Dalam bagian ini masuk alasan yang ketiga---dan ini yang agak panjang---bahwa, konten lagu "Akad" sangat relatable dan kompatibel dengan pendengarnya. Saya menebak-nebak bahwa pendengar lagu-lagu Payung Teduh berkisar pada area mahasiswa dan pemuda-pemudi usia 20-an, atau dalam psikologi perkembangan disebut masa dewasa awal. Dewasa awal adalah masa peralihan dari ketergantungan ke masa mandiri, baik dari segi ekonomi, kebebasan menentukan diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan sudah lebih realistis. (Sumber)
Pada usia di mana seseorang sudah memasuki masa reproduktif, seseorang mulai memperkirakan langkah-langkah hidupnya ke depan, termasuk membentuk dan membina keluarga. Beriringan dengan gelombang promosi "nikah muda", dalam hati pemuda-pemuda itu ingin sekali segera membentuk keluarga. Namun "menikah" tidak sesederhana itu, utamanya bagi laki-laki.Â
Ada pertimbangan kemandirian, kesiapan emosi, dan perkara-perkara macam tuntutan jabatan PNS oleh calon mertua dan sebagainya. Ini karena perkawinan adalah komitmen emosional dan hukum dari dua orang untuk membagi kedekatan emosional dan fisik, berbagi bermacam tugas dan sumber-sumber ekonomi. (Olson, D.H.,DeFrain,J.(2006). Marriages & Families. Boston : McGrawHill.)
Hal di atas kemudian yang membuat para pemuda menunda hasratnya untuk segera menikah. Mereka sungguh tidak mengkhianati konsep hubungan yang baik antar lelaki dan wanita adalah yang berlandaskan sebuah noktah legal secara hukum dan agama, namun menaruh perkara "pernikahan" sebagai salah satu impiannya, meletakkannya sebagai satu level keindahan dan kesempurnaan menjalin hubungan.
Berbeda dengan di belahan dunia lainnya, di mana sepasang non suami-istri hidup seatap dianggap sebagai hal yang biasa saja. Di dunia barat pernikahan bergeser persepsinya, seseorang bisa saja "kencan" dengan pasangannya selama yang ia mau, tanpa takut anggapan apapun tentang mereka. Sehingga mereka tak membutuhkan pernikahan dan pernikahan justru kehilangan "maknanya".
Lelaki nusantara (dengan pengecualian pada lelaki yang kehilangan nuraninya) masih menganggap pernikahan adalah hal yang sakral, bahkan dalam hukum adat suku-suku nusantara peraturan yang menata hubungan suami-istri jauh lebih banyak dan njelimet daripada aturan soal jual beli tanah. Dalam Islam sendiri ikatan pernikahan digolongkan pada salah satu "perjanjian yang agung."
Pakar parenting Islami, Ustaz Mohammad Fauzil Adhim mengatakan, dalam Alquran hanya tiga kali disebutkan kalimat mitsaqan ghalizha tersebut. Yakni, perjanjian yang berkenaan dengan tauhid, perjanjian Allah dengan para Nabi ulul-azmi, dan perjanjian dalam ikatan pernikahan.Â
"Ini sebagai penghormatan Islam bagi orang yang menikah. Penghormatan yang sama dengan perjanjian-perjanjian agung lainnya," jelas Fauzil kepada Republika, Rabu (6/1) (Sumber).
SIMPULAN
Dengan premis bahwa lirik asal dari lagu akad adalah tentang ajakan menikah dari seorang lelaki kepada wanitanya (dan walaupun lagu ini juga bisa dimaknai dari persepsi perempuan), saya melihat fenomena meledaknya lagu "Akad" sebagai salah satu pertanda bahwa Pria Nusantara masih meletakkan "pernikahan" dalam cita-cita cinta jangka panjang mereka.
Cinta bagi mereka berupa keindahan seksualitas sekaligus sensualitas. Di sini, pernikahan bukan hanya menjadi pelengkap alasan untuk menjamahi tubuh, tapi sebagai perwujudan segi commitment dalam teori segitiga cinta (bukan cinta segitiga) yang dikembangkan Robert Stenberg (Sternberg, Robert J. (2007). "Triangulating Love". In Oord, T. J. The Altruism Reader: Selections from Writings on Love, Religion, and Science. West Conshohocken, PA: Templeton Foundation. p. 332. ISBN9781599471273).Â