PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Tantangan terbesar yang menghambat akses ODGJ terhadap layanan kesehatan, dukungan sosial, dan kesempatan kerja merupakan stigma negatif yang masih saja berkembang di Indonesia . Sikap negatif dan diskriminasi sering kali memperburuk kondisi mental mereka dan menghalangi proses pemulihan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dan berbagai organisasi telah meluncurkan berbagai inisiatif, termasuk kampanye edukasi, program pemberdayaan, serta peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan jiwa. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi stigma, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi ODGJ, sehingga mereka dapat hidup dengan lebih bermartabat dan mandiri.
Â
b. Rumusan Masalah
- Apa saja karaktersitik dan bentuk stigma terhadap ODGJ yang berkembang di Indonesia?
- Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari stigma terhadap ODGJ?
- Apa saja faktor-faktor yang menyababkan masih berkembangnya stigma terhadap ODGJ di Indonesia?
- Apa saja upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi stigma terhadap ODGJ?
Â
c. Tujuan
Tujuan penulisan esai ini adalah untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya penanganan gangguan jiwa sebagai salah satu masalah kesehatan serius yang mempengaruhi individu, keluarga, dan masyarakat secara luas di Indonesia. Esai ini menggambarkan kompleksitas tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menyediakan perawatan yang efektif bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), termasuk stigma yang melekat padanya. Melalui pemahaman yang lebih baik, upaya untuk mengurangi stigma, dan peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental, esai ini mendorong perubahan sosial yang positif dalam mendukung kesejahteraan ODGJ dan menciptakan lingkungan yang inklusif serta mendukung bagi mereka dalam masyarakat.
Â
d. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang stigma terhadap gangguan jiwa meliputi berbagai aspek penting. Studi pertama mengidentifikasi persepsi masyarakat dan faktor-faktor yang memengaruhi stigma di tingkat komunitas. Studi kedua meneliti efektivitas program kontak sosial dan psikoedukasi dalam mengurangi stigma dengan intervensi sosial. Penelitian ketiga menggunakan Constructivist Grounded Theory untuk memahami stigma, stigmatisasi, perilaku kekerasan, dan ketakutan pada ODGJ di Indonesia. Artikel keempat mengadvokasi untuk mengakhiri stigma melalui kolaborasi pemerintah dan masyarakat. Studi kelima mengeksplorasi pendidikan kesehatan sebagai strategi destigmatisasi lokal. Penelitian terakhir fokus pada strategi inklusi sosial dan pencegahan stigma di komunitas.
PEMBAHASAN
Gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan yang mempengaruhi kualitas hidup individu secara signifikan. Gangguan ini mencakup berbagai kondisi mental yang dapat mengganggu pikiran, perasaan, perilaku, dan fungsi sosial seseorang. Di Indonesia, seperti di banyak negara lain, gangguan jiwa menjadi perhatian serius karena dampaknya yang luas terhadap individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. Upaya untuk memahami, mengurangi stigma, dan menyediakan pelayanan kesehatan mental yang memadai merupakan langkah krusial dalam meningkatkan kesejahteraan dan inklusi sosial bagi orang dengan gangguan jiwa.
Dalam menangani gangguan jiwa, pemerintah masih menghadapi banyak hambatan yang rumit. Menurut Agusno (2011), ada tiga masalah utama pada kesehatan mental di Indonesia, yakni kurangnya pemahaman masyarakat tentang gangguan jiwa, stigma yang berkembang di masyarakat, dan tidak meratanya pelayanan kesehatan mental. Hambatan-hambatan ini menciptakan tantangan dalam memberikan perawatan yang efektif bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan mengurangi dampak negatif dari stigma yang mereka hadapi.
Stigma adalah salah satu masalah besar dalam penanganan gangguan jiwa. Stigma ini terjadi ketika orang dengan gangguan jiwa diberi label negatif, membuat mereka dianggap tidak normal atau memalukan. Istilah 'stigma' berasal dari bahasa Yunani kuno yang artinya mengacu pada jarak sosial di antara mereka yang menderita gangguan jiwa dan orang lain yang enggan berinteraksi dengan mereka. Akibatnya, orang dengan gangguan jiwa sering menghadapi diskriminasi, stereotip, dan pengucilan, yang bisa memperburuk kondisi mereka dan menghambat proses penyembuhan.
Menurut Mestdagh dan Hansen (2013), sikap negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa membuat masyarakat cenderung menghindari mereka dan enggan membantu, sehingga menghambat penyembuhan mereka. Menurut Hartanto, Hendrawati, dan Sugiyorini (2021), stigma seperti pelabelan, stereotip, dan pengucilan tidak hanya menghalangi penyembuhan tetapi juga meningkatkan risiko kambuh. Orang dengan gangguan jiwa membutuhkan dukungan dari keluarga dan lingkungan mereka, tetapi stigma yang mereka hadapi justru mengganggu dukungan tersebut, baik secara psikologis maupun sosial.
Taylor dan Dear (1981) menjelaskan bahwa stigma terhadap gangguan jiwa memiliki empat dimensi atau domain yakni, otoriterisme, kebajikan, pembatasan sosial, dan ideologi komunitas kesehatan mental. Stigma ini sering kali berakar pada ketidakpahaman dan ketakutan masyarakat terhadap ODGJ. Goffman (2003) menambahkan bahwa stigma ialah tanda yang muncul atau dibuat pada tubuh seseorang untuk menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki status moral yang dianggap buruk oleh masyarakat. Stigma tersebut memperburuk citra diri individu yang terkena label negatif.
Stigma yang terus berkembang di masyarakat dapat berdampak serius bagi individu yang terkena label tersebut. Menurut Girma (2013), individu yang mengalami stigma mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial, dan dalam kasus yang parah, dapat menyebabkan risiko tindakan bunuh diri. Stigma juga membuat orang enggan mencari pengobatan, menurunkan kualitas hidup, membatasi peluang kerja, dan mengurangi rasa percaya diri (Covarrubias & Han, 2011). Mestdagh (2013) menunjukkan bahwa stigma tidak hanya memengaruhi individu dengan gangguan jiwa, tetapi juga membuat masyarakat sekitar merasa takut dengan keberadaan mereka di lingkungan.
Di Indonesia, sekitar 2,5 juta orang mengalami gangguan jiwa, dengan sekitar 60% di antaranya berisiko mengalami perilaku kekerasan. Gejala umum dari perilaku kekerasan termasuk pikiran untuk melukai diri sendiri atau orang lain, merencanakan tindakan kekerasan, mengancam, penyalahgunaan obat, depresi berat, marah, sikap bermusuhan atau panik, bicara kasar, dan memiliki riwayat perilaku kekerasan. Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan gangguan jiwa sering menjadi korban kekerasan fisik daripada pelaku kekerasan dalam masyarakat, dan kekerasan ini sering terjadi di lingkungan keluarga mereka sendiri. Studi juga menemukan bahwa perilaku kekerasan terhadap orang dengan gangguan jiwa sering terjadi di lingkungan keluarga, dan para perawat memiliki risiko tinggi menjadi sasaran perilaku kekerasan dari pasien mereka. Ketakutan terhadap perilaku kekerasan dan stigma yang dialami oleh orang dengan gangguan jiwa juga memengaruhi hubungan antara perawat dan pasien serta menghambat pemberian perawatan yang memadai.
Media massa juga ikut berperan dalam membentuk pendapat masyarakat tentang pandangan negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara ketakutan masyarakat terhadap perilaku kekerasan yang mungkin dilakukan ODGJ dan pengalaman traumatis yang dialami oleh mereka saat mencari bantuan dari pengobatan tradisional atau alternatif. Pemerintah berusaha mengatasi masalah stigma ini dengan menyediakan layanan, penyuluhan, dan penanganan yang terintegrasi di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), termasuk di daerah-daerah terpencil. Program pelatihan untuk tenaga kesehatan dan kader masyarakat juga diimplementasikan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang gangguan jiwa dan mengurangi stigma terhadap ODGJ.
Namun, upaya pemerintah untuk mengurangi stigma gangguan jiwa belum sepenuhnya berhasil. Penelitian Mestdagh (2013) menunjukkan bahwa diskriminasi masih dialami oleh pasien meskipun mereka sudah dalam perawatan kesehatan mental berbasis komunitas. Muhlisin (2015) menambahkan bahwa pasien yang kembali ke masyarakat setelah dinyatakan sembuh tidak mendapatkan dukungan yang memadai karena ketakutan masyarakat terhadap kemungkinan kambuhnya penyakit. Keluarga juga cenderung mengucilkan anggota yang menderita gangguan jiwa dan tidak melibatkan mereka dalam masalah keluarga, bahkan ada yang dikurung atau dirantai saat kambuh atau mengamuk (Pratiwi & Nurlaily, 2010).
Menteri Kesehatan meminta seluruh tenaga medis untuk ikut dalam program Empat Seruan Nasional untuk Menghentikan Stigma dan Diskriminasi terhadap ODGJ. Program ini mencakup tidak membeda-bedakan atau menolak memberikan perawatan kesehatan kepada ODGJ, memberikan akses kepada masyarakat untuk layanan seperti pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi, dan bantuan mereka dalam kembali ke masyarakat setelah mendapat perawatan, serta melakukan upaya pencegahan dan promosi untuk mengurangi masalah gangguan jiwa.
Untuk mengatasi masalah gangguan jiwa di Indonesia, pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai langkah. Mereka menerapkan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan di seluruh masyarakat. Selain itu, mereka juga menyediakan fasilitas, infrastruktur, dan sumber daya yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan jiwa di semua wilayah Indonesia. Upaya juga dilakukan untuk mengedukasi masyarakat tentang pencegahan, promosi kesehatan jiwa, dan deteksi dini gangguan jiwa, serta melakukan rehabilitasi dan reintegrasi orang dengan gangguan jiwa ke dalam masyarakat.
Penting bagi ODGJ untuk diberdayakan agar mereka dapat hidup mandiri, produktif, dan percaya diri di masyarakat tanpa menghadapi stigma, diskriminasi, rasa takut, atau malu. Dukungan dari keluarga dan masyarakat sangat krusial dalam hal ini. Menteri Kesehatan mengajak semua pihak, termasuk pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi profesi, dan dunia usaha, untuk mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa. Penting untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap siapa pun karena hal ini melanggar hak asasi manusia dan dapat mengakibatkan masalah sosial, ekonomi, dan keamanan di masyarakat.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa menguatkan komitmen untuk memberdayakan orang dengan gangguan jiwa. Undang-undang ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik dengan menyediakan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan berkesinambungan, melalui upaya promosi, pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi. Secara umum, undang-undang ini menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam melindungi dan memberdayakan orang dengan gangguan jiwa, serta menciptakan lingkungan yang mendukung mereka dengan memberikan pelatihan keterampilan dan mengawasi pelayanan di fasilitas yang melayani mereka.
Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam penanggulangan gangguan jiwa di Indonesia. Edukasi publik yang lebih intensif tentang gangguan jiwa, baik melalui program-program pendidikan formal maupun informal. Pemahaman yang lebih baik tentang kondisi ini akan membantu mengurangi stigma dan meningkatkan tingkat dukungan sosial bagi ODGJ. Selain itu, pemerintah perlu mengintensifkan upaya untuk menyediakan akses yang lebih mudah dan merata terhadap layanan kesehatan mental. Ini termasuk memperluas jaringan puskesmas dan melibatkan kader masyarakat dalam memberikan pendampingan dan dukungan yang dibutuhkan bagi ODGJ.
Selain itu, diperlukan reformasi dalam sistem pelayanan kesehatan mental. Pembinaan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan menjadi krusial untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan kepada ODGJ. Dengan memastikan bahwa semua pihak terlibat memiliki pemahaman yang baik tentang kebutuhan ODGJ dan cara terbaik untuk memberikan dukungan, diharapkan efektivitas pelayanan kesehatan mental bisa ditingkatkan secara signifikan. Upaya ini harus didukung oleh regulasi yang kuat dan penegakan hukum yang konsisten untuk melindungi hak-hak ODGJ dan memastikan mereka mendapatkan perlakuan yang setara dalam masyarakat.
Dengan menerapkan berbagai strategi tersebut secara komprehensif, diharapkan Indonesia dapat mengatasi tantangan dalam menangani gangguan jiwa dan meningkatkan kesejahteraan ODGJ serta masyarakat secara menyeluruh. Kolaborasi erat antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait diharapkan dapat membawa perubahan positif dalam pemahaman, mengurangi stigma, serta meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan mental yang merata dalam jangka waktu yang panjang dan berkelanjutan.
Â
Â
 PENUTUP
a. Simpulan
Gangguan jiwa memiliki dampak signifikan terhadap kualitas hidup individu dengan mencakup gangguan mental yang mengganggu pikiran, perasaan, perilaku, dan fungsi sosial. Di Indonesia, seperti di banyak negara lain, gangguan jiwa menjadi sorotan utama karena dampaknya yang luas terhadap individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. Stigma terhadap gangguan jiwa merupakan hambatan signifikan dalam proses pengobatan dan integrasi sosial bagi mereka yang terkena. Stigma ini meliputi label negatif, stereotip, dan pengucilan sosial yang mempersulit proses penyembuhan dan meningkatkan risiko kekambuhan. Meskipun telah ada upaya besar untuk mengurangi stigma dan meningkatkan layanan kesehatan mental, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lain masih sangat diperlukan untuk mencapai perubahan positif yang berkelanjutan.
b. Saran
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi strategi inovatif yang dapat mengatasi stigma dan memperbaiki kualitas hidup ODGJ, dengan penekanan pada pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Selain itu, menyarankan agar pemerintah dan berbagai pihak terkait meningkatkan upaya edukasi masyarakat tentang gangguan jiwa melalui program psikoedukasi dan kontak sosial yang terbukti efektif mengurangi stigma. Kolaborasi antara pemerintah, tenaga kesehatan, keluarga, dan komunitas perlu diperkuat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung inklusi sosial bagi ODGJ.
                      Â
Â
REFRENSI
Gilang Purnama, D. I. (2016). Gambaran Stigma Masyarakat Terhadap Klien Gangguan Jiwa di RW 09 Desa Cileles Sumedang. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia, 29-37.
Isti Antari, A. T. (2020). Penurunan Stigma Terhadap Gangguan Jiwa Melalui Program Kontak Sosial dan Psikoedukasi. Jurnal Kesehatan Madani Medika,Vol. 11, No. 02, 268-278.
M Arsyad Subu, I. W. (2018). Stigma, Stigmasasi, Perilaku Kekerasan dan Ketakutan diantara Orang dengan Gangguan JIwa (ODGJ) di Indonesia: Penelitian Constructivist Grounded theory. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 30, No. 1, 53-60.
Rokom. (2014, Oktober 11). Stop Stigma dan Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Retrieved from sehatnegeriku.kemkes.go.id: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20141011/5211289/stop-stigma-dan-diskriminasi-terhadap-orang-dengan-gangguan-jiwa-odgj/
Sekani Niriyah, D. K. (2023). Pendidikan Kesehatan Stigma Gangguan Jiwa dan Upaya Destigmatisasinya di Wilayah Puskesmas Harapan Raya Pekanbaru. Jurnal Abdi Masyarakat Indonesia (JAMSI), Vol. 3, No. 1, 187-192.
Subhannur Rahman, M. B. (2022). Pencegahan Stigma pada Orang Dengan Gangguan Jiwa di Masyarakat Dea Pembatanan Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Banjar. Jurnal Suaka Insan Mengabdi (JSIM), Vol. 4, Edisi I, 19-25.
KATA-KATA BERMAKNA
Mental adalah kunci keberhasilan dalam menghadapi setiap tantangan hidup. Seperti halnya tubuh yang perlu latihan, mental juga perlu diperkuat melalui kesabaran, ketekunan, dan keyakinan pada diri sendiri. Ketika mental kita kuat, segala rintangan akan terasa lebih mudah diatasi, dan kegagalan hanya akan menjadi batu loncatan menuju kesuksesan yang lebih besar. Jadikan setiap ujian sebagai pelajaran berharga untuk memperkuat mental dan menjelma menjadi pribadi yang tangguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H