Mohon tunggu...
Nasruddin Habibi
Nasruddin Habibi Mohon Tunggu... -

Penulis Kambuhan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lagu "Akad" dan Cinta Jangka Panjang Pria Nusantara

18 September 2017   20:48 Diperbarui: 19 September 2017   13:20 6144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: myindolirik.blogspot.com

"Namun bila saat berpisah t'lah tiba

Izinkanku menjaga dirimu

Berdua menikmati pelukan diujung waktu

Sudilah kau temani diriku

Sudilah kau menjadi istriku"

Adalah lirik yang sangat renyah dan gurih di telinga kita hari-hari ini. Lagu ini kini terasa seperti "Someone Like You"-nya Adele di tahun 2012, atau "Asal Kau Bahagia"-nya Armada diawal tahun 2017 lalu, di mana setiap warung kopi, speaker mal, mbak-mbak dalam angkot, sampai konter pulsa di pinggir lampu merah tak luput memutar lagu yang sedang berada di top chart Spotify Indonesia (8 September 2017).

Notabenenya, Payung Teduh berangkat dari stream indie, dulu waktu masih ngeband sekitar tahun 2012-2013 saya begitu ingat betapa sulitnya meramaikan lagu Payung Teduh, orang-orang kebanyakan akan mengernyitkan dahi ketika band saya meng-cover lagu-lagu Payung Teduh ? Lalu kenapa lagu ini sekarang menjadi sangat terkenal dan diperbincangkan dalam waktu yang singkat?

Alasan pertama, liriknya teduh. Saya mengakui ketekunan Payung Teduh dalam mengelola lirik-lirik dan kelihaian penyampaian pesan lagu-lagu mereka yang membuat hati tertusuk dan terburai, ingat Resah? Berdua saja? Mari Bercerita? 

Wow, lagu-lagu itu tentu saja berbeda level dengan lagu cinta yang isinya selingkuh dan patah hati itu. Agaknya Payung Teduh mampu mengembalikan narasi soal percintaan walaupun jarang menukil kata-kata cinta didalamnya, membuat muda-mudi yang kasmaran semakin meledak-ledak dan jomblo yang kesepian makin berkhayal-khayal.

Alasan kedua, Payung Teduh mampu mengelola musik dengan apik, dulu mereka bikin lagu dengan nuansa jazz era 50-60-an tapi justru mampu juga merangsek ke telinga masyarakat. Di lagu Akad ,Payung Teduh memberi nafas baru dengan aroma yang sama, lebih berisik, tapi juga lebih baru. Dan pendengar tetap suka. Ini bisa berarti bahwa payung teduh benar-benar piawai dalam penggarapan nada dan penataan bunyi.

PERNIKAHAN

Dalam bagian ini masuk alasan yang ketiga---dan ini yang agak panjang---bahwa, konten lagu "Akad" sangat relatable dan kompatibel dengan pendengarnya. Saya menebak-nebak bahwa pendengar lagu-lagu Payung Teduh berkisar pada area mahasiswa dan pemuda-pemudi usia 20-an, atau dalam psikologi perkembangan disebut masa dewasa awal. Dewasa awal adalah masa peralihan dari ketergantungan ke masa mandiri, baik dari segi ekonomi, kebebasan menentukan diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan sudah lebih realistis. (Sumber)

Pada usia di mana seseorang sudah memasuki masa reproduktif, seseorang mulai memperkirakan langkah-langkah hidupnya ke depan, termasuk membentuk dan membina keluarga. Beriringan dengan gelombang promosi "nikah muda", dalam hati pemuda-pemuda itu ingin sekali segera membentuk keluarga. Namun "menikah" tidak sesederhana itu, utamanya bagi laki-laki. 

Ada pertimbangan kemandirian, kesiapan emosi, dan perkara-perkara macam tuntutan jabatan PNS oleh calon mertua dan sebagainya. Ini karena perkawinan adalah komitmen emosional dan hukum dari dua orang untuk membagi kedekatan emosional dan fisik, berbagi bermacam tugas dan sumber-sumber ekonomi. (Olson, D.H.,DeFrain,J.(2006). Marriages & Families. Boston : McGrawHill.)

Hal di atas kemudian yang membuat para pemuda menunda hasratnya untuk segera menikah. Mereka sungguh tidak mengkhianati konsep hubungan yang baik antar lelaki dan wanita adalah yang berlandaskan sebuah noktah legal secara hukum dan agama, namun menaruh perkara "pernikahan" sebagai salah satu impiannya, meletakkannya sebagai satu level keindahan dan kesempurnaan menjalin hubungan.

Berbeda dengan di belahan dunia lainnya, di mana sepasang non suami-istri hidup seatap dianggap sebagai hal yang biasa saja. Di dunia barat pernikahan bergeser persepsinya, seseorang bisa saja "kencan" dengan pasangannya selama yang ia mau, tanpa takut anggapan apapun tentang mereka. Sehingga mereka tak membutuhkan pernikahan dan pernikahan justru kehilangan "maknanya".

Lelaki nusantara (dengan pengecualian pada lelaki yang kehilangan nuraninya) masih menganggap pernikahan adalah hal yang sakral, bahkan dalam hukum adat suku-suku nusantara peraturan yang menata hubungan suami-istri jauh lebih banyak dan njelimet daripada aturan soal jual beli tanah. Dalam Islam sendiri ikatan pernikahan digolongkan pada salah satu "perjanjian yang agung."

Pakar parenting Islami, Ustaz Mohammad Fauzil Adhim mengatakan, dalam Alquran hanya tiga kali disebutkan kalimat mitsaqan ghalizha tersebut. Yakni, perjanjian yang berkenaan dengan tauhid, perjanjian Allah dengan para Nabi ulul-azmi, dan perjanjian dalam ikatan pernikahan. 

"Ini sebagai penghormatan Islam bagi orang yang menikah. Penghormatan yang sama dengan perjanjian-perjanjian agung lainnya," jelas Fauzil kepada Republika, Rabu (6/1) (Sumber).

SIMPULAN

Dengan premis bahwa lirik asal dari lagu akad adalah tentang ajakan menikah dari seorang lelaki kepada wanitanya (dan walaupun lagu ini juga bisa dimaknai dari persepsi perempuan), saya melihat fenomena meledaknya lagu "Akad" sebagai salah satu pertanda bahwa Pria Nusantara masih meletakkan "pernikahan" dalam cita-cita cinta jangka panjang mereka.

Cinta bagi mereka berupa keindahan seksualitas sekaligus sensualitas. Di sini, pernikahan bukan hanya menjadi pelengkap alasan untuk menjamahi tubuh, tapi sebagai perwujudan segi commitment dalam teori segitiga cinta (bukan cinta segitiga) yang dikembangkan Robert Stenberg (Sternberg, Robert J. (2007). "Triangulating Love". In Oord, T. J. The Altruism Reader: Selections from Writings on Love, Religion, and Science. West Conshohocken, PA: Templeton Foundation. p. 332. ISBN9781599471273). 

Jika selalu dicita-citakan, sesungguhnya komitmen itu bukan dianggap menjadi hal yang mengikat dan justru membatasi kebebasan (seperti dalam persepsi budaya barat masa kini) namun justru menjadi hal yang indah dan emosional (inilah yang menjadikan fenomena "ditinggal nikah" itu sangat sakit).

Meskipun hubungan ala pacaran masihlah sangat lumrah, namun dalam kepala mereka  (dan semoga iya) pernikahan menjadi cita-cita keberhasilan yang luhur dalam menjalin hubungan, sekaligus sebagai salah satu penghormatan tertinggi seorang pria kepada wanitanya. Toh ketika pacaran, sebenarnya setiap laki-laki diam-diam sering berkhayal apa nama yang tepat untuk  anak mereka nantinya.

Semoga para pria nusantara tetap memelihara cita-cita luhur itu, beriringan dengan penghormatan yang tinggi pada wanitanya selalu. Amin yaa robbal 'alamin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun