Ketika sosok Jokowi naik dalam tampuk kepemimpinan sejak dari kepala daerah hingga presiden adalah satu-satunya presiden yang paling fasih dan tepat mengartikulasikan identitas masyarakat bawah.
Representasi itu tercermin dari raut dan garis wajahnya yang seperti wajah-wajah masyarakat Jawa kelas bawah pada umumnya, warna kulit yang berpikmen coklat, postur dan gestur tubunya yang kurus kerempeng, langkah kakinya yang ringan, dan tampilan kostum yang memang pas jika mengenakan baju putih lengan panjang dan dilipat di ujung lengannya.
Modal biologis tubuh Jokowi itu disempurnakan dengan gaya komunikasi tutur yang cenderung tidak terstruktur dan menggunakan diksi-diksi sederhana yang mudah dipahami masyarakat.
Gaya komunikasi Jokowi itu jika dibandingkan dengan presiden sebelumnya maka dialah Presiden yang paling mudah diterima oleh kalangan bawah. Sebagai contoh bagaimana gaya bicara Soeharto yang "ngemu roso", Habibie yang pintar,
Gusdur yang humoris namun kontroversial, Megawati yang bergaya bicara ala percakapan domestik seorang ibu, dan SBY yang gaya bicaranya sistematis dan tertata rapi, maka berbeda dengan Jokowilah yang gaya bicaranya mengalir seperti obrolan sehari-hari masyarakat bawah kebanyakan.
Tumpukan modal Jokowi itulah yang dikapitalisasi dengan efektif ketika kekuasaan berada di genggamannya. Jokowi tampil bak pendekar silat yang dalam menghadapi lawan dilakukan secara single fighter dengan jurus-jurus yang sulit ditebak.
Pada awalnya jurus-jurus itu cukup jitu dan mematikan menghadapi semua lawan yang datang dari berbagai penjuru. Jokowi begitu percaya diri dengan permainan individualnya, bahkan partai politik yang dulu mengusungnya, yakni PDIP dibuat seakan tak berdaya. Contoh paling nyata adalah bagaimana kekalahan telak PDIP dalam Pilpres yang baru saja berlalu.
Pada awalnya Jokowi yang tampil tanpa beban masa lalu itu mampu membuat berbagai terobosan kebijakan yang cukup signifikan, seperti hilirisasi, pemerataan pembangunan di luar pulau Jawa, dan pembangunan infrastruktur.
Di bidang birokrasi Jokowi mampu mengobrak-abrik mental dan kultur aparatur birokrasi yang awalnya berkultur aristokrat dan berbelit-belit menjadi lebih simpel dan cepat. Kala itu Jokowi mampu menjadi agen perubahan sosiopolitik di lingkungan birokrasi maupun lembaga-lembaga kenegaraan.
Sampailah pada fase dimana individualisme Jokowi itu pada titik kulminasi yang kebablasan. Kecintaan yang terlalu pada keluarga menabrak koridor dan tatanan hidup bernegara. Hampir di semua lini lembaga kenegaraan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) diacak-acak demi kepentingan rasa cinta keluarga yang tak lagi mampu disembunyikan.
Barangkali pada awalnya sikap Jokowi dengan menggunakan anggota keluarganya menjadi bagian dari amunisi individu sebagai respon terhadap lingkungan politik yang memang tidak bisa dipercaya dan penuh mafia, namun berulangnya anak-anaknya dan menantunya menduduki jabatan publik (kepala daerah, ketua parpol, dan wapres) publik akhirnya tersadar bahwa manuver Jokowi selama ini bukan sekedar reaksi untuk mengatasi kompleksitas mafia di lembaga-lembaga politik, namun fiks bagian dari kepentingan pribadinya.