Mohon tunggu...
Nasywa Amalia
Nasywa Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menghadapi Stigma ODGJ: Tantangan dan Inisiatif Penanggulangan di Indonesia

23 Juni 2024   21:57 Diperbarui: 23 Juni 2024   22:33 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia, sekitar 2,5 juta orang mengalami gangguan jiwa, dengan sekitar 60% di antaranya berisiko mengalami perilaku kekerasan. Gejala umum dari perilaku kekerasan termasuk pikiran untuk melukai diri sendiri atau orang lain, merencanakan tindakan kekerasan, mengancam, penyalahgunaan obat, depresi berat, marah, sikap bermusuhan atau panik, bicara kasar, dan memiliki riwayat perilaku kekerasan. Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan gangguan jiwa sering menjadi korban kekerasan fisik daripada pelaku kekerasan dalam masyarakat, dan kekerasan ini sering terjadi di lingkungan keluarga mereka sendiri. Studi juga menemukan bahwa perilaku kekerasan terhadap orang dengan gangguan jiwa sering terjadi di lingkungan keluarga, dan para perawat memiliki risiko tinggi menjadi sasaran perilaku kekerasan dari pasien mereka. Ketakutan terhadap perilaku kekerasan dan stigma yang dialami oleh orang dengan gangguan jiwa juga memengaruhi hubungan antara perawat dan pasien serta menghambat pemberian perawatan yang memadai.

Media massa juga ikut berperan dalam membentuk pendapat masyarakat tentang pandangan negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara ketakutan masyarakat terhadap perilaku kekerasan yang mungkin dilakukan ODGJ dan pengalaman traumatis yang dialami oleh mereka saat mencari bantuan dari pengobatan tradisional atau alternatif. Pemerintah berusaha mengatasi masalah stigma ini dengan menyediakan layanan, penyuluhan, dan penanganan yang terintegrasi di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), termasuk di daerah-daerah terpencil. Program pelatihan untuk tenaga kesehatan dan kader masyarakat juga diimplementasikan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang gangguan jiwa dan mengurangi stigma terhadap ODGJ.

Namun, upaya pemerintah untuk mengurangi stigma gangguan jiwa belum sepenuhnya berhasil. Penelitian Mestdagh (2013) menunjukkan bahwa diskriminasi masih dialami oleh pasien meskipun mereka sudah dalam perawatan kesehatan mental berbasis komunitas. Muhlisin (2015) menambahkan bahwa pasien yang kembali ke masyarakat setelah dinyatakan sembuh tidak mendapatkan dukungan yang memadai karena ketakutan masyarakat terhadap kemungkinan kambuhnya penyakit. Keluarga juga cenderung mengucilkan anggota yang menderita gangguan jiwa dan tidak melibatkan mereka dalam masalah keluarga, bahkan ada yang dikurung atau dirantai saat kambuh atau mengamuk (Pratiwi & Nurlaily, 2010).

Menteri Kesehatan meminta seluruh tenaga medis untuk ikut dalam program Empat Seruan Nasional untuk Menghentikan Stigma dan Diskriminasi terhadap ODGJ. Program ini mencakup tidak membeda-bedakan atau menolak memberikan perawatan kesehatan kepada ODGJ, memberikan akses kepada masyarakat untuk layanan seperti pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi, dan bantuan mereka dalam kembali ke masyarakat setelah mendapat perawatan, serta melakukan upaya pencegahan dan promosi untuk mengurangi masalah gangguan jiwa.

Untuk mengatasi masalah gangguan jiwa di Indonesia, pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai langkah. Mereka menerapkan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan di seluruh masyarakat. Selain itu, mereka juga menyediakan fasilitas, infrastruktur, dan sumber daya yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan jiwa di semua wilayah Indonesia. Upaya juga dilakukan untuk mengedukasi masyarakat tentang pencegahan, promosi kesehatan jiwa, dan deteksi dini gangguan jiwa, serta melakukan rehabilitasi dan reintegrasi orang dengan gangguan jiwa ke dalam masyarakat.

Penting bagi ODGJ untuk diberdayakan agar mereka dapat hidup mandiri, produktif, dan percaya diri di masyarakat tanpa menghadapi stigma, diskriminasi, rasa takut, atau malu. Dukungan dari keluarga dan masyarakat sangat krusial dalam hal ini. Menteri Kesehatan mengajak semua pihak, termasuk pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi profesi, dan dunia usaha, untuk mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa. Penting untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap siapa pun karena hal ini melanggar hak asasi manusia dan dapat mengakibatkan masalah sosial, ekonomi, dan keamanan di masyarakat.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa menguatkan komitmen untuk memberdayakan orang dengan gangguan jiwa. Undang-undang ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik dengan menyediakan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan berkesinambungan, melalui upaya promosi, pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi. Secara umum, undang-undang ini menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam melindungi dan memberdayakan orang dengan gangguan jiwa, serta menciptakan lingkungan yang mendukung mereka dengan memberikan pelatihan keterampilan dan mengawasi pelayanan di fasilitas yang melayani mereka.

Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam penanggulangan gangguan jiwa di Indonesia. Edukasi publik yang lebih intensif tentang gangguan jiwa, baik melalui program-program pendidikan formal maupun informal. Pemahaman yang lebih baik tentang kondisi ini akan membantu mengurangi stigma dan meningkatkan tingkat dukungan sosial bagi ODGJ. Selain itu, pemerintah perlu mengintensifkan upaya untuk menyediakan akses yang lebih mudah dan merata terhadap layanan kesehatan mental. Ini termasuk memperluas jaringan puskesmas dan melibatkan kader masyarakat dalam memberikan pendampingan dan dukungan yang dibutuhkan bagi ODGJ.

Selain itu, diperlukan reformasi dalam sistem pelayanan kesehatan mental. Pembinaan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan menjadi krusial untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan kepada ODGJ. Dengan memastikan bahwa semua pihak terlibat memiliki pemahaman yang baik tentang kebutuhan ODGJ dan cara terbaik untuk memberikan dukungan, diharapkan efektivitas pelayanan kesehatan mental bisa ditingkatkan secara signifikan. Upaya ini harus didukung oleh regulasi yang kuat dan penegakan hukum yang konsisten untuk melindungi hak-hak ODGJ dan memastikan mereka mendapatkan perlakuan yang setara dalam masyarakat.

Dengan menerapkan berbagai strategi tersebut secara komprehensif, diharapkan Indonesia dapat mengatasi tantangan dalam menangani gangguan jiwa dan meningkatkan kesejahteraan ODGJ serta masyarakat secara menyeluruh. Kolaborasi erat antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait diharapkan dapat membawa perubahan positif dalam pemahaman, mengurangi stigma, serta meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan mental yang merata dalam jangka waktu yang panjang dan berkelanjutan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun