Walaupun dalam beberapa aspek bernegara masih memanfaatkan peninggalan sistem lama, seperti perundangan, beberapa klausul hukum (terutama KUHP), dan infrastruktur bekas kolonial, namun revolusi ini berhasil mengambil alih pemegang kekuasaan yang asalnya dijabat oleh orang-orang berkebangsaan Belanda ke tangan orang Indonesia asli.
Selain revolusi kemerdekaan pernah juga terjadi revolusi komunis yang digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan ini ingin mengganti sistem lama yang dianggap berhaluan kapitalisme dengan sistem baru yang mencita-citakan masyarakat tanpa kelas sebagaimana doktrin sosialisme.
Gerakan ini pada akhirnya gagal total setelah tragedi pembunuhan 6 jenderal angkatan darat yang populer dengan G-30S/PKI itu. Kegagalan ini membuktikan bahwa revolusi ini tidak terdukung oleh berbagai prasyarat sebuah gerakan fundamental yang bersifat ideologis. Selain itu kegagalan revolusi komunis ini juga menegaskan bahwa satu-satunya perubahan sosial politik yang berpola revolusi dan berhasil di negeri ini adalah revolusi kemerdekaan.
Kedua, pola reformasi, yaitu perubahan aspek tertentu dari sebuah sistem karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan nilai-nilai demokrasi dan tidak lagi relevan dengan perubahan zaman. Sifat dari pola perubahan reformasi biasanya parsial, bertahap, dan hanya menyangkut bagian-bagian tertentu yang dianggap perlu dibenahi.
Hampir mirip dengan reformasi adalah restorasi, contohnya adalah restorasi Meiji di Jepang, yaitu sebuah awal kebangkitan negara Jepang pasca kejatuhan keshogunan Tokugawa sehingga menghasilakan perubahan di beberapa aspek kehidupan masyarakat Jepang, seperti pendidikan dan sistem militer.
Untuk konteks Indonesia pola reformasi pernah diterapkan yang berujung pada pelengseran presiden Suharto dari tampuk kekuasaannya 32 tahun yang otoriter dan sarat KKN. Gerakan reformasi ini menghasilkan berbagai perubahan sosiopolitik di berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah pergantian kepemimpinan dan amandemen beberapa pasal UUD 1945. Dari perubahan itulah berimplikasi pada perubahan sosiopolitik yang jauh lebih bebas dan terbuka.
Kebebasan dan keterbukaan tersebut memang membawa angin segar transisi demokrasi di Indonesia, akan tetapi berbagai persoalan baru muncul. Impian bahwa transisi demokrasi ini akan mengkonsolidasikan berbagai elemen penggerak demokrasi tak serta merta bermuara pada situasi yang lebih baik.
Empat presiden yang dipilih pasca lengsernya Soeharto, yakni Abdurrahman Wahid (Gusdur), Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Joko Widodo (Jokowi) membawa karakter kepemimpinan masing-masing yang turut mewarnai konsolidasi demokrasi.
Dari keempat presiden tersebut di tangan Jokowi menarik untuk lebih dicermati. Jika ketiga presiden berasal dari keluarga priyayi atau elit (meminjam istilah Geertz), maka Jokowilah presiden yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja.
Gusdur berasal dari elit NU, Megawati anak sang proklamator, dan SBY adalah anak dari priyayi lokal dan menantu elit militer (Sarwo Edi), maka Jokowilah satu-satunya presiden yang secara sosiologis berasal dari keturunan orang biasa. Basic sosiologis inilah yang memberi bekal cukup Jokowi memahami secara mendalam kultur masyarakat akar rumput karena dirinya lahir dari rahim populasi terbesar di negeri ini.
Jokowi dan Citra Wong Cilik