Mohon tunggu...
Nasruddin Leu Ata
Nasruddin Leu Ata Mohon Tunggu... Lainnya - Pengangguran Berbakat

Menulis apa saja yang jauh lebih matang dari kesepian

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Jalan Panjang Sosio-Politik di Indonesia

5 September 2024   12:01 Diperbarui: 5 September 2024   12:09 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dinamika perubahan Sosio-politik (Tribunnews.com)

Bangsa dan kehidupannya harus mengalami berbagai perubahan sebagai hukum sosial yang alamiah. Hanya saja setiap negara mempunyai pola perubahan sosial politik yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut ditentukan oleh situasi geopolitik dan konsep masing-masing negara.

Beberapa negara telah mengadopsi pola perubahan yang radikal dan mendasar, negara-negara lain telah mengalami perubahan bertahap dan sedikit demi sedikit, dan beberapa negara tidak memiliki pola perubahan sosio-politik. Pola yang dipilih  sangat menentukan  arah dan nasib  negara.

Bagaimana dengan Indonesia? Pola perubahan sosiopolitik apa yang  terjadi? Bagaimana susunan politik pada masa jabatan terakhir Presiden Jokowi? Bagaimana polanya saat ini dan apa implikasinya bagi masa depan demokrasi Indonesia?

Catatan Sejarah

Setidaknya ada tiga pola perubahan sosial politik di Indonesia. Dengan kata lain, yang pertama adalah pola revolusioner. Pengertian revolusi adalah penggantian sistem lama secara frontal, menyeluruh, radikal dan cepat dengan sistem yang benar-benar baru.

Ada berbagai bentuk  revolusi dalam sejarah dunia. Misalnya saja Revolusi Industri yang terjadi di Inggris dan Amerika. Revolusi ini memungkinkan kita mengganti metode produksi manual yang asli dengan metode produksi mekanis.

Revolusi ini mengilhami revolusi-revolusi berikutnya, revolusi politik yang pada akhirnya mengubah sistem politik secara mendasar, seperti yang terjadi di Inggris, Perancis, Italia, Rusia, dan tempat lain.

Selain revolusi industri dan politik, ada juga negara yang berubah drastis karena jenis revolusi kebudayaan. Revolusi jenis ini lebih menyasar pada perubahan cara berpikir dan perilaku sebuah masyarakat sehingga berdampak pada hadirnya karya cipta budaya baru, seperti cara pandang baru terhadap tata nilai, cara pandang, kebiasaan, perilaku, tradisi, dan berujung pada produksi budaya.

Contoh paling fenomenal revolusi kebudayaan adalah revolusi kebudayaan di Tiongkok pada tahun 1966 sampai 1976. Pada masa itu Mao Zedong, Ketua Partai Komunis Tiongkok, menggerakkan sosiopolitik dengan tujuan menciptakan ideologi komunis yang 'benar' di negara tersebut dengan membersihkan sisa-sisa unsur kapitalis dan tradisional dari masyarakat Tiongkok. Gerakan yang disublimasi pemikiran Maois itu mampu membawa Tiongkok pada Lompatan Jauh Kedepan pada tingkat signifikan.

Pola Perubahan di Indonesia

Untuk konteks Indonesia satu-satunya revolusi yang pernah terjadi adalah revolusi kemerdekaan. Revolusi ini berhasil mengganti sistem kekuasaan yang asalnya dibawah kekuasaan kolonial kemudian diambil alih oleh para pejuang kemerdekaan republik.

Walaupun dalam beberapa aspek bernegara masih memanfaatkan peninggalan sistem lama, seperti perundangan, beberapa klausul hukum (terutama KUHP), dan infrastruktur bekas kolonial, namun revolusi ini berhasil mengambil alih pemegang kekuasaan yang asalnya dijabat oleh orang-orang berkebangsaan Belanda ke tangan orang Indonesia asli.

Selain revolusi kemerdekaan pernah juga terjadi revolusi komunis yang digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan ini ingin mengganti sistem lama yang dianggap berhaluan kapitalisme dengan sistem baru yang mencita-citakan masyarakat tanpa kelas sebagaimana doktrin sosialisme.

Gerakan ini pada akhirnya gagal total setelah tragedi pembunuhan 6 jenderal angkatan darat yang populer dengan G-30S/PKI itu. Kegagalan ini membuktikan bahwa revolusi ini tidak terdukung oleh berbagai prasyarat sebuah gerakan fundamental yang bersifat ideologis. Selain itu kegagalan revolusi komunis ini juga menegaskan bahwa satu-satunya perubahan sosial politik yang berpola revolusi dan berhasil di negeri ini adalah revolusi kemerdekaan.

Kedua, pola reformasi, yaitu perubahan aspek tertentu dari sebuah sistem karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan nilai-nilai demokrasi dan tidak lagi relevan dengan perubahan zaman. Sifat dari pola perubahan reformasi biasanya parsial, bertahap, dan hanya menyangkut bagian-bagian tertentu yang dianggap perlu dibenahi.

Hampir mirip dengan reformasi adalah restorasi, contohnya adalah restorasi Meiji di Jepang, yaitu sebuah awal kebangkitan negara Jepang pasca kejatuhan keshogunan Tokugawa sehingga menghasilakan perubahan di beberapa aspek kehidupan masyarakat Jepang, seperti pendidikan dan sistem militer.

Untuk konteks Indonesia pola reformasi pernah diterapkan yang berujung pada pelengseran presiden Suharto dari tampuk kekuasaannya 32 tahun yang otoriter dan sarat KKN. Gerakan reformasi ini menghasilkan berbagai perubahan sosiopolitik di berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah pergantian kepemimpinan dan amandemen beberapa pasal UUD 1945. Dari perubahan itulah berimplikasi pada perubahan sosiopolitik yang jauh lebih bebas dan terbuka.

Kebebasan dan keterbukaan tersebut memang membawa angin segar transisi demokrasi di Indonesia, akan tetapi berbagai persoalan baru muncul. Impian bahwa transisi demokrasi ini akan mengkonsolidasikan berbagai elemen penggerak demokrasi tak serta merta bermuara pada situasi yang lebih baik.

Empat presiden yang dipilih pasca lengsernya Soeharto, yakni Abdurrahman Wahid (Gusdur), Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Joko Widodo (Jokowi) membawa karakter kepemimpinan masing-masing yang turut mewarnai konsolidasi demokrasi.

Dari keempat presiden tersebut di tangan Jokowi menarik untuk lebih dicermati. Jika ketiga presiden berasal dari keluarga priyayi atau elit (meminjam istilah Geertz), maka Jokowilah presiden yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja.

Gusdur berasal dari elit NU, Megawati anak sang proklamator, dan SBY adalah anak dari priyayi lokal dan menantu elit militer (Sarwo Edi), maka Jokowilah satu-satunya presiden yang secara sosiologis berasal dari keturunan orang biasa. Basic sosiologis inilah yang memberi bekal cukup Jokowi memahami secara mendalam kultur masyarakat akar rumput karena dirinya lahir dari rahim populasi terbesar di negeri ini.

Jokowi dan Citra Wong Cilik

Ketika sosok Jokowi naik dalam tampuk kepemimpinan sejak dari kepala daerah hingga presiden adalah satu-satunya presiden yang paling fasih dan tepat mengartikulasikan identitas masyarakat bawah.

Representasi itu tercermin dari raut dan garis wajahnya yang seperti wajah-wajah masyarakat Jawa kelas bawah pada umumnya, warna kulit yang berpikmen coklat, postur dan gestur tubunya yang kurus kerempeng, langkah kakinya yang ringan, dan tampilan kostum yang memang pas jika mengenakan baju putih lengan panjang dan dilipat di ujung lengannya.

Modal biologis tubuh Jokowi itu disempurnakan dengan gaya komunikasi tutur yang cenderung tidak terstruktur dan menggunakan diksi-diksi sederhana yang mudah dipahami masyarakat.

Gaya komunikasi Jokowi itu jika dibandingkan dengan presiden sebelumnya maka dialah Presiden yang paling mudah diterima oleh kalangan bawah. Sebagai contoh bagaimana gaya bicara Soeharto yang "ngemu roso", Habibie yang pintar,

Gusdur yang humoris namun kontroversial, Megawati yang bergaya bicara ala percakapan domestik seorang ibu, dan SBY yang gaya bicaranya sistematis dan tertata rapi, maka berbeda dengan Jokowilah yang gaya bicaranya mengalir seperti obrolan sehari-hari masyarakat bawah kebanyakan.

Tumpukan modal Jokowi itulah yang dikapitalisasi dengan efektif ketika kekuasaan berada di genggamannya. Jokowi tampil bak pendekar silat yang dalam menghadapi lawan dilakukan secara single fighter dengan jurus-jurus yang sulit ditebak.

Pada awalnya jurus-jurus itu cukup jitu dan mematikan menghadapi semua lawan yang datang dari berbagai penjuru. Jokowi begitu percaya diri dengan permainan individualnya, bahkan partai politik yang dulu mengusungnya, yakni PDIP dibuat seakan tak berdaya. Contoh paling nyata adalah bagaimana kekalahan telak PDIP dalam Pilpres yang baru saja berlalu.

Pada awalnya Jokowi yang tampil tanpa beban masa lalu itu mampu membuat berbagai terobosan kebijakan yang cukup signifikan, seperti hilirisasi, pemerataan pembangunan di luar pulau Jawa, dan pembangunan infrastruktur.

Di bidang birokrasi Jokowi mampu mengobrak-abrik mental dan kultur aparatur birokrasi yang awalnya berkultur aristokrat dan berbelit-belit menjadi lebih simpel dan cepat. Kala itu Jokowi mampu menjadi agen perubahan sosiopolitik di lingkungan birokrasi maupun lembaga-lembaga kenegaraan.

Sampailah pada fase dimana individualisme Jokowi itu pada titik kulminasi yang kebablasan. Kecintaan yang terlalu pada keluarga menabrak koridor dan tatanan hidup bernegara. Hampir di semua lini lembaga kenegaraan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) diacak-acak demi kepentingan rasa cinta keluarga yang tak lagi mampu disembunyikan.

Barangkali pada awalnya sikap Jokowi dengan menggunakan anggota keluarganya menjadi bagian dari amunisi individu sebagai respon terhadap lingkungan politik yang memang tidak bisa dipercaya dan penuh mafia, namun berulangnya anak-anaknya dan menantunya menduduki jabatan publik (kepala daerah, ketua parpol, dan wapres) publik akhirnya tersadar bahwa manuver Jokowi selama ini bukan sekedar reaksi untuk mengatasi kompleksitas mafia di lembaga-lembaga politik, namun fiks bagian dari kepentingan pribadinya.

Politik Paling Ambisius

Di penghujung kekuasaan Jokowi tanda-tanda arus balik dari gelombang akrobat politik yang dibuatnya sendiri mulai menerpa. Sejumlah manuver Jokowi mulai mendapat resistensi dari lawan-lawan politik yang sebelumnya dibuat seakan tak berdaya.

Manuver politik Baleg DPR RI yang disinyalir akan menganulir Keputusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 tentang Pilkada membuat publik tak lagi ragu bergerak menentang manuver Jokowi supaya tidak kecolongan lagi seperti pada kasus Pilpres yang akhirnya meloloskan putra sang Presiden dalam kontestasi.

Dalam konteks perubahan sosiopolitik pada era kekuasaan Jokowi membuat pola varian baru di era reformasi. Belum ada istilah yang tepat untuk menamai pola yang dipraktikkan oleh Jokowi, apakah pola ini menjadi bagian dari varian pola reformasi itu sendiri, atau melahirkan pola baru dengan istilah apapun namanya.

Terlepas dari penamaan pola itu pada era kekuasaan Jokowi telah menciptakan dinamika sosial politik di Indonesia yang paling ambisisus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun