tugas-tugas saja dan tidak bisa mengontrol siswa-siswi dengan baik. Dalam tindakan tanggungjawab sekedar mengerjakan tugas saja susah untuk diminta, sehingga proses sosialisasi nilai moralitas di masa pandemi menjadi berkurang.

Terlebih di dalam pembelajaran ketika pandemi sudah dipastikan anak-anak akan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah (Wahyuni 2021, 248) terkadang orang tua tidak bisa mengawasi anak-anaknya karena melakukan tugas lainnya seperti orang tua yang bekerja, selain itu mengurusi kebutuhan rumah tangga yang lainnya, sehingga tidak adanya pengawasan dan kontrol yang dilakukan oleh orang tua.

Dalam proses pembelajaran yang sulit untuk memasukan nilai dan norma moralitas kepada siswa-siswi di masa pandemi membuat siswa-siswi tidak bertindak dengan semestinya ketika mereka kembali sekolah offline lagi.

Masih belum mengerti peran dan tanggungjawabnya sebagai pelajar, tidak bisa memberikan perilaku sopan dan santun kepada yang lebih tua, memperlakukan seseorang dengan berbeda seperti ketika keluar kelas tidak meminta izin atau bahasa lainnya (nyelonong) hal ini kerap dilakukan oleh siswa-siswi.

Contoh lainnya juga, siswa-siswi hanya menyapa kepada guru yang mereka ajarkan saja, dan tidak menyapa guru yang tidak mengajarkan mereka, atau juga tidak menyapa beberapa staf pendidik seperti orang kebersihan atau TU.

Pada akhirnya proses sosialisasi yang tidak sempurna dari lembaga keluarga dan khususnya lembaga pendidikan menjadi salah satu penyebab demoralisasi pendidikan pada perilaku siswa.

Media Sosial Pengaruh Buruk Bagi Siswa

Proses sosialisai yang dijalankan oleh siswa bukan hanya dari lembaga keluarga dan juga lembaga pendidikan, ada pula teknologi yang memberikan pengaruh terhadap berkurangnya moralitas siswa, dan yang paling mempengaruhi adalah media massa yang terlebih khususnya untuk media sosial. 

Dalam pembelajaran daring, siswa paling banyak berinteraksi dengan gadgetnya, mulai dari tugas-tugas yang dikerjakan ada di google classroom, atau ada di whatsapp yang mengganggu konsentrasi siswa dan memilih media sosial sebagai bahan hiburan mereka atau terkadang dari adanya teknologi seperti smartphone yang memudahkan seseorang terdistraksi kepada aplikasi media sosial seperti Twitter, Instagram, atau juga ada media hiburan seperti game online.

Pembelajaran daring di saat pandemi sulit untuk mengontrol perilaku atau hal yang dilihat oleh para siswa-siswi. Hal ini membuat siswa-siswi terpapar akan hal negatif dari media sosial seperti ujaran kebencian, informasi yang terlalu banyak juga membuat siswa-siswi susah memilah dan memilih yang menjadi informasi yang sebenarnya atau informasi tidak benar seperti hoax karena sosialisasi nilai dan norma yang berkurang akibat adanya pandemi.

Ada juga statement di media sosial mengenai sikap-sikap antisosial atau sikap yang nyeleneh yang dipaparkan di media sosial, sehingga bisa menimbulkan siswa-siswi untuk menjadi seperti itu. Selain itu juuga ada tayangan-tayangan yang bersifat pornografi membuat moralitas siswa-siswi akan menurun. Lalu adanya iklan-iklan ataun disebut racun shoppe, tokopedia, dll membuat anak-anak juga lebih mudah menghabiskan uangnya dengan keinginan yang tidak penting. (Sunarto 2004, 26-27).

Dalam pelaksanaannya di sekolah, teknologi khususnya media sosial membuat siswa menjadi tidak bisa dikontrol dan tidak bisa lepas lagi dari genggaman gadget, ketika guru menjelaskan mereka akan memainkan smartphonenya hanya untuk cekout belanjaan di e-commerce, sekedar scroll timeline instagram, atau scroll timeline twitter yang tidak sesuai dengan pembelajaran di sekolah.

Sehingga sikap moral dalam menghargai guru pun tidak dilakukan lagi atau susah untuk membentuk kepribadian dalam menghormati guru ketika guru sedang menjelaskan materi di depan. Ketika menjelaskan materi tidak dijelaskan setidaknya murid bisa mengerjakan tanggungjawab dengan baik, namun siswa tersebut tetap tidak menjalankan tanggungjawabnya seperti mengerjakan tugas pun tidak.

Perlu diketahui bahwa dalam (Sunarto 2004, 28) di penelitiannya Fuller dan Jacobs dampak dari media masaa memberikan sumbangan bagi tumbuh dan dipertahankannya suatu tingkat kekerasan yang tinggi, lalu memberikan pesan yang rancu, dan saling bertentangan. 

Di media sosial pun juga seperti itu, ketika mereka melihat konten-konten yang bermanfaat dan menambah wawasan memungkinkan konten-konten tersebut akan sesuai dengan apa yang dia lihat, namun banyak juga hal-hal yang nyeleneh di media sosial yang bisa diikuti, dan pada dasarnya manusia terkadang mengikuti hal-hal nyeleneh dibanding hal-hal yang baik dan yang sesuai dengan nilai norma yang berkembang.

Konten TikTok khususnya yang paling mempengaruhi siswa-siswi di masa pandemi karena pada masa ini, aplikasi TikTok sangat booming dengan konten-konten video pendek dengan musik yang adiktif yang dirancang untuk membuat para pengguna dan pembuat semakin senang untuk menggunakan aplikasi tersebut . 

Konten yang terkadang bukan hanya memberikan ekspresi dengan menari/joget, kadang disertai tulisan-tulisan yang terkadang sebagai statement pembenaran diri seperti "love language kita saat ini, menunjukkan bahwa hal tersebut yang tidak kita dapat di keluarga" dan menjadi pembenaran kepada kita atau hal-hal lain yang semakin membuat mereka merasa diri siswa menjadi insecure atau tidak percaya diri, atau sebaliknya membuat siswa juga menjadi bersikap procastinasion atau menunda-nunda pekerjaan akibat scroll TikTok.

Dalam jurnalnya (Rahmayani, Ramdhani and Lubis 2021) Media sosial sebagai media yang para penggunanya dapat berpartisipasi dengan mudah, membagikan sesuatu, menciptakan suatu isu dari konten yang dibuatnya.

Hal inilah yang membuat siswa-siswi semakin menunjukkan sikap candunya kepada media sosial, ditambah dengan algoritma yang sesuai dengan minat yang ditonton siswa membuat mereka tidak bisa lepas, sehingga hal tersebut pada akhirnya membuat siswa-siswi yang tadinya online dan belajar bisa sambil melihat media sosial terbawa ke sekolah ketika sudah offline, baik ketika di dalam kelas maupun di luar kelas.

Perlindungan Hukum untuk Guru dalam Mendisiplinkan Siswa

Sekolah offline menjadikan guru berusaha lebih giat dalam menerapkan moral dan juga mendisiplinkan siswanya, terkadang ada hal yang membuat guru sulit untuk mendisiplinkan para murid akibat adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang mengatur bahwa anak wajib mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh pendidik, namun disayangkan bahwa mendisiplinkan murid ketika melanggar tata tertib sekolah terkadang suka disalah artikan oleh para orang tua murid, dan membuat siswa berani untuk mengadu kepada orang tua (Sidik 2021, 70).

Perlindungan hukum kepada guru masih belum banyak didapatkan oleh guru-guru, terlebih ketika mendisipilinkan anak-anak yang terbilang nakal. Siswa akan merasa dirinya benar karena sudah dibela orang tua-nya ketika ia berbuat salah, sehingga ia tidak perlu menghormati guru yang sudah menegurnya untuk memperbaiki moralnya, dan bilang hal itu sebagai tindakan kekerasan secara verbal.

Salah satu studi kasus dalam jurnal (Sidik 2021, 70) bahwa ada kasus pencubitan yang dilakukan seorang guru kepada beberapa siswanya di SMP Raden Rahmat yang tidak menjalankan sholat Dhuha yang menjadi kebijakan di sekolah tersebut, dan salah satu orang tua nya mengadukan hal tersebut hingga membuat guru tersebut disidang. 

Sholat Dhuha tersebut menjadi fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, dan berperasaan di luar individu dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikan, sehingga sholat dhuha tersebut sebagai fakta sosial yang harus dipatuhi di sekolah tersebut. Terlebih sholat dhuha sebagai salah satu penanaman nilai dan norma untuk membentuk moral yang baik kepada siswa.

Kesehatan Mental sebagai Dalih Siswa Paling Tersakiti

Media sosial dan lemahnya pendisiplinan untuk memberikan pendidikan moral kepada siswa akibat lemahnya hukum yang melindungi guru menjadikan hal tersebut sebagai pasangan yang sangat serasi, pasalnya ada beberapa siswa melakukan self diagnose bahwa dirinya depresi akibat tekanan dari guru membuat mereka tidak melakukan tanggung jawab dengan baik.

Tidak boleh dipungkiri bahwa memang mental illness itu benar adanya, namun ada beberapa konten-konten di media sosial yang membuat hal tersebut mempengaruhi siswa untuk melakukan self diagnose tanpa melihat tanggungjawabnya sebagai murid. 

Self diagnose itu sendiri diungkapkan dalam (Maskanah 2022) menurut White dan Horvitz bahwa self diagnose merupakan upaya individu memutuskan bahwa dirinya sedang mengidap suatu penyakit berdasarkan informasi yang diketahui. 

Informasi tersebut bisa datang dari informasi yang dicari lewat sumber-sumber valid seperti dokter, namun ada pula yang terkadang siswa mencari informasi tersebut dari konten media sosial di Instagram, TikTok, ataupun Twitter, hal ini jangan sampai membuat siswa yang memang tidak sakit secara mental menggunakan sumber tidak valid untuk bisa melakukan perilaku-perilaku secara tidak amoral.

SIMPULAN

Sekolah online yang sudah cukup lama berlangsung menimbulkan begitu banyak masalah ketika sudah kembali sekolah secara offline, dikarenakan tidak adanya sistem pendidikan yang jelas yang bisa membuat siswa menjadi pembelajar yang bermoral. 

Adapula dengan proses sosialisasi yang dialami peserta didik tidak sempurna, hal ini tidak sempurna akibat tidak adanya proses interaksi yang intensif antara guru dan murid dalam mentransmisikan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat untuk siswa supaya bisa bermoral. 

Media sosial yang semakin massif yang memberikan pengaruh buruk, bukan hanya dari segi tindakan saja, melainkan juga dari segi mental dari sikap seorang siswa untuk self diagnose, ada pula ketakutan guru dalam mendisiplinkan siswa akibat adanya kasus-kasus seorang guru yang mendisiplinkan seorang siswa tetapi guru tersebut harus disidang.

Emile Durkheim berpendapat di dalam (Sunarto 2004, 6) bahwa dalam masyarakat untuk mengendalikan individu dengan adanya fakta sosial, fakta sosial ini merupakan cara bertindak, berpikir, merasakan yang mengendalikan individu tersebut, baik itu baku ataupun tidak baku dan dapat dilakukan pemaksaan dari luar individu. Sehingg ketika individu tidak bisa mengendalikan atau bersikap amoral dan tidak disiplin, maka sekolah perlu melakukan pemberian sanksi supaya masyarakat bisa harmonis.

Demoralisasi adalah bentuk kemerosotan akhlak yang berakibat fatal bagi bangsa jika tidak segera ditangani, karena siswa-siswi tersebut bisa jadi menempati beberapa kedudukan yang penting dalam negara, apa jadinya jika negara dipimpin oleh orang-orang yang tidak bermoral?

Daftar Pustaka

Harahap, Siti Rahma. 2020. "Proses Interaksi Sosial di Tengah Pandemi Virus Covid 19." AL-HIKMAH: Media Dakwah, Komunikasi, Sosial, dan Budaya 11 (1): 45-53. doi:10.32505.

Hidayat, Rakhmat. 2014. Sosiologi Pendidikan Emile Durkheim. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Maskanah, Imas. 2022. "Fenomena Self-Diagnosis di Era Pandemi COVID-19 dan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental." Journal of Psychological Students 1-10.

Peterson, Howard L. 1974. "Education, Moral Develo." The Quest for Moral Order: Emile Durkheim on Education 4 (1): 39-46. doi:10.1080/0305724740040105.

Rahmayani, Mela, Muhamad Ramdhani, and Fardiah Oktariani Lubis. 2021. "Pengaruh Penggunaan Palikasi Tiktok terhadap Perilaku Kecanduan Mahasiswa." Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia 3328-3343.

Sidik, M. 2021. "Perlindungan Hukum Bagi Guru yang Melakukan Kekerasan Terhadap Siswa." Jurnal As-Said 66-75.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Syakarofath, Nandy Agustin, Ahmad Sulaiman, and Muhamad Faqih Irsyad. 2020. "Kajian Pro Kontra Penerapan Sistem Zonasi Pendidikan di Indonesia." Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 5 (2): 115-130. doi:10.24832/jpnk.v5i2.1736.

Wahyuni, Yeni. 2021. "Problematika Moralitas Anak pada Masa Pansemi Covid-19 Perspektif Immanuel Kant: Studi Kasus Di Kampung Cikaso Desa Sukamukti Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut." Penelitian Ilmu Ushuluddin I (3): 240-258. doi:10.15575/jpiu.12792.

https://regional.kompas.com/read/2016/07/01/17403801/sambudi.pak.guru.yang.disidang.karena.mencubit.siswanya (diakses pada 31 Oktober 2022)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun