Mohon tunggu...
Nasrullah Mappatang
Nasrullah Mappatang Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Alumni Fakultas Sastra UNHAS dan Pascasarjana UGM - Pegiat Sekolah Sastra (SKOLASTRA) - Mahasiswa Doktoral/ PhD di University of Malaya, Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Musra Relawan, Cinderella Syndrome, dan Post-Power Syndrome Jokowi?

15 Mei 2023   10:36 Diperbarui: 15 Mei 2023   10:52 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ganjar Pranowo telah deklarasi sebagai calon Presiden oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Prabowo Subianto pun demikian. Anies Baswedan, sudah duluan di koalisi "sebelah". 

Baik Prabowo maupun Ganjar, menjadi calon Presiden karena usungan Partai Gerindra dan PDIP boleh dikata tak perlu dukungan Jokowi. PDIP punyanya Megawati, sementara Gerindra punyanya Prabowo. Di Partai, nyaris Pak Jokowi tak punya apa - apa, tidak memiliki kekuatan apa - apa. Untuk mengusung capres maupun cawapres, sesungguhnya Jokowi tak punya power. 

Namun, sebagai Presiden, Jokowi tentu memiliki partai koalisi yang mendukungnya. Selain itu, ada relawan yang setia di belakangnya. Partai - partai koalisi ini --- selain Nasdem, PDIP, Gerindra dan PKB tentunya --- boleh dikata masih "manut" dan menunggu "petunjuk pak Presiden". Di situ, masih ada Golkar, PAN, PPP. 

Sebenarnya, masih ada PBB juga, namun, nampaknya Prof. Yusril bukan merupakan ketua umum yang tipenya "manut" bisa "diatur - atur" atau "diarah - arahkan" demikian. Meskipun, arah dukungan PBB tetap sejalan dengan "petunjuk" Presiden. Di luar itu ada juga partai non-parlemen yakni Perindo, Hanura dan PSI yang tetap setia di jalur "pemerintah". Bagaimanapun, jatah jabatan minimal wakil menteri dan lainnya masih tetap dipegang petinggi - petinggi partai ini. 

Pasang Nilai Tawar

Pasca Ganjar ditetapkan PDIP, Jokowi seperti "disalip". Mega mengambil alih "komando". Jokowi nampak tak bisa bikin apa - apa. Bahkan, julukan sebagai "King maker" yang diberikan pengamat dan media seperti runtuh seketika. Mega lah Queen maker-nya. Ibarat celana kebesaran, pamor Jokowi seperti "melorot". Jatuh begitu saja. 

Namun, benarkah demikian? Bukankah Jokowi selama ini dikenal "lihai" memainkan irama gendang politik di depan ketua umumnya yang mengatainya sebagai "petugas partai" itu? Menarik di simak. 

Lantas, apakah kehadiran Jokowi di acara Musra kemarin adalah sinyal "perlawanan" itu? Bahwa Jokowi punya power dan tidak boleh diremehkan. Dia masih mengendalikan pemerintahan sampai 2024 bahkan di saat pemilihan presiden berlangsung, sementara di tataran grass root (akar rumput), barisan relawannya masih menunggu "arahannya". Kemana angin Jokowi bakal berhembus? Begitu kira - kira sinyal yang ingin dikirimnya kepada Megawati, juga ketua - ketua partai lain, yang boleh jadi "meremehkannya". 

Dengan begitu, Jokowi seperti Cinderella yang tak ingin kehilangan "pengaruh" dan "teman" di sisa jabatannya. Ujaran "ojo kesusu", jangan tergesa - gesa bisa saja bermakna dua. Pertama, Jokowi memang tak ingin buru - buru dan berhitung secara cermat. Atau, kedua, bahwa Jokowi memang belum mendapatkan tawaran sesuai dengan kehendaknya. Memasangkan Erick Tohir "anak emasnya" dengan capres tertentu, misalnya. Apakah itu Ganjar-Erick atau Prabowo- Erick. 

Pasca pembatalan Piala Dunia U-20, pamor Erick Tohir memang seperti sirna seketika di panggung nominasi capres-cawapres 2024. Menteri BUMN yang belakangan dinilai sebagai "anak kesayangan" Jokowi itu, seperti "dikipas" PDIP dengan komentar dua Gubernurnya yang tegas menolak kehadiran Tim Israel di helatan sepakbola yang digadang - gadang bakal mengangkat nama Erick Tohir dan tentu Jokowi. Namun, apa daya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, helatan akbar itu batal seketika. 

Tak lama, Ganjar diumumkan jadi capres PDIP, Erick dan Jokowi, entah apa langkahnya lagi. Akankah come back dengan memasangkan Ganjar-Erick seperti banyak kalangan membacanya sebagai "pasangan idaman" Jokowi? Kita tunggu tanggal mainnya. 

Sebaliknya, Sandi yang boleh dikata "diam - diam makan di dapur" telah menyeberang ke PPP, meninggalkan Prabowo-Gerindra, memberi tanda bahwa Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu bersiap untuk menjadi cawapres usungan PPP. Apakah Cawapresnya Ganjar, atau malah cawapres Prabowo, boleh jadi. Bahkan, bukan tidak mungkin mendampingi Anies lagi seperti di Pilkada Jakarta, atau bisa saja bersama Airlangga- Golkar. Semua masih serba mungkin. 

Bagaimanapun, PPP dengan 4% suaranya adalah modal persentasi usungan. Dan, bukan rahasia lagi, Sandi selalu siap dengan senjata "logistiknya". Dalam politik Indonesia belakangan, sosok ini memang dikenal "siap membeli" apa saja yang "siap dijual" demi jalan politiknya. Dengan modal PPP dan kesiapan logistik, siapakah yang akan kembali "dibeli" oleh Sandi? 

Politik Cawe-Cawe?

Peneliti LP3ES Wijayanto dalam diskusi "Politik Cawe - cawe Jokowi" (Kompas, 15/5) menyoroti pentingnya presiden Jokowi untuk netral. Belakangan, dengan sanjungan media dan pengamat sebagai "king maker" 2024, Jokowi memang seperti dibuat melambung. Jokowi seolah diposisikan sebagai "penentu" siapa Presiden Indonesia selanjutnya, dimana boleh jadi presiden Jokowi memang berkepentingan untuk itu. 

Tuntutan agar Jokowi netral alias tidak cawe - cawe memang benar saja adanya. Bahkan, apa yang dibilangnya pada acara puncak Musra (Musyawarah Rakyat) yang digelar para relawan Jokowi di pilpres 2014 dan 2019 itu, sebagai "membisiki partai politik" juga adalah bahasa cawe - cawe seorang politisi ketimbang sebagai seorang negarawan. 

Kurang elok saja kelihatannya sebagai seorang presiden yang negaranya sedang menghadapi "tahun politik". Apakah pak Jokowi sengaja melakukan itu atau beliau tidak paham bahwa itu tak pantas? Beliaulah yang tahu jawabannya. 

Apapun itu, gestur politik Jokowi seperti tak ingin kehilangan peran di 2024. Mungkin dia belajar dari Megawati dan SBY beserta presiden - presiden sebelumnya, bahwa dirinya bukan pemimpin partai yang masih bisa saja eksis di dunia politik meski tak lagi berkuasa. 

Bayangan ke depan

Barisan ("partai") relawan adalah modal Jokowi untuk baku tawar dan bernegosiasi dengan partai - partai saat ini, selain kuasanya sebagai presiden tentunya. Termasuk nasib anak dan menantunya saat ini dan di pilkada selanjutnya. Memang, sekarang ini ketika Jokowi masih presiden, partai - partai boleh jadi masih berlomba- lomba mengusungnya. Tapi, bagaimana ketika Jokowi tak lagi Presiden? Apakah partai - partai masih saja sebaik hati demikian? Ditambah lagi, apakah barisan relawan, yang seperti "partai" nya Jokowi itu, masih tetap solid bersama Jokowi jika beliau tak lagi berkuasa? Layak dinanti. 

Membayangkan hari depan Jokowi memang sedikit mencemaskan. Bukan saja apakah program - program dan proyek - proyek strategisnya dilanjutkan atau tidak, namun apakah dirinya sendiri masih "diperhitungkan" atau tidak? 

Secara psikologi politik, post-power syndrome memang tak dapat dihindari. Betapa menyakitkannya orang - orang yang pernah bertabur pujian, sanjungan, dan junjungan, tiba - tiba diabaikan dan tak lagi diperhitungkan. Megawati, SBY, Gusdur, Habibie, Soeharto, bahkan Soekarno pernah mengalaminya. Tentu dengan sikap dan kadar berbeda - beda. 

Bagaimanapun, presiden - presiden sebelum Jokowi adalah "seseorang" sebelum menjadi presiden, sehingga setelah tidak menjabat, mereka tetaplah "tokoh" dan "orang besar" sebagaimana sebelum menjadi presiden. Nah, Jokowi, yang sedikit banyak berbeda dari segi ketokohan dan kebesaran sebelum menjadi Presiden, apakah akan tetap bisa "soft landing" pasca kepemimpinannya?

Apatahlagi, jika kecemasan hari depan itu terkait dengan putra dan putri mahkotanya, serta karir menantu kesayangannya, tanpa partai politik di tangan dan hanya "partai" relawan sahaja, boleh jadi Jokowi makin hari makin memikirkannya. 

Kecuali, Jokowi ingin kembali hidup sederhana dan tak ingin terbebani lagi dengan presiden penerusnya, termasuk nasib anak dan menantunya, beliau pasti akan "mendarat dengan tenang". 

Dengan begitu, cinderella syndrome yang takut kehilangan teman dekat dan pemujanya di masa - masa akhir jabatan, apalagi post-power syndrome yang tetap ingin dihormati setelah berkuasanya, tak akan dialami Jokowi. 

Memang layak ditunggu setelah 2024, akankah Jokowi dapat "beristirahat dengan tenang" ataukah sebaliknya? 

Kuala Lumpur, 15 Mei 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun