Secara psikologi politik, post-power syndrome memang tak dapat dihindari. Betapa menyakitkannya orang - orang yang pernah bertabur pujian, sanjungan, dan junjungan, tiba - tiba diabaikan dan tak lagi diperhitungkan. Megawati, SBY, Gusdur, Habibie, Soeharto, bahkan Soekarno pernah mengalaminya. Tentu dengan sikap dan kadar berbeda - beda.Â
Bagaimanapun, presiden - presiden sebelum Jokowi adalah "seseorang" sebelum menjadi presiden, sehingga setelah tidak menjabat, mereka tetaplah "tokoh" dan "orang besar" sebagaimana sebelum menjadi presiden. Nah, Jokowi, yang sedikit banyak berbeda dari segi ketokohan dan kebesaran sebelum menjadi Presiden, apakah akan tetap bisa "soft landing" pasca kepemimpinannya?
Apatahlagi, jika kecemasan hari depan itu terkait dengan putra dan putri mahkotanya, serta karir menantu kesayangannya, tanpa partai politik di tangan dan hanya "partai" relawan sahaja, boleh jadi Jokowi makin hari makin memikirkannya.Â
Kecuali, Jokowi ingin kembali hidup sederhana dan tak ingin terbebani lagi dengan presiden penerusnya, termasuk nasib anak dan menantunya, beliau pasti akan "mendarat dengan tenang".Â
Dengan begitu, cinderella syndrome yang takut kehilangan teman dekat dan pemujanya di masa - masa akhir jabatan, apalagi post-power syndrome yang tetap ingin dihormati setelah berkuasanya, tak akan dialami Jokowi.Â
Memang layak ditunggu setelah 2024, akankah Jokowi dapat "beristirahat dengan tenang" ataukah sebaliknya?Â
Kuala Lumpur, 15 Mei 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H